Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Budaya Side Hustle: Dilema antara Gaya Hidup dan Mindfulness
27 Oktober 2023 15:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dyah Ayu Anggara Shavitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Side culture sebagai efek dari budaya hustle culture membawa work life balance bagi para generasi Z alias gen Z . Begitu memasuki perkuliahan sembari mencari pengalaman kerja sambilan (freelance), maupun mereka yang telah lulus dan merasa pekerjaan yang sedang dilakukan tidak memberi motivasi untuk terus sadar serta berpikir positif.
ADVERTISEMENT
Hidup di kurun zaman modernisasi yang penuh tuntutan agar mengerjakan segala sesuatu serba cepat dengan hasil yang sesuai ekspektasi, tidak sedikit masyarakat gen Z tidak perlu berpikir dua kali untuk bekerja sambilan walaupun telah memiliki pekerjaan tetap atau sedang berkuliah.
Side culture berbeda dengan side job, cabang dari hustle culture ini merujuk pada jenis pekerjaan yang bertujuan agar seseorang merasa puas dengan hasil pekerjaannya dibandingkan sekadar mendapatkan gaji. Cara berpikir akan pekerjaan yang menjadi sebuah kebiasaan itu dinamakan side culture.
Dengan budaya side culture, proses secara digital, seperti Google Workspace, Wellness App, E-Wallet atau aplikasi lainnya tentu berperan tidak kalah penting untuk mempermudah beragam aktivitas.
Berdasarkan penelitian bertajuk "Pengaruh Literasi Keuangan, E-Money dan Gaya Hidup Terhadap Perilaku Keuangan Generasi Z Pada Cashless Society" dari JIMEA, UPN Denpasar, bahwa literasi keuangan membuat gen Z menggunakan pendapatan finansial mereka secara terencana, sehingga dapat dikatakan memberi pengaruh yang positif.
ADVERTISEMENT
Asumsi masyarakat secara umum bahwa gaya hidup generasi menganut hedonisme karena dapat mudah dan cepat membeli atau membayar segala macam kebutuhan, mulai bergeser disebabkan budaya generasi Z yang gemar bertukar perspektif dalam organisasi maupun komunitas.
Melalui hasil berbagai diskusi yang berasal dari pemikiran berbeda itulah membuat generasi Z kini mulai menyelaraskan kemajuan teknologi dan gaya hidup berkelanjutan alias sustainable life.
Berbekal berbagai informasi, baik dari media berita dan film-film dokumenter, gen Z mulai memiliki kesadaran penuh akan krisis iklim. Konsep yang jauh lebih etis, seperti mulai berhenti membeli pakaian dan tren fesyen guna mengurangi akibat negatif fast fashion, lebih diminati gen Z.
Selain hal tersebut, generasi ini juga sangat mementingkan work life balance dalam jenjang karier, begitu juga dengan kesehatan mental (mindfulness ). Para individu yang tergolong di dalam generasi Z tidak keberatan mengeluarkan biaya tambahan untuk mengurangi pencemaran lingkungan.
Menurut artikel Forbes, 90 persen gen Z yang bertumbuh seiring pesatnya digitalisasi membuat mereka mengharapkan seringnya interaksi sosial antara para karyawan–baik saat bekerja maupun istirahat.
ADVERTISEMENT
Ada kalanya beberapa recruiter mengkhawatirkan aspek ini dapat membuat seorang karyawan lengah dalam pekerjaan, mengingat persepsi umum generasi lain bahwa gen Z terlalu sering meminta waktu healing.
Namun, dikutip dari laporan yang sama, sebesar 40 persen generasi ini juga sangat memprioritaskan pekerjaan. Itu menandakan dengan adanya work from home atau work from anywhere juga termasuk faktor peningkatan mindfulness para gen Z karena mendorong mereka mempunyai banyak waktu dengan keluarga, teman dekat, maupun bersosialisasi dengan networking baru di komunitas.
Lalu, apakah side hustle merupakan solusi yang tepat supaya gen Z dapat menyeimbangkan antara tren gaya hidup dan kesehatan mental? Ya, side hustle mampu membantu penghasilan gen Z dan sustainable life dalam waktu bersamaan.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari segi beban pekerjaan, side hustle tidak sama seperti side job atau part time job. Budaya ini memotivasi hobi seseorang menjadi pekerjaan. Dari hobi yang selama ini hanya dipandang sebagai satu hal yang digemari, tidak menutup kemungkinan sebenarnya dapat menciptakan banyak skills yang memungkinkan seseorang bersiap melakukan career switch.