Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Legasi Kolonial dalam Politik Bernegara di Negara Modern
26 November 2022 19:28 WIB
Tulisan dari Dadang I K Mujiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Studi mengenai legasi kolonial dalam politik bernegara di berbagai negara modern muncul dalam diskursus akademia ketika seorang antropolog Clifford Geertz menerbitkan buku yang berjudul “Old Societies and New States” pada tahun 1964.
ADVERTISEMENT
Dua dekade berikutnya, pada tahun 1983, Benedict Anderson, seorang ilmuwan politik dan sejarahwan memupuk diskursus ini dengan menerbitkan artikel yang sangat berpengaruh dengan judul “Old States, New Societies: Indonesia's New Order in Comparative Historical Perspective.”
Karya Anderson tersebut, terbukti telah banyak menginspirasi banyak sarjana untuk menulis studi tentang legasi kolonial di negara-negara pascakolonial. Tesis utama yang disajikan oleh Anderson dalam karya tersebut adalah bahwa banyak negara modern tidak ragu atau tidak merasa aneh menggunakan pendekatan kuno dalam mengatasi sengketa kontemporer.
Contohnya adalah ketika negara Revolusioner Tiongkok dan negara Sosialis Uni Soviet tidak ragu menggunakan peta sejarah dan perjanjian kuno (abad ke enam belas) dalam mengatasi sengketa wilayah yang terjadi pada abad ke sembilan belas.
ADVERTISEMENT
Semangat kebijakan antikolonial
Bagi para nasionalis, melenyapkan legasi kolonial dari politik bernegara dan bahkan melawan negara-negara penjajah yang diimplementasikan melalui kebijakan luar negeri, oleh beberapa sarjana politik misalnya Maitrii Aung-Thwin dan Rizal Sukma, adalah pekerjaan prioritas bagi para pemimpin nasionalis di negara yang baru merdeka.
Di Indonesia dan Myanmar misalnya, Presiden Sukarno dan Perdana Menteri U Nu merupakan dua tokoh yang sangat anti penjajahan Barat. Namun, pascapergantian kepemimpinan di kedua negara, khususnya Indonesia, kebencian terhadap legasi dan penjajahan Barat tidak selalu ditunjukan oleh pemimpin baru di sebuah negara.
Perubahan kebijakan pemimpin baru, sebagaimana yang kita ketahui dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya dinamika politik luar negeri. Dalam konteks kali ini – keberlanjutan legasi kolonial di negara pascakolonial, oleh beberapa sarjana politik seperti Benedict Anderson dan Ruth McVey dianggap keberlanjutan negara lama di masyarakat baru (old state in new society).
ADVERTISEMENT
Maka, berikut akan disajikan beberapa contoh kebijakan kolonial yang dapat kita temukan di Indonesia dan Myanmar di era pascakolonial.
Kebijakan ekonomi
Di Indonesia dan Myanmar, kebijakan kolonial di bidang ekonomi kita dapat temukan dengan mudah, meskipun pemimpin nasionalis di kedua negara, khususnya Sukarno dan U Nu sangat anti terhadap penjajahan Belanda dan Inggris.
Dalam kasus Indonesia, kebencian terhadap Belanda tidak ditunjukan oleh penerus Sukarno, yaitu Suharto. Kebijakan ekonomi Suharto yang mendukung penuh kapitalisme dan liberalisme merupakan cerminan dari kebijakan ekonomi kolonial Belanda yang menitikberatkan pada perdagangan bebas dan investasi asing.
Di Myanmar, meskipun Perdana Menteri U Nu dan penerusnya sangat anti terhadap kolonial Inggris, faktanya kebijakan ekspor yang memprioritaskan beras sebagai komoditas utama merupakan kebijakan yang sudah dilakukan sejak masa penjajahan Inggris. Bahkan ketika posisi Myanmar digantikan oleh Thailand sebagai pemasok beras utama dunia, pemerintah Myanmar tetap bersikeras untuk merebut kembali posisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Kebijakan sosial-politik
Dalam bidang sosial-politik, kebijakan segregasi atau pemisahan masyarakat ke dalam beberapa kelas merupakan salah satu kebijakan yang menjadi banyak perhatian publik.
Di Indonesia contohnya, pada zaman penjajahan Belanda kebijakan segregasi ditujukan kepada tiga jenis kelompok masyarakat yakni, orang kulit putih/bangsa Eropa sebagai kelas pertama, orang keturunan India dan Tionghoa sebagai kelas kedua, dan orang pribumi/orang asli sebagai kelas ketiga, atau kelas terendah. Sedangkan di Myanmar, kebijakan segregasi oleh penjajah Inggris diterapkan untuk memisah antara orang asli Burma (Burma Proper/Ministerial Burma) dan orang-orang perbatasan (frontier areas).
Pada perkembangannya di negara pascakolonial, kebijakan segregasi justru masih digunakan untuk menekan dan memersekusi kelompok-kelompok minoritas yang dianggap oleh rezim berbahaya bagi negara.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, diskriminasi dan persekusi terhadap etnis Tionghoa pada era Suharto menjadi kebijakan yang sangat rasial dan melanggar HAM. Penghapusan budaya etnis Tionghoa, penutupan sekolah-sekolah Tionghoa, dan pelarangan publikasi berbahasa Tionghoa merupakan contoh dari kebijakan diskriminatif tersebut. Kemudian peresmian istilah “Cina” yang sarat akan penghinaan rasialis, sebagai pengganti istilah “Tionghoa” yang lebih netral dan telah lazim dianggap sebagai puncak dari kebijakan diskriminasif terhadap etnis Tionghoa pada era otoriter Suharto.
Sedangkan di Myanmar, kebijakan diskriminatif terhadap etnis minoritas umumnya ditujukan kepada etnis yang bermukim di wilayah perbatasan yang secara budaya, agama, dan suku berbeda dengan mayoritas penduduk Myanmar, yakni etnis Burma dan beragama Buddha.
Khusus untuk diskriminasi terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, menurut banyak laporan yang diterbitkan oleh lembaga HAM, salah satunya The Independent Burma Human Rights Network menunjukkan bahwa terdapat peran pemerintah junta militer (the Tatmadaw) dan ekstremis nasionalis Buddhis di banyak kasus persekusi terhadap etnis Rohingya.
ADVERTISEMENT
Kebijakan diskriminatif terhadap etnis Rohingya di antaranya meliputi larangan mengakses fasilitas publik oleh warga Muslim dan larangan berpartisipasi dalam pemilihan umum (dipilih dan memilih).
Kebijakan keamanan
Pada era kolonial Belanda di Indonesia, KNIL (het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger - Tentara Kerajaan Hindia Belanda) mendirikan gugus tugas (task force) yang bertujuan menciptakan situasi yang aman dan damai (rust en orde) di wilayah kolonial Belanda.
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia secara resmi pada tahun 1949, dengan semangat yang sama (rust en orde), sekitar enam belas tahun berikutnya pemerintah Orde Baru Indonesia membentuk lembaga koordinasi di bidang keamanan yang disebut Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Lembaga ini bertujuan selain menangkap dan melenyapkan sisa-sisa komunis di Indonesia, juga menangkis berbagai ancaman dalam negeri yang berpotensi mengganggu eksistensi rezim yang berkuasa, termasuk pelarangan demonstrasi, menyensor media-media kritis terhadap pemerintah, dan menangkap figur-figur politik yang dapat mengganggu eksistensi rezim.
ADVERTISEMENT
Sama halnya seperti Indonesia, Myanmar juga membentuk lembaga koordinasi keamanan yang serupa, yakni State Law and Order Restoration Council - SLORC (Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara) pada tahun 1988. Ketika pada zaman kolonial, penjajah Inggris juga menerapkan kebijakan serupa untuk mengatasi pemberontakan dan menjaga situasi internal tetap tenteram dan damai melalui implementasi peraturan British Law and Order pada tahun 1850an di Burma (Myanmar).