Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perkembangan Area Studies di Amerika Serikat
1 September 2021 21:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dadang I K Mujiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Antara kepentingan politik dan tuntutan independensi akademik
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Seperti yang disampaikan oleh Bundy (seorang Sarjana Amerika dan bekerja sebagai penasihat keamanan nasional untuk Presiden John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson) bahwa sejarah munculnya area studies (pusat studi, misalnya pusat studi Asia Timur, Asia Tenggara, Africa dll) dalam perkembangan dan perdebatan akademik erat hubungannya dengan perkembangan badan intelijen di Amerika Serikat (AS).
Kebutuhan akan informasi terkait musuh atau pihak-pihak yang dapat mengancam kedaulatan AS menjadi prioritas utama para teknokrat negara, dan karena itu menggerakkan seluruh sumber daya manusia, termasuk akademisi untuk mengamankan kepentingan nasional merupakan hal yang umum dilakukan oleh negara.
Mengutip pernyataan mantan Presiden AS John F. Kennedy pada saat pengambilan sumpahnya sebagai Presiden AS ke 35 pada 20 Januari 1961.
ADVERTISEMENT
Membuat saya semakin yakin bahwa apa yang dilakukan oleh AS dalam mengamankan kepentingan nasionalnya merupakan hal yang wajar.
Bagi para akademisi yang idealis mungkin akan bertanya, apakah tepat seorang sarjana atau bahkan profesor melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh mata-mata atau pegawai intelijen?
Perkembangan area studies di AS dan hubungannya dengan Indonesia
Faktanya, awal mula dan perkembangan area studies di AS memang erat hubungannya dengan momen-momen peperangan baik perang dunia pertama, kedua dan perang dingin. Szanton (2002) dalam Politics of Knowledge , menegaskan bahwa kebutuhan AS mengembangkan area studies karena perlu mempelajari negara bekas jajahan Uni Soviet dan bekas jajahan negara-negara di benua Eropa. Lebih lanjut, pendirian area studies yang dilakukan lebih awal oleh Uni Soviet dan China membuat AS mau tidak mau harus mendirikan area studies untuk menekan hegemoni komunis di wilayah Asia timur dan Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Uniknya, pendirian area studies di beberapa lembaga pendidikan di AS seperti di Yale university (Southeast Asian centers) 1947, Cornell university (Southeast Asian centers) 1950, Berkeley University (South East Asian centers) 1960, Northern Illinois 1963, Ohio 1969, dan Southeast Asian Summer Studies Institute (SEASSI) 1975 , tidak hanya bertujuan untuk mengetahui area di luar AS, namun sebagai cara untuk menanamkan ideologi dan sistem yang dijunjung tinggi oleh AS, yang pada akhirnya bertujuan untuk mengamankan kepentingan nasional. Misalnya, demokrasi, perdagangan bebas dan penegakan HAM.
Adapun cara-cara untuk menanamkan ideologi dan sistem yang dijunjung tinggi oleh AS di negara-negara non-western adalah melalui instrumen internasional yang dimilikinya, seperti IMF, World Bank dan WTO.
Indonesia sebagai negara yang menerima suntikan dana moneter dari IMF di tahun 1998, mau tidak mau harus mengikuti syarat-syarat yang ditentukan oleh IMF agar dapat menerima bantuan dana, beberapa di antaranya pembukaan pasar bebas dan termasuk menutup industri strategis yakni Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) atau yang dikenal dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI), yang menurut saya, dengan kemampuan PT DI membuat pesawat terbang dengan teknologi fly by wire di masanya, industri ini akan menjadi salah satu pesaing Boeing dikemudian hari.
ADVERTISEMENT
Secara bersamaan, jauh sebelum tahun 1998, Indonesia sudah menjadi salah satu objek studi yang sangat terkenal di Cornell University yang diawali dengan didirikannya Cornell Southeast Asia Program 1950, dan dilanjutkan pada pendirian Proyek Indonesia Modern Cornell di tahun 1956.
Adapun program tersebut menyasar pada diskursus politik Indonesia sejak sebelum dan sesudah era kemerdekaan. Para Sarjana terkemuka AS yang fokus pada kajian Indonesia, seperti Benedict Anderson dan James Scott telah mewarnai sebagian besar literatur politik kontemporer Indonesia, dan berkontribusi besar terhadap pemahaman akan politik Indonesia bagi para sarjana Amerika dan non-Amerika.
Peran lembaga intelijen dan yayasan swasta dalam mendukung area studies di AS
Selain pendirian area studies di universitas-universitas terkemuka di AS, lembaga intelijen dan departemen pendidikan AS juga memainkan peran signifikannya dalam mendukung perkembangan area studies. Bahkan penulis dari AS, Bowen dalam bukunya The Development of Southeast Asian Studies in the US, mengemukakan bahwa CIA memberikan sponsor terhadap penerbitan buku-buku anti komunis tahun 1960-an dan dukungan militer terselubung untuk jurnal-jurnal Vietnam perspective .
ADVERTISEMENT
Besarnya pengaruh lembaga pembiayaan dalam mendukung area studies di AS, pada akhirnya menyebabkan institusi dan sarjana area studies sangat bergantung pada yayasan keuangan ini. Dan paska kekalahan AS dalam perang Vietnam dan berakhirnya Perang Dingin, menyebabkan penyumbang utama dana area studies di AS yakni Ford Foundation memutuskan untuk merevitalisasi area studies dan lebih fokus pada "globalisme" dan menghindari kajian-kajian yang terfokus pada "tempat", "budaya", dan "bahasa", yang umumnya dilakukan dan menjadi kajian para sarjana area studies. Hal ini pada akhirnya menyebabkan krisis area studies pada dekade 1999an.
ADVERTISEMENT
Pilihan antara pragmatis atau idealis
Sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya bahwa perkembangan area studies di AS sangat dinamis, dan eratnya hubungan antara perkembangan area studies dan kepentingan nasional AS dapat dilihat dari ajakan mantan Presiden AS ke 35 JFK untuk mendorong seluruh masyarakat AS untuk berjuang bersama-sama demi kepentingan negara.
Di era kepemimpinan JFK juga (1961-1963) yang kemudian dilanjutkan oleh wakil presiden Lyndon B. Jonhson, perkembangan area studies menjadi sangat pesat, dan peran-peran lembaga intelijen juga besar dalam mendukung area studies. Pada poin ini, kita mungkin bertanya, mengapa harus meminta akademisi untuk melakukan tugas-tugas pengumpulan data atau informasi untuk tujuan intelijen? Mengapa tidak dilakukan oleh pegawai intelijen sendiri? Apakah para intelijen tidak dapat melakukan riset? Dan mengapa akademisi harus terlibat dalam pekerjaan intelijen, ketimbang menjunjung tinggi prinsip independen?
ADVERTISEMENT
Faktanya, berdasarkan wawancara saya dengan salah seorang pegawai intelijen, terungkap bahwa peran akademisi memang diperlukan untuk keperluan analisis kekuatan musuh atau pihak-pihak yang dapat mengancam kedaulatan sebuah negara. Lebih lanjut, tidak dapat dipungkiri, keahlian akademisi dalam melakukan riset, khususnya antropolog memang terbukti bahwa mereka melakukan riset secara mendalam, dan bahkan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti satu fenomena di tengah masyarakat. Kursus bahasa lokal dan memahami budaya masyarakat setempat sudah menjadi “makanan” sehari-hari bagi para antropolog dalam menganalisis sebuah fenomena.
Sehingga saya berpendapat, bahwa sepanjang hal-hal yang dilakukan untuk kepentingan nasional sebuah negara, saya menganggap hal itu sah-sah saja, sepanjang tidak melanggar etika seorang peneliti atau akademisi. Dan saya juga yakin bahwa aktivitas yang melibatkan akademisi dalam misi-misi tertentu atau rahasia oleh negara tidak terjadi secara terus menerus. Contohnya di AS, keterlibatan akademisi dalam badan intelijen dan sebaliknya dalam rangka mendukung area studies hanya dilakukan di saat waktu-waktu tertentu, misalnya saat AS menghadapi perang. Terlepas dari itu, aktivitas akademisi dan universitas sebagai institusi yang menaungi para sarjana dan peneliti dapat melanjutkan aktivitas sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, adanya kekuatan politik dan kepentingan nasional dalam pendirian dan mendukung area studies di AS menurut saya merupakan hal yang wajar. Karena apa pun latar belakang pekerjaan masyarakat di sebuah negara, sudah seharusnya mereka bertanggung jawab dan bekerja bersama-sama demi mengamankan kepentingan nasional, termasuk di Indonesia.