Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Esensi dan Harmonisasi PPKM
23 Juli 2021 14:52 WIB
Tulisan dari Eduardo Edwin Ramda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peningkatan jumlah penyintas COVID-19 secara statistik belum menunjukan perlambatan dari sisi laju eksponensial. Pemerintah mengambil langkah Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagai solusi untuk mengurangi peningkatan kasus COVID di Indonesia. Secara teknis, PPKM dijalankan dengan mengurangi aktivitas pergerakan dan kerumunan masyarakat di masa pandemi. Penyekatan dan jam malam diberlakukan sebagai bagian integral dari PPKM.
ADVERTISEMENT
Fakta problematiknya, PPKM Darurat di sejumlah wilayah di Indonesia menyisakan beragam persoalan pada level implementasi. Kemacetan pada titik penyekatan dan perselisihan antara aparat penegak PPKM dengan masyarakat kerap mewarnai pemberitaan media. Konflik lapangan seakan-akan menjadi plot akhir dalam penindakan pelanggaran. Tak ayal, kritik mengalir deras kepada Pemerintah selaku decision maker. Pertanyaan reflektifnya: mengapa hal ini terjadi?
Esensi Yang Kabur
Sesungguhnya, Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 15 tahun 2021 secara garis besar mengatur tentang pembatasan kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi potensi kerumunan di suatu tempat. Kerumunan masyarakat menjadi situasi yang memungkinkan terjadinya penularan virus Corona melalui droplet. Dengan demikian, minimalisasi kerumunan merupakan esensi yang hendak dicapai oleh PPKM Darurat.
Esensi sendiri merupakan apa yang paling penting, hakikat, atau inti dari suatu objek. Pada tataran operasional, esensi lebih mengupas pokok permasalahan daripada manifestasi ataupun eksistensi dari suatu objek. Dengan demikian, esensi lebih berkaitan dengan pokok tujuan kebijakan daripada sekadar manifestasi yang belum tentu menggambarkan esensi secara utuh.
ADVERTISEMENT
Kerumunan yang minim adalah tujuan dari PPKM sehingga esensi kebijakan ini adalah meminimalisir kerumunan guna melandaikan kurva kasus COVID serta memenuhi target positivity rate COVID-19 oleh WHO (kurang dari 5%). Sebagai gambaran, data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 (15/07/2021) menunjukkan bahwa positivity rate versi PCR berada di angka 41,03%. Kurva kasus COVID juga belum menunjukkan sinyal penurunan pada tanggal tersebut.
Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa aksi represif penegakan PPKM yang nampaknya hadir sebagai manifestasi kebijakan ini justru tidak membuahkan hasil. Ikhtiar preventif dalam implementasi PPKM kerap kali berujung pada tindakan represif di lapangan. Nyatanya, di lapangan para aktor kebijakan justru beradu memenangkan kepentingan secara positive sum game daripada zero sum game yang akhirnya mengaburkan semangat minimalisasi kerumunan.
ADVERTISEMENT
Kerumunan akibat kebijakan penyekatan merupakan contoh implementasi regulasi yang mengaburkan semangat dari PPKM. Kemacetan yang mengular di sejumlah pos penyekatan memicu kerumunan masyarakat yang hendak melewati penyekatan tersebut. Ketika terjadi kemacetan, terdapat potensi kerumunan yang akhirnya memicu penularan virus.
Penyebab utama kemacetan tersebut adalah antrean validasi dokumen izin melintas yang selama ini dilakukan dengan menunjukkan surat tertentu. Sebagai masukan, Pemerintah dalam mengembangkan penggunaan teknologi barcode scan untuk melakukan validasi surat bebas COVID dan dokumen perjalanan terkait. Langkah ini perlu didukung pula oleh stakeholder yang merilis dokumen dengan menerbitkan dokumen elektronik dan pengembangan aplikasi khusus validasi. Dampaknya, akan ada penyederhanaan secara waktu dan prosedur yang akhirnya meminimalisir kerumunan.
Kisruh Penindakan: Disharmoni Implementasi
ADVERTISEMENT
Selain persoalan penyekatan, masih ditemukan pula sejumlah konflik dalam penegakan PPKM. Kepentingan menjadi causa prima atas hadirnya konflik tersebut. Masyarakat memiliki kepentingan bertahan hidup sehingga berupaya sebisa mungkin tetap menjalankan aktivitas ekonomi. Aparat Penegak PPKM juga memiliki kepentingan untuk menegakkan regulasi demi mencegah penularan virus. Kontradiksi kepentingan ini idealnya mampu dimediasi secara bijak melalui kerangka kebijakan guna meminimalisir konflik.
Bila merujuk pada kerangka kebijakan Instruksi Mendagri, mediasi tersebut sudah diatur dengan jelas. Skema persentase Work From Home sektor esensial dan non esensial; aturan belanja take away; hingga jam malam sudah diatur secara jelas. Sayangnya, misinterpretasi menjadi bukti reflektif atas disparitas pemahaman regulasi baik di level masyarakat maupun penegak PPKM.
Persoalan “salah terjemah” aturan pada level pelaksana di atas bukanlah tuduhan tendensius. Apa yang disampaikan Wali kota Semarang, Hendrar Prihadi pasca insiden penyiraman warung makan menjadi salah satu bukti sahih. Beliau tidak pernah mengintruksikan adanya penyiraman, namun pelaksana di lapangan justru melakukan hal itu. Hal ini menjadi cerminan bahwa terdapat tindakan non prosedural yang kerap ditempuh dalam penegakan pelanggaran PPKM.
ADVERTISEMENT
Padahal, terdapat sejumlah praktik baik pembatasan kerumunan di sejumlah daerah yang bisa dijadikan role model. Pendekatan humanis merupakan langkah preventif yang harus dikedepankan sebagai resolusi konflik. Intinya, tindakan yang ditempuh harus bermuara pada berkurangnya kerumunan secara progresif, bukan memicu amplifikasi resistensi publik.
Catatan Penutup
Pelaksanaan PPKM pada tataran implementasi membutuhkan inovasi kreatif untuk meminimalisir kerumunan. Digitalisasi perizinan akses penyekatan menjadi solusi konkret yang perlu dikembangkan. Optimalisasi aplikasi e-HAC dan aplikasi Peduli Lindungi menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan untuk mengimplementasikan usulan ini dalam jangka pendek.
Keberagaman misinterpretasi menjadi sinyal bagi pemerintah pusat untuk menyusun Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) sebagai panduan penegakan implementasi PPKM darurat di daerah. Penyusunan NSPK dalam penanggulangan dampak pandemi merupakan proxy yang tepat untuk menegakan komando kedaruratan pusat tanpa menggerus keotonomian Pemerintah Daerah dalam mengatur wilayahnya di masa Pagebluk.
ADVERTISEMENT