Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Karir Arifin C. Noer dan Kegilaan dalam Film Pengkhianatan G30SPKI
30 November 2020 9:02 WIB
Tulisan dari Dzahina Sugesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mari Mengenal Sosoknya!
Apabila membicarakan perihal salah satu sastrawan Indonesia yang paling berpengaruh pada kemajuan Sastra Indonesia tentunya sosok Arifin Chairin Noer tidak luput dari perbincangan. Arifin Chairin Noer atau yang lebih dikenal sebagai Arifin C. Noer merupakan dramawan, penyair, penulis skenario, dan sutradara film kondang pada masanya. Ia merupakan sastrawan dan sutradara yang menjunjung tinggi nilai humanis dan kritik sosial. Sastrawan ini lahir di kota Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 10 Maret 1941 dan meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995 di usianya yang ke-54 tahun. Sebelum meninggal, ia menjalani perawatan di Rumah Sakit Medistra, Jakarta karena penyakit kanker yang merenggut jiwanya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Meraih Passion
Dunia sastra sudah menjadi hal yang paling lumrah dalam kesehariannya sejak usia sekolah. Ketika masih berada di Cirebon, Arifin tidak tamat SMA. Ia malah pamit merantau ke Solo dan pindah ke SMA Jurnalistik. Tujuannya yaitu bergabung dengan Lingkaran Drama Rendra dan Himpunan Sastrawan Surakarta. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikannya kuliah di Yogyakarta dan berkesempatan untuk bergabung di Teater Muslim yang dipimpin oleh Muhammad Diponegoro.
Peran penting Arifin C. Noer dimulai ketika ia menginjak usia 27 tahun, barulah ia merantau ke Jakarta. Pada tahun 1968, ia mendirikan perkumpulan teater eksperimental yang bernuansa kekeluargaan (Teater Ketjil) (Rahman 2014). Teater Ketjil lalu menjadi ladang kreativitas dan aktivitasnya dalam mengembangkan dunia kesenian di Indonesia, khususnya seni teater. Lakonnya Kapai – Kapai dipentaskan dalam bahasa Inggris dan Belanda di Amerika Serikat, Belgia, dan Australia.
ADVERTISEMENT
Debut pertamanya sebagai sutradara dikenal melalui film ‘Pemberang’ (1972), ‘Rio Anakku’ (1973), dan ‘Melawan Badai’ (1974). Setelah itu, ia banyak menyutradarai film dan sinetron serta menulis skenarionya. Sebagai sastrawan yang kreatif, ia juga sering memperoleh hadiah atas karya sastranya, diantaranya, 1) Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Lakon dari Teater Muslim, Yogyakarta (1963) atas karyanya ‘Matahari di Sebuah Djalan Ketjil’ dan ‘Nenek Tertjinta’ 2) Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1972) atas jasanya dalam mengembangkan kesenian Indonesia, dan lain – lain.
Projek Film yang ‘Edan’
Arifin C. Noer kemudian dipercayai oleh pemerintah pada saat itu dalam menggarap film sejarah kolosal yang menghabiskan dana dari 800 juta hingga 1 milyar rupiah. Film ini memiliki judul ‘Pengkhianatan G30SPKI’ (1984) yang selalu dibahas ketika bulan September tiba setiap tahunnya. Film garapannya ini melibatkan 122 pemain utama dan 10.000 pemain figuran serta ratusan set film yang tersebar di Jakarta hingga Bogor. Film ‘Pengkhianatan G30SPKI’ pertama kali diedarkan di bioskop - bioskop Indonesia pada tahun 1984. Bagi Arifin, projek film ini sangat menyita waktunya selama dua tahun. Meskipun begitu, film garapannya tersebut berhasil menyita khalayak ramai pada masa itu. Tidak hanya di Pulau Jawa saja namun antusiasme juga nampak pada masyarakat luar pulau.
ADVERTISEMENT
Disamping kesuksesannya dalam penggarapan film kolosal tersebut, Arifin menyebut penggarapan film ini ‘Gila’ atau “Edan’ karena ia kewalahan dalam mengurusi ribuan casting dan mengatur seluruh proses pengambilan gambar hampir secara bersamaan. Arifin mengaku bahwa dua tahun ia habiskan untuk memikirkan kesempurnaan film yang merupakan pesanan pemerintah tersebut. Arifin adalah sosok yang perfeksionis, ia berpikir bahwa film ini harus berjalan dengan sempurna.
Dimulai pencarian referensi, saksi sejarah, dan properti - properti yang mendukung dan mirip dengan yang aslinya. Menurut penuturan istrinya, Jajang C. Noer, Arifin dengan berani bahkan mencari narasumber langsung meskipun hasilnya nihil. Selanjutnya, pencarian aktor yang sesuai, alih - alih menggunakan bintang yang tenar dan berparas bagus, ia lebih memilih pemain amatir yang memiliki fitur seperti perawakan tokoh aslinya. Bahkan ia menyuruh asisten produksinya secara langsung untuk mencari aktor dengan perawakan yang mirip dengan tokoh asli.
ADVERTISEMENT
Ketika proses pengambilan gambar dimulai, barulah sang sutradara mengarahkan akting para aktor baru agar terlihat meyakinkan. Hal ini termasuk hal yang sulit untuk Arifin. Tidak hanya itu, Arifin juga kesusahan dalam mecari peran yang sesuai dengan I. R. Soekarno dikarenakan kekharismatikannya. Akhirnya, ia memilih Umar Kayam sebagai pilihan terakhirnya. Umar Kayam pun tidak menolak, tetapi, ia tidak ingin kalau film ini malah mendiskreditkan Bung Karno. Oleh karena itu, untuk mengisi suara dalam pidato Bung Karno, Arifin memilih tokoh yang berbeda, yaitu Sujarwadi karena suaranya dirasa mendekati kemiripan dengan pidato Bung Karno.
Menurut Tempo (7/4/1984), dua tahun sebenarnya tidaklah cukup untuk menentukan nilai - nilai humanis pada film sejarah yang sekompleks itu. Dikarenakan porsi sejarahnya yang terlalu besar, Arifin sempat kesusahan dalam penggarapan film ini dengan kaidah perfilman biasa. Demikian ia pun merasa kreativitasnya telah dibabat habis karena ia tidak diperbolehkan untuk menciptakan karakter fiktif seperti yang dilakukannya pada film sebelumnya, Serangan Fajar, pada tokoh Temon. Arifin pun akhirnya merasa gagal karena cita - citanya dalam mengubah ‘Pengkhianatan G30SPKI’ menjadi film pendidikan yang memiliki bumbu humanis gagal tercapai.
ADVERTISEMENT