Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
ASN Bukan Profesi Turun-temurun
12 April 2021 10:23 WIB
Tulisan dari Dyah Sugiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang aparatur sipil negara (ASN) bukanlah cita-cita saya sewaktu kecil. Bapak dan Ibu saya pensiunan pegawai negeri sipil (PNS). Tunggu dulu, ini hanya kebetulan saja, bukan berarti PNS atau ASN adalah profesi yang turun-temurun.
ADVERTISEMENT
Masih kuat dalam ingatan ini, saat saya memasuki tahap wawancara tes calon PNS dulu. Salah satu pewawancara saya bertanya, “Orang tuamu bekerja di mana?” Saya menjawab, “Ibu saya guru SD dan bapak saya Pegawai Pemda DKI.” Bapak berkemeja merah dan berkacamata itu melanjutkan pertanyaannya,”Mengapa kamu tidak melamar di Pemda DKI?” Dengan polos saya menjawab, “Karena nggak ada lowongan di sana.”
Dalam hati, saat itu saya merasa jawaban itu biasa saja, saya mengatakannya tanpa ragu. Buat saya, kunci berhasil lolos tes wawancara adalah kejujuran.
Pertanyaan kemudian disambung oleh pewawancara lainnya, “Kalau di sana ada lowongan, kamu akan melamar ke sana?” Saya menjawab, “Tidak, pak.” Jawaban saya seketika membuat mereka mengerenyitkan dahi dan kembali bertanya, “Mengapa?” dan saya pun menjawab, “Karena saya tidak akan berkembang di sana.” (Tentu ini adalah jawaban ketika institusi itu tampak belum sekeren saat ini).
ADVERTISEMENT
Entah apa yang membuat saya mengatakan itu, tapi yang jelas itulah kejujuran. Saya merasa di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kemampuan diri saya bisa berkembang. Selain kejujuran, rupanya sudah ada keyakinan yang tidak saya sadari saat itu. Sejujurnya, saya tidak terlalu berharap sekaligus tidak menyangka akan diterima sebagai satu-satunya PNS LIPI dengan latar belakang pendidikan D3 Ilmu Komunikasi kala itu.
Mandiri dalam Jabatan Fungsional
Setelah resmi sebagai PNS LIPI, setahun kemudian saya mengikuti jalur inpassing jabatan fungsional Pranata Humas (JFPH). Sepengetahuan saya, JFPH adalah jalur karir agar saya cepat naik pangkat. Saya tidak sempat berfikir hal lainnya. Sejak awal saya mengetahui bahwa untuk pengusulan kenaikan pangkat, seorang JFPH harus mengusulkan berkas yang merupakan bukti-bukti fisik pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, saya mendapatkan angka 66,000 dalam lembar penetapan Angka Kredit (PAK) perdana, hasil inpassing. Saya anggap itu tiket dan modal yang harus saya isi ‘saldonya’.
Selanjutnya, setiap dua tahun saya tak pernah absen mengajukan daftar usulan penetapan angka kredit (DUPAK). Tanpa terasa, sambil kuliah untuk meraih gelar sarjana ilmu komunikasi, saya berhasil pindah tingkat JFPH, dari tingkat terampil ke ahli.
Lepas S1, saya rindu mengajar. Wajar saja, sebelum diterima di LIPI, saya sempat mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar, kesenian di sekolah menengah pertama, dan ekstrakurikuler teater di sebuah sekolah menengah atas.
Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah dan menjadi dosen. Rupanya kecintaan saya terhadap dunia komunikasi dan public relations menggiring pikiran saya untuk lebih tekun menjalani profesi sebagai Humas Pemerintah dan mempelajari JFPH lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Pengalaman menjadi Pranata Humas sejak 2006 silam sangat berarti buat saya. Seiring waktu, awalnya saya tidak merasa ada hal yang janggal dengan jabatan fungsional ini. Semakin lama, saya semakin paham bahwa jabatan yang penting dan bergengsi ini belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Akhirnya, selama tiga tahun setelah lulus S2, saya membulatkan tekad untuk melanjutkan sekolah, berharap menemukan jawaban atas kegelisahan saya tentang JFPH selama ini.
