Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membagi Spoiler Tak Selalu Buruk
31 Oktober 2022 9:43 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dzakia Rahimi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya kira memberikan atau meminta spoiler itu bukanlah mesti dihukumi oleh masyarakat sebagai hal buruk. Mungkin bahasa saya berlebihan. Tapi, hal itu terjadi di sosial media sekarang. Kita bisa lihat, saat orang membagikan spoiler atau berinteraksi dengan ‘hal tabu’ itu melalui cara apa pun, di anggap sebagai hal yang sangat mengecewakan. Alur kekecewaannya nya selalu sama. Seakan baku.
ADVERTISEMENT
Kita mengetahui berita atau informasi dari sesuatu semacam buku, film atau yang paling sederhana, cerita.
Itulah bentuk umum dari ‘kejahatan-kejahatan’ yang berhubungan dengan dunia perspoiler-an. Sulit sebenarnya menyebutkan hal itu sebagai hal yang jahat. Kecuali, rahasia yang diceritakan ‘seseorang’ pada kita, yang kita ceritakan pada ‘orang lain’. Ada unsur pelanggaran pada contoh ini, kita mengkhianati orang yang percaya pada diri kita. Lain hal, apabila informasi yang kita dapat adalah informasi yang akses terhadapnya bisa dinikmati oleh siapa saja yang ingin, karena jika informasinya dari film, tentu kita membayar untuk secarik tiketnya. Jika informasinya dari buku, tentu kita membayar untuk membelinya. Bahkan beberapa orang melanggar suatu etika, meminjam buku, lalu tidak mengembalikannya atau bahkan mencurinya. Tapi, hal yang perlu digarisbawahi di sini bahwa kita ingin. Kita, dalam hal ini, memiliki keinginan. Walaupun, dalam hal ini, kita mengorbankan materi. bahkan, dalam kasus pinjam dan pencurian tadi, kita mengorbankan nama baik.
ADVERTISEMENT
Kita membayar sesuatu dengan apa pun, untuk hal yang kita inginkan, itulah mengapa, orang yang mendapatkan cerita rahasia temannya tanpa rasa ingin, cenderung untuk tak menceritakannya orang lain. kita ingin, lalu membayar. Saat itu barang itu adalah milik kita. Salahkah nanti, jika kita ingin memberi hal yang kita miliki pada orang lain? kita berada di antara dua keinginan. Skema itu lah yang membedakan antara ‘hal yang dipandang buruk oleh banyak orang’ ini dengan sesuatu yang benar-benar buruk. Kenapa menyebarkan rahasia seseorang adalah pengkhianatan, karena orang tersebut tak ingin rahasianya diketahui oleh orang banyak. Kenapa menjual istri itu dianggap suatu kejahatan? Karena istri sebagai perempuan, fitrahnya tak ingin dijual. Bila ada, satu atau dua kejadian itu tak menghancurkan tembok etika masyarakat.
ADVERTISEMENT
Keinginan pertama, adalah kombinasi dari dua keinginan. Keinginanku dan keinginanmu. Keinginanmu dengan keinginannya. Keinginannya dengan keinginan masyarakat. Keinginan masyarakat dengan keharusan alam. Keinginan alam dengan keinginan tuhan. Walau baris-baris kata di buku tak pernah menolak untuk dibaca. Namun, jika kita mencuri buku tersebut, keinginan kita berbenturan dengan ketidakinginan orang yang berhak atas buku itu. maka, kasus ini adalah hal yang benar-benar buruk. Tak pantas membocorkannya pada orang lain. hal lain pun sama, seperti Buku-buku dan film bajakan. Lalu menjadi berbeda, jika hal yang mengandung informasi itu disebarkan secara bebas, maka kita tak kesulitan memulai pijakan pada keinginan kedua.
Keinginan kedua adalah keinginan kita untuk membagikannya. Bagi saya, boleh-boleh saja kita me-spoiler-kan informasi yang sudah kita dapat. Karena, kita sudah membeli atau mendapatkannya secara sah, atau kita sudah melewati keinginan pertama. Kita bisa memberikan apa yang kita miliki, bukan? saya rasa, negara pun tak melarang hal tersebut, dan spoiler tersebut bisa menjadi semacam iklan gratis bagi penyedia informasi pertama. Lalu bagaimana dengan orang yang akan menerima? Saya rasa kitab isa membahas secara filosofis kenapa orang ingin atau tak ingin spoiler. Kita juga akan seakan-akan menjelaskan secara paksa tapi jelas kenapa spoiler itu penting untuk orang yang tak ingin, di samping menyebutkan juga alasan-alasan orang yang tak ingin itu. kita tak perlu sedikit mengusahakan kenapa spoiler itu tidak penting. Kita bisa lihat di awal tulisan posisi penulis dalam memaparkan hal ini.
ADVERTISEMENT
Menjelaskan orang yang akan menerima spoiler, berikut ingin atau tidaknya, berarti kita menjelaskan kondisi dan alasan ia memilih keinginannya tersebut. Biasanya, orang yang tak menginginkan spoiler itu beralasan bahwa itu akan mengurangi minatnya untuk mengetahui informasi itu. padahal, spoiler tidak dapat menjelaskan informasi itu secara terperinci.
Katakanlah, misalnya sebuah film yang sedang viral. Thor: Love and Thunder. Film itu begitu viral sekarang, tapi dapatkah orang yang sudah menonton film tersebut menjelaskan setiap peristiwa secara keseluruhan tanpa luput dari segala rinciannya? Karena seringkali, pesan-pesan yang diingin film tersebut tidak didapat dari peristiwa dan alurnya, namun dari ucapan dan gejala psikologis tokoh.
Lalu, alasan biasa selanjutnya adalah, informasi tersebut bila diberi tahu tidak membuat kesan kejut. Tidak membuat orang mendapatkannya takjub, atau emosi lainnya yang cenderung impulsif, seperti marah. Misalnya, dalam one piece, ras lunarian diungkap dengan kehadiran king, kaki tangan langsung dari kaisar lautan, Kaido. Jika informasi ini diberi tahu, orang yang tak ingin mungkin akan kurang rasa penasarannya terhadap diri king dan sejarah rasnya. Namun, apakah informasi itu cukup? orang yang menyukai one piece akan terus terang berkata tidak. cerita yang disampaikan secara verbal tidak akan memuaskan hasrat visual seseorang. Kita mungkin mendapat cerita tapi bukan dengan gambarannya. Juga, apa yang disampaikan pelaku spoiler belum mewakili setiap percakapan yang terkadang memiliki makna lain dan rahasia. Orang yang benar-benar ingin akan selalu hidup rasa penasarannya. Karena, bagaimanapun bentuk dari informasi itu, takkan mengurangi rasa penasarannya. Bukankah rasa penasaran adalah akar dari berpikir mendalam? Justru, kemungkinan yang mengurangi perasaan-perasaan impulsive itu ada baiknya. Dengan itu kita menjadi tidak terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Kita tak cepat kagum akan sesuatu atau membencinya. Kita seakan-akan memiliki jeda untuk memikirkannya secara mendalam dan berulang. Kita mengulang kesimpulan yang kita dapatkan, lalu mengujinya. tanpa sadar, kesimpulan final yang kita dapatkan, akan tertanam di otak kita. Ia menjadi semacam amanat dari setiap cerita. Bahkan, ia akan melahirkan suatu sikap baik.
ADVERTISEMENT
Contoh, kita mungkin bisa mendengar dari teman alur lengkap dari serial Netflix, Money Heist, kita bisa membaca spoiler tentangnya di internet. Tapi, bisakah hal tersebut mewakili setiap percakapan antar tokoh yang sangat berharga. Orientasi terhadap informasi yang hanya terbatas pada mengetahui ini perlu kita jangkaukan lagi pada tahapan memahami.
Saya begitu ingin pemikiran terhadap hal yang kecil ini diketahui banyak orang, terkhusus orang Indonesia. Bisa saja kan, keinginan orang untuk mengantikan diri terhadap spoiler ini lah bentuk kecil dari lemahnya rasa penasaran kita? Rasa penasaran yang rendah ini lah yang membuat kebanyakan orang Indonesia, malas mendalami suatu hal. Kekaguman dan kebencian itu lah yang membuat kita seringkali mengkuduskan sesuatu tanpa mengulang Kembali keyakinan kita, dan membuat kita anti terhadap sesuatu yang padahal itu perlu dan mengandung manfaat bagi akal kolektif kita.
ADVERTISEMENT
Spoiler, jika kita renungkan, hanya seperti ulasan ringkas di cover belakang setiap buku. Ia hanya sebagai pemancing, dan kita tak boleh menyebutkannya sebagai pesan seluruh isi buku atau film. Atau, semacam daftar isi dari sebuah buku. Daftar isi takkan bisa menjelaskan isi buku itu secara keseluruhan.