Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika KPK Dapat Diajak Berkompromi
25 Agustus 2021 18:42 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dadang I K Mujiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang bendahara memberikan saran kepada pimpinan di institusi A: “Pak, untuk acara sosialisasi pencegahan penyelewengan aset negara minggu depan, kita undang pegawai KPK yok. Saya baca perpim 6/2021 tentang biaya perjadin pegawai KPK sekarang diserahkan ke penyelenggara Pak. Saya rasa ini bisa jadi strategi kita untuk nego masalah “itu”, sebelum di blow-up oleh media. Nanti saya aturkan SBMnya paling tinggi. Kalau perlu kita belikan tiket business class PP, penjemputan pakai alphard plus makan siang di resto kepiting Z dan kamar suite di hotel A”, Oh ya, sama honor narasumber ya Pak,”
ADVERTISEMENT
Pimpinan menjawab: “Ide bagus, coba dieksekusi. Kondisikan segala keperluannya”
Adanya anekdot di atas mungkin tepat menggambarkan situasi yang terjadi paska terbitnya Peraturan Pimpinan (Perpim) KPK Nomor 6/2021 yang mengizinkan biaya perjalan dinas (perjadin) pegawai KPK ditanggung oleh penyelenggara kegiatan.
Terbitnya Perpim tersebut tentu telah membuka peluang besar bagi koruptor untuk bernegosiasi agar terhindar dari jeratan hukum. Terlebih di tengah pandemi di saat sekarang dan mengingat kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) COVID-19 oleh Mantan Menteri Sosial, dan pungutan liar oleh oknum terhadap bansos di daerah. Terbitnya Perpim tersebut membuat masyarakat semakin skeptik akan terbebasnya Indonesia dari cengkraman praktik korupsi.
Hanya berlaku bagi instansi pemerintah
Dalam sanggahannya, pimpinan KPK mengklaim bahwa pembebanan biaya dinas tidak berlaku dalam penanganan perkara dan hanya berlaku di antara sesama instansi pemerintah dan tidak bagi swasta.
Namun faktanya, justru embrio praktik korupsi berasal dari instansi pemerintah. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2020 contohnya, menempatkan pemerintah kabupaten sebagai lembaga paling korup di tahun 2019 . Dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menempatkan bagian pengadaan sebagai bagian yang paling sering tertimpa kasus korupsi, diikuti bagian perizinan usaha .
Dengan dibukanya celah ini, tentu menjadi peluang bagi para koruptor untuk melancarkan aksinya. Terlebih pejabat yang terindikasi melakukan tindakan korupsi, umumnya akan menggunakan power yang mereka punya untuk mengamankan kepentingannya. Salah satunya dengan menggunakan kas instansi yang mereka pimpin untuk “menjamu” tamu-tamu penting yang memiliki pengaruh terhadap posisi yang mereka tempati sekarang.
ADVERTISEMENT
Jamuan tersebut, tentu berbagai macam bentuknya, beberapa di antaranya seperti yang telah disebutkan dalam anekdot di atas.
Sebelumnya, lembaga anti rasuah ini merupakan lembaga yang paling ditakuti di Indonesia. Banyak instansi pemerintah dan swasta tidak ingin berdekatan dengan KPK. Mereka selalu “was-was” ketika pegawai KPK datang, baik dalam rangkaian sosialiasi/seminar atau pengusutan kasus. Pegawai KPK juga dikenal tidak pernah mau dijemput dan dibawa makan ke restoran oleh penyelenggara. Mereka juga tidak pernah mau direservasikan hotel tempat mereka menginap. Semua pegawai KPK yang mengurus. Penyelenggara taunya pegawai KPK hari ini datang, jam sekian menjadi pembicara. Nanti sore pulang ke Jakarta. Selesai.
Tidak ada bingkisan-bingkisan atau mampir ke toko butik untuk membeli batik khas daerah yang harganya bisa sampai puluhan juta.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi alih status sebagai ASN
Adanya Perpim ini juga selain menguntungkan bagi para koruptor, dikhawatirkan juga akan membuat pegawai KPK tergiur dengan penghasilan tambahan yang diperoleh dari rangkaian perjadin. Sebagaimana yang disampaikan oleh Fajri bahwa gaji pegawai dan pejabat KPK lebih tinggi dibanding ASN pada umumnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya pegawai KPK tidak menerima lagi bingkisan-bingkisan dari penyelenggara.
ADVERTISEMENT
Meskipun KPK berdalih adanya kemungkinan perjadin dibayarkan oleh penyelenggara dalam konteks sedang tidak dalam penyelidikan. Tetap saja, para koruptor tentu dapat menggunakan momen seperti sosialisasi atau seminar yang melibatkan pegawai KPK sebagai pembicara, untuk melancarkan intrik yang mereka miliki.
Tentunya mencegah lebih baik bukan, ketimbang ruang kerja diobrak-abrik oleh pegawai KPK.
Dewan Pengawas harus bertindak
Adanya Perpim 6/2021 tentunya akan membuat KPK menjadi lembaga yang tidak independen dan kredibilitas serta kewibawaan sebagai lembaga antirasuah bisa saja tergerus. KPK sebagai lembaga yang digadang-gadang oleh masyarakat dapat membebaskan Indonesia dari cengkraman praktik korupsi harusnya berdiri sebagai lembaga independen. Masyarakat sudah muak dengan banyaknya lembaga pemerintah yang terjaring praktik korupsi. Bahkan di level RT saja, praktik gratifikasi marak terjadi.
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 37B Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 yakni tugas dan wewenang Dewan Pengawas (Dewas), salah satunya huruf (d) Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK . Oleh karena itu, (Dewas) KPK sebagai lembaga yang mengawasi pergerakan pegawai KPK harus merespons dan bertindak cepat terhadap kegaduhan ini. Dewas perlu menegur pimpinan KPK demi menjaga marwah lembaga. Revisi atau pencabutan Perpim tersebut bisa menjadi salah satu rekomendasi dewas demi menjaga harapan masyarakat terhadap KPK.
ADVERTISEMENT
Karena kalau bukan KPK, kemana lagi masyarakat harus berharap?
Lebih lanjut, dewas juga perlu menekankan lima nilai dasar KPK kepada pimpinan dan pegawai KPK. Yakni integritas, sinergi, keadilan, profesionalisme dan kepemimpinan . Adanya Perpim tersebut, selain merusak independensi KPK juga dapat merusak integritas, keadilan dan profesionalisme pegawai KPK.
Dengan adanya kegaduhan ini, kita berharap Dewas dapat bertindak tegas demi menjaga marwah KPK.