Pengalaman menjadi Pranata Humas lah yang mendorong saya untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang S3. Ada permasalahan yang menurut saya harus diungkap dan diangkat dalam jalur akademis. Riset adalah solusi permasalahan tersebut. Rasa keingintahuan yang tinggi terhadap fenomena Humas Pemerintah membuat saya tertarik untuk meneliti tentang bagaimana para pejabat Humas Pemerintah, baik struktural maupun fungsional memaknai Humas. Lokus penelitian saya adalah pada tiga lembaga riset, tapi bukan di LIPI.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan besar saya cukup terjawab. Selama ini, Humas bukan dimaknai sebagai sebuah profesi, melainkan sebuah jabatan, aktivitas/ pekerjaan, dan unit kerja. Bahkan salah satu informan saya menyatakan dengan tegas bahwa dirinya bukanlah seorang Humas, sementara ia salah satu pejabat struktural eselon II yang menangani kehumasan. Oh my God!
Performa Humas Pemerintah semakin dituntut professional. Saya berasumsi, bahwa sebelum menilai profesionalisme Humas Pemerintah, terlebih dahulu kita perlu mengetahui kondisi individu Pejabat Humas Pemerintah. Karena itulah, saya tertarik menelusuri kondisi individu Pejabat Humas Pemerintah melalui kajian ilmiah mengenai motif, pengalaman komunikasi, makna, dan kriteria pejabat Humas Pemerintah itu sendiri.
Dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini memiliki orisinalitas dalam hal kebaruan. Melalui pendekatan fenomenologi, memahami fenomena pada Humas Pemerintah, tidak terlepas dari rangkaian motif individu, pengalaman komunikasi, dan makna yang dibangun. Pada bagian akhir, saya menelusuri apa saja kriteria pejabat Humas Pemerintah di lembaga riset. Kriteria ini secara umum juga bisa berlaku bagi seluruh pejabat Humas Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Seperti disertasi lainnya, kajian ini juga menelusuri penelitian yang pernah dilakukan para peneliti terdahulu. Ternyata, setelah membaca beberapa kajian tentang kehumasan, terdapat beragam penelitian tentang Humas. Berdasarkan penelusuran, penelitian pemaknaan dan kriteria Humas Pemerintah secara khusus belum pernah ada sebelumnya, terlebih dalam tataran disertasi. Luar biasa! Bagi saya, ini indikasi bahwa Humas Pemerintah belum dipandang para akademisi sebagai suatu entitas yang spesial.
Mendalami Profesi Humas Pemerintah
Di tahun ke tiga penelitian berlangsung, saya menemukan temuan-temuan penelitian yang menarik. Ternyata, dari sembilan informan yang saya wawancarai secara mendalam, saya mendapati motif Pejabat Humas Pemerintah menjadi seorang pejabat struktural adalah karena penugasan, sedangkan motif menjadi Pejabat Fungsional Pranata Humas adalah karena memandangnya sebagai peluang karier.
ADVERTISEMENT
Motif penugasan dirasakan oleh para informan ketika mereka menerima surat keputusan kepala lembaga untuk menempati suatu posisi jabatan struktural atau eselonisasi. Demikian juga dengan jabatan fungsional Pranata Humas yang yang tersedia di lembaga saat mereka mendaftar sebagai PNS.
Motif peluang karier dirasakan oleh para informan lebih karena sebagai Aparatur Sipil Negara, mereka harus taat pada aturan dan menjalankan tugas sesuai ketetapan institusi. Jabatan struktural maupun fungsional dianggap sebagai jalur karier yang jika dijalani dengan baik maka menjadi peluang karier. Keberhasilan berkarier sebagai PNS seolah hanya dilihat pada kenaikan pangkat dan besaran penerimaan pendapatan gaji dan tunjangan.
Secara umum, saya menarik benang merah tentang motif para informan menjadi Pejabat Humas. Motif-motif tersebut adalah karena faktor lingkungan, keinginan, penugasan, kesenangan, keingintahuan, serta kesempatan, dan ketertarikan.
ADVERTISEMENT
Saat saya menggali tentang pengalaman komunikasi para informan, mereka mengaku bahwa konflik internal minim dihadapi. Boleh jadi kondisi tersebut tercipta karena pribadi Humas yang senang bergaul dan terbiasa membangun suasana kondusif. Mereka juga mengaku sering dihadapkan pada target pekerjaan, dituntut untuk membangun relasi, dan wajib menjalani birokrasi.
Menariknya, ada pula yang menganggap Humas membawa bahaya, Alasannya, Humas dilihat selalu paling tahu dan paling awal mengetahui suatu informasi. Di sisi lain, menurut mereka Humas selalu mendapatkan dukungan internal.
Ada temuan lain dari penelitian saya bahwa Humas membutuhkan figur teladan yang memiliki banyak relasi, dan ‘dimodali’ dengan anggaran yang terbatas.
Humas Pemerintah bagi Pejabat Humas dimaknai sebagai juru bicara dan unit kerja administrasi, sebagai sarana promosi dan saluran informasi, serta sebagai edukator dan corong lembaga. Pejabat Humas Pemerintah memaknai Humas sebagai penyampai pesan edukatif dan komunikator kelembagaan.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar jawaban informan menyebutkan, makna Humas adalah sebagai orang yang bertugas bicara, meneruskan informasi, menerjemahkan aspirasi pimpinan, dan menyampaikan ke stakeholder-nya baik internal maupun eksternal. Sedangkan, makna Humas Pemerintah bagi Pejabat Fungsional Pranata Humas adalah sebagai komunikator institusi.
Penelitian ini dimulai saat Presiden Republik Indonesia tampak menaruh perhatian pada urusan komunikasi publik. Sayangnya, ada hal mendasar yang terlewat dari perhatian presiden, yaitu mengenai kriteria pejabat Humas Pemerintah. Hingga saat ini, belum ada kriteria resmi mengenai sosok Pejabat Humas pemerintah.
Penelitian yang rampung pada akhir 2016 ini menyoroti kriteria dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Hasilnya menyebutkan bahwa kriteria pengetahuan Pejabat Humas Pemerintah di lembaga riset adalah berlatar belakang Ilmu Komunikasi atau Teknik, disesuaikan dengan fokus utama lembaga. Untuk kriteria keterampilan, Pejabat Humas harus bisa menulis, mengelola administrasi, menguasai bahasa asing, membahasakan informasi ilmiah menjadi populer. Kriteria ke tiga, sikap Pejabat Humas Pemerintah: ramah, komunikatif, adaptif, menarik, kreatif, fokus, mandiri, percaya diri, sopan, dan responsif.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data di atas, saya yang pada saat itu masih menjadi promovendus, berkesimpulan bahwa kriteria pejabat Humas Pemerintah, khususnya di lembaga riset, seyogyanya dilatarbelakangi pendidikan Ilmu Komunikasi, sadar untuk menjalankan peran sebagai komunikator iptek, serta mampu bersikap komunikatif, disiplin, dan adaptif.
Bukan Warisan
Tidak mudah mengubah warisan budaya organisasi yang sudah mengakar kuat. Pengangkatan ASN sebagai pejabat struktural berdasarkan like and dislike seperti sudah menjadi rahasia umum, walaupun banyak juga yang enggan melakukan hal itu. Tanpa disadari, atau memang tidak mau menyadarinya, akibat dasar yang sangat subjektif tersebut, citra dan reputasi lembaga seolah hanya catatan capaian kinerja di atas kertas saja. Lambat laun, dengan kondisi demikian, makna profesi Humas bagi ASN pun jadi bias atau blunder.
ADVERTISEMENT
Setidaknya kegelisahan saya sudah terjawab. Ada pemaknaan yang beragam, ada pemahaman makna yang tidak lengkap tentang Humas Pemerintah menurut para ASN yang menjadi pejabat Humas Pemerintah itu sendiri.
Dalam disertasi yang saya selesaikan di tahun ke tiga masa studi, ada beberapa rekomendasi yang saya tuliskan. Harapan saya sederhana saja. Penelitian yang saya ceritakan dalam esai ini dapat dijadikan referensi dan pertimbangan bagi instansi pemerintah dalam mereposisi struktur Humas dalam organisasi. Hasil penelitian ini saya harapkan dapat menjadi rekomendasi dalam penetapan kriteria Pejabat Humas Pemerintah
Selanjutnya, saya menganggap perlunya kurikulum kehumasan dalam mata diklat kepemimpinan untuk para ASN calon pejabat struktural eselon II dan III khususnya. Tujuannya, agar pemahaman tentang kehumasan secara umum bisa dipahami di kalangan ASN pejabat struktural.
ADVERTISEMENT
ASN bukanlah profesi yang diturunkan dari orang tua atau pendahulu kita. Jabatan ini kian digandrungi. Banyak orang berlomba-lomba memperebutkannya. Namun jangan lupa, penempatan formasi ASN seyogyanya disesuaikan dengan pendidikan formal dan pengalaman bekerja, guna mendukung ASN yang bekerja mandiri, optimal dan profesional.
The right man on the right place, dunia pun akan terasa indah. Setuju?
Dyah Rachmawati Sugiyanto,
Koord. Humas dan Protokol LIPI/ Pranata Humas Ahli Madya.