Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dari Papua Tengah untuk Indonesia
31 Desember 2023 10:59 WIB
Tulisan dari Engelbertus Viktor Daki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Dari Sumatra sampai ke Papua..
Kita semua mencoba tuk menjadi satu...
ADVERTISEMENT
Reff
Adhi Luhur teruslah kau berkarya
Di ujung bumi Pertiwi
Di Indonesiaku ini
Beragam agama, suku dan budaya
Di Adhi Luhurku ini
Di Indonesia tercinta..."
Demikianlah penggalan syair Theme Song Festival Budaya 2023, yang mengikuti irama lagu Bendera karya Band Cokelat.
Pada 28 Oktober 2023 lalu, SMA YPPK Adhi Luhur, Nabire, Papua Tengah sukses menyelenggarakan Festival Budaya. Acara yang digagas oleh Kolese Yesuit di Bumi Cendrawasih ini, dibuat untuk memeriahkan Sumpah Pemuda. Acara ini juga merupakan bagian dari proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) Kurikulum Merdeka.
"Satu Rasa, Satu Karsa Menciptakan Persatuan Bangsa" merupakan tema acara yang diselenggarakan dua tahun sekali ini. Tema ini mau menekankan kesatuan di tengah keberagaman budaya, agama, ras, dan sebagainya. Acara ini terakhir kali diadakan tahun 2019. Tahun 2021 tidak diselenggarakan karena pagebluk covid-19.
Kegiatan ini dimulai pukul 08.00 WIT dengan upacara Pengibaran Bendera Merah Putih yang dihadiri oleh Wakil Bupati Kabupaten Nabire, Bapak Ismail Jamaludin, para orangtua siswa, para tamu undangan, donator, kolaborator serta seluruh siswa/i dan guru SMA YPPK Adhi Luhur.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan Ketua Yayasan Karya Adhi Luhur, Kepala Sekolah, Ketua Panitia, Wakil Bupati Nabire.
Dalam sambutannya, Bpk. Ismail Jamaludin menegaskan, "Acara ini bukan hanya tentang pertunjukan seni dan budaya, melainkan juga tentang pembelajaran, penghargaan, dan perayaan keberagaman kita. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk memahami, menghormati, dan merayakan perbedaan yang ada di antara kita hingga di dalam masyarakat. Dalam keragaman itu, kita akan menemukan persatuan, kekuatan, dan harmoni. Semoga festival budaya 2023 SMA YPPK Adhi Luhur menjadi pemicu semangat kecintaan terhadap budaya Indonesia dan mendorong kita semua untuk menjaga, melestarikan, dan menghormati warisan budaya kita”.
Tanda dan Makna
ADVERTISEMENT
Acara menampilkan Fashion Show dari sepuluh suku, yakni Manado, Batak, Jawa, Papua Pegunungan, Papua Pesisir, NTT, Bali, Toraja, Tionghoa, Maluku, dan Kalimantan.
Koteka dan Moge
Suku Papua Pegunungan menampilkan Koteka dan Moge. Koteka adalah pakaian adat suku Mee yang biasanya dikenakan kaum pria. Koteka terbuat dari buah labu siam, suku Mee menyebutnya kerimun pedalaman. Untuk membuat koteka, buah labu siam yang sudah tua dibakar, dikeluarkan isinya, dikeringkan melalui asap api, dan dijemur selama selama seminggu sampai akhirnya siap digunakan.
Moge adalah pakaian adat wanita suku Mee yang terbuat dari kulit kayu. Untuk membuat moge, kulit kayu berwarna coklat dipukul-pukul hingga lembek dan kemudian dicabik-cabik sehingga menjadi Moge atau biasa disebut dengan “BEBI”.
ADVERTISEMENT
Kedua pakaian ini sering dikenakan pada saat acara-acara besar, seperti penjemputan orang penting, peresmian gereja dan acara penting lainnya.
Raja dan Ratu Sabu Raijua
Suku NTT menampilkan baju Raja dan Ratu suku Sabu Raijua. Sabu adalah salah satu kelompok etnis yang tinggal di pulau Sawu dan Raijua, Nusa tenggara timur.
Baju Adat Sabu Raijua adalah simbol keelokan dan keanggunan yang langka. Hiasan dan motifnya yang terjalin rapi mengajarkan keteraturan dan ketertiban dalam hidup. Baju adat ini mencerminkan kelembutan dan kasih sayang dari para perajinnya.
Baju adat ini adalah simbol kebersamaan dan kegembiraan masyarakat Sabu Raijua. Setiap warna cerah pada baju adat ini adalah wujud semangat dan kehidupan yang tak pernah pudar.
ADVERTISEMENT
Batak Karo
Suku Batak menampilkan pakaian adat Batak Karo, Sumatera Utara yang serupa dengan Batak Toba. Perbedaan paling menonjol yang terlihat yaitu adanya kain tenun yang dikenal dengan Uis Gara. Uis diartikan sebagai kain dan Gara berarti merah dalam bahasa Karo.
Dikenal sebagai kain merah, Uis Gara didominasi oleh warna merah dan kadang dipadukan dengan warna lain seperti hitam dan putih. Hiasan tenunan benang berwarna emas dan perak membuat pakaian tersebut terlihat elegan dan mahal. Pakaian ini biasanya dipakai sehari-hari oleh perempuan Karo. Saat ini, pakaian ini hanya digunakan untuk upacara adat dan pesta pernikahan.
Baju Poko dan Seppa Tallung
Suku Toraja menampilkan baju Pokko. Baju Pokko merupakan baju adat dari suku Toraja, yang digunakan untuk kaum wanita. Ciri – ciri dari pakaian ini adalah, lengan pendek dan warna yang cukup mencolok.
Warna dari Baju Pokko berupa kuning, merah, dan putih. Warna ini lah, yang menjadi ciri khas dari Baju Pokko Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
Pakaian adat Toraja yang dikenakan oleh laki-laki disebut Seppa Tallung. Aksesoris termasuk ikat kepala, gaya (chris), lipa (salon tradisional), ikat pinggang dan juga topi baja. Kandeur adalah gaun manik-manik di bagian dada, ikat pinggang dan selendang.
Pengantin Maluku atau Cele
Suku Maluku menampