Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kapitalisme Religius, Sebuah Kritik
20 April 2024 23:30 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Edo Segara Gustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Izinkan saya mengutip sebuah tulisan berjudul, "Bukan Ekonomi Islam, Tapi Kapitalisme Religius," di sebuah media online milik UKM Jurnalistik Himmah Universitas Islam Indonesia (himmahonline.id). Sungguh menarik, karena penulis membuat judul seolah-olah memilih kapitalisme religius ketimbang ekonomi Islam itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa kapitalisme dan semangat religius dianggap sebagai pasangan ganjil. Sesuatu yang kontradiktif dan tak mungkin dapat disintesiskan. Layaknya hubungan politik dan moral yang dibandingkan oleh Machiavelli, begitu pula dengan kapitalisme. Telah menjadi sebuah kata yang sangat buruk, sebagaimana politik.
"Kapitalisme religius memperlihatkan kedekatannya dengan ajaran materialistik, yang lainnya mengajarkan spritualitas yang berhubungan dengan realitas tertinggi. Sifatnya pun bertolak belakang, yang satu mengutamakan rasionalitas, yang kedua dianggap intuitif. Sama halnya dengan ilmu positif dan ilmu negatif."
"Memasuki dunia Hegel, kita meminjam istilahnya tentang tesis antitesis untuk mengkaji hal tersebut. Kapitalisme sebagai sebagai tesis dan semangat religious sebagai antitesisnya. Ketika dipadukan, maka akan menghasilkan kapitalisme religious," ungkap Zikra Wahyudi Nazir dalam media tersebut.
ADVERTISEMENT
Pendukung kapitalisme religius sering kali menegaskan bahwa sistem ini mampu menghasilkan kemakmuran material dan spiritual secara bersamaan. Menarik kiranya, kita mengulas apa kapitalisme itu sendiri dan kombinasinya dengan keagamaan (Kapitalisme Religius).
Mengenal Kapitalisme
Kapitalisme dalam ideologi ekonomi adalah sebuah ajaran yang dikenalkan oleh Adam Smith. Salah satu karyanya yang cukup fenomenal adalah "The Wealth of Nations." Buku ini menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme.
Ideologi kapitalisme awalnya muncul dari konsep ekonomi dari Inggris di abad ke-18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja.
Dalam ideologi kapitalisme adalah negara atau Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dalam sistem ekonomi ini, tetapi berperan untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, kapitalisme mulai tumbuh di era periode awal kolonialisme yang bermula dari rempah-rempah, di mana muncul perusahaan Belanda The Dutch East India Company atau VOC/Vereenigde Oost Indische Compagnie (Muhammad Idris, 2022).
Mengapa Bukan Ekonomi Islam?
Di dalam tulisan yang ditulis Zikra Wahyudi Nazir dalam media online himmahonline.id yang berjudul, "Bukan Ekonomi Islam, Tapi Kapitalisme Religius," sebenarnya tidak jelas apa yang ingin ditulis oleh Zikra tentang mengapa ia memilih Kapitalisme Religius ketimbang Ekonomi Islam. Bahkan dalam sub bab tulisannya, ia mengkritik konsep Kapitalisme Religius itu sendiri.
Zikra dalam tulisannya hanya menjelaskan beberapa tokoh pemikir Islam di Indonesia yang juga membahas isu-isu ekonomi, seperti Bahtiar Effendy, Tjokroaminoto, Sjafruddin Prawiranegara, Muhammad Roem dan juga Nurcholis Madjid (Cak Nur). Bahkan secara spesifik ia mengulas pemikiran Cak Nur.
ADVERTISEMENT
"Bukunya yang berjudul "Indonesia Kita," Nurcholis Madjid banyak membahas persoalan politik dan kenegaraan. Cak Nur menguraikan pentingnya peran keterbukaan dan liberalisasi ekonomi. Privatisasi dan kegiatan ekonomi bebas, menurutnya, bukan hanya akan melahirkan dan mendorong ekonomi yang sehat, tapi juga dapat mempercepat dan memperkuat konsolidasi demokrasi," tulisnya.
Kritik Terhadap Kapitalisme Religius
Kapitalisme religius, sebuah konsep yang mencoba menggabungkan prinsip-prinsip ekonomi kapitalis dengan nilai-nilai agama, telah menjadi subyek perdebatan yang semakin intens dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun dalam konsepnya menyatukan kekayaan material dengan spiritualitas, banyak kritik telah dilontarkan terhadap fenomena ini.
Salah satu kritik utama terhadap kapitalisme religius adalah paradoks antara tujuan spiritualitas dan tindakan ekonomi. Dalam prinsipnya, agama mengajarkan nilai-nilai seperti keadilan, belas kasihan, dan kepedulian terhadap sesama. Namun, dalam praktiknya, kapitalisme religius sering kali menekankan pada akumulasi kekayaan dan kesuksesan materi.
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap kapitalisme religius juga menyoroti ketidaksetaraan ekonomi yang sering kali diperkuat oleh sistem ini. Meskipun diusung dengan klaim kesetaraan peluang dan keadilan, kapitalisme religius cenderung memperkuat kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Praktik-praktik seperti tuntutan memberi sumbangan yang besar kepada gereja atau organisasi agama, sering kali memberikan keuntungan ekonomi yang lebih besar kepada mereka yang sudah kaya.
Selain itu kapitalisme religius dapat menyebabkan alienasi spiritual di antara para pemeluk agama. Dalam fokus yang terlalu kuat pada pencapaian materi, nilai-nilai spiritual sering kali terpinggirkan atau bahkan diabaikan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan batin dan kekosongan spiritual di tengah-tengah kemakmuran material.
Meski begitu, banyak pendukung konsep ini memandang bahwa kapitalisme bisa berjalan secara bersamaan dengan keagamaan (baik Islam, Kristen, atau agama lainnya). Saya kira untuk membuktikan hal tersebut, perlu adanya bukti empiris praktik-praktik ekonomi yang terkait dengan nilai-nilai agama seperti yang digaungkan oleh pemikir terkait konsep ini.[]
ADVERTISEMENT