Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengulik Maraknya Gagal Ginjal pada Anak, Mulai Faktor Pemicu hingga Solusinya
30 September 2024 7:23 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ebtasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rasa prihatin timbul saat melihat trending berita media sosial tentang meningkatnya kasus gagal ginjal pada anak akhir-akhir ini. Tampak seorang bocah berusia sekitar 10 tahun terpaksa menjalani cuci darah dua kali dalam sepekan untuk dapat bertahan hidup. Bukan karena faktor genetis ataupun bawaan lahir tentunya. Namun, ada faktor lain yang menyebabkan kondisi ini menimpanya.
ADVERTISEMENT
Kasus yang hampir sama juga dialami oleh puluhan bahkan mungkin ratusan anak Indonesia. Meskipun hingga saat ini belum terkonfirmasi secara pasti oleh IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tingkat kenaikan kasus ini.
Survei yang dilakukan IDAI di Jakarta menunjukkan hasil yang mencengangkan. Terdapat 1 dari 5 anak usia 12-18 tahun mengalami hematuria ataupun proteinurea. Ini menjadi gejala awal terjadinya gagal ginjal.
Bayangkan,jika ini menimpa 20% anak di Indonesia. Masa keemasan yang digadang-gadangkan pada tahun 2045 akan menjadi isapan jempol semata.
Seperti dilansir di beberapa media, penyebab gagal ginjal selain faktor genetis, kelainan bawaan lahir, dapat juga dipicu karena penyakit dan perubahan gaya hidup. Diabetes melitus dan tekanan darah tinggi menjadi penyakit penyerta yang sering dijumpai.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan meningkatnya kasus gagal ginjal, kenaikan kasus diabetes pada anak meroket dalam beberapa tahun terakhir. IDAI menyampaikan pada bulan januari 2023 kasus diabetes pada anak meningkat 70 kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah diabetes anak pada tahun 2020.
Perubahan gaya hidup memberikan kontribusi nyata. Kurangnya aktivitas fisik tidak sebanding dengan kenaikan kalori yang dikonsumsi. Anak-anak cenderung mengkonsumsi gula berlebih setiap harinya.
Apalagi, berbagai makanan instant yang mengandung gula tersembunyi makin sering dikonsumsi. Kebiasaan mengkonsumsi real food pun mulai ditinggalkan.
Kita dapat belajar dari kasus gagal ginjal yang dialami seorang anak di Madiun, Jawa Timur. Anak ini gemar mengkonsumsi makanan dan minuman instant setiap harinya. Kebiasaan yang dimulai dari umur 10 tahun bagaikan sebuah candu yang tak mudah untuk dihentikan. Pada oktober 2022 berujung vonis gagal ginjal.
ADVERTISEMENT
Kesibukan dan keterbatasan waktu dari para orang tua seolah menjadi pembenaran hingga akhirnya anak-anak terbiasa mengkonsumsi makanan dan minuman instant.
Selain itu, keterjangkauan akan makanan ataupun minuman berkadar gula tinggi juga semakin mudah. Berbagai gerai minuman kekinian berderet tidak hanya di kota-kota besar. Mirisnya, mengkonsumsi kopi/minuman kekinian menjadi “trend” saat ini.
Masyarakat mungkin belum teredukasi mengenai batasan konsumsi gula harian. Seperti yang tercantum dalam Permenkes No.30 tahun 2023, konsumsi gula tambahan yang direkomendasikan maksimal 50 gram per hari atau setara 4 sendok makan.
Begitu halnya dengan batasan konsumsi pengawet ataupun bahan tambahan lain pada makanan. Meskipun diperbolehkan dan legal untuk digunakan pada makanan, bahan tambahan makanan memiliki nilai ambang batas aman untuk mengonsumsinya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat penting untuk tahu akan hal ini, sehingga dapat mengkalkulasi dan melakukan pembatasan pada konsumsi hariannya. Informasi terkait batasan bahan tambahan pangan (BTP) dapat kita lihat secara rinci pada Peraturan BPOM No.11 tahun 2019.
Dalam kondisi ini, peran orang tua tentu sangat penting untuk menentukan pola konsumsi anak. Edukasi dan literasi pada orang tua diharapkan dapat melindungi anak dari konsumsi yang tidak sehat.
Faktanya, berdasarkan hasil survei BPOM tahun 2015-2017 tingkat kesadaran masyarakat untuk membaca label pangan tergolong masih rendah. Untuk itu, pemerintah membuat sebuah terobosan pencantuman logo “pilihan lebih sehat” pada beberapa kategori pangan.
Pencantuman logo ini dilakukan secara bertahap tentunya, dimulai dari minuman siap konsumsi, pasta instant dan mi instant.
ADVERTISEMENT
Produsen harus memenuhi beberapa persyaratan agar dapat mencantumkan logo ini. Pada minuman siap konsumsi, syaratnya produk harus bebas dari pemanis buatan dan kandungan gulanya kurang dari 6 gram setiap 100 ml minuman.
Adapun pada produk pasta dan mi instant, kandungan lemak totalnya harus kurang dari 20 gram setiap 100 gram produk dan kandungan garam/natrium kurang dari 900 mg setiap 100 gram produk.
Jika masyarakat menemukan produk olahan dengan logo "Pilihan Lebih Sehat", artinya produk tersebut sudah memenuhi persyaratan kandungan gula, garam dan lemak yang rendah. Produk tersebut dinyatakan lebih sehat apabila dibandingkan dengan produk sejenis asalkan dikonsumsi dalam jumlah yang wajar.
Harapannya masyarakat lebih mudah dalam menentukan pilihan produk yang aman untuk dikonsumsi. Sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang dapat diupayakan oleh pemerintah ialah dengan pemberlakukan biaya cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan. Rancangan peraturan yang mengatur hal itu diharapkan dapat diberlakukan di tahun 2023, nyatanya penerapannya mengalami sejumlah tantangan.
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives
(CISDI) menyampaikan dengan pemberlakuan cukai 20% akan menurunkan konsumsi gula masyarakat hingga mampu menekan 1,4 juta kasus diabetes selama 25 tahun.
Kita dapat belajar tentang efektivitas pemberlakuan kebijakan tersebut dari beberapa negara, seperti Meksiko misalnya. Dengan penerapan biaya cukai 10% berhasil menurunkan jumlah pembelian minuman berpemanis dalam kemasan sebesar 19%.
Hal serupa terjadi di Inggris. Pemberlakuan biaya cukai mampu mendorong penurunan kadar gula hingga 11%. Selain itu, para produsen terdorong untuk melakukan inovasi formulasi sehingga produknya menjadi lebih sehat.
ADVERTISEMENT
Sinergi dan kolaborasi dari beberapa kementerian dan Lembaga sangat diperlukan demi menyelamatkan masa depan anak bangsa. Pemberlakuan kebijakan yang dapat mendukung peningkatan derajat kesehatan perlu kita kawal.
Gagal ginjal pada anak menjadi ancaman nyata bagi kita saat ini. Dengan lebih peduli terhadap pola konsumsi diharapkan mampu menyelamatkan buah hati kita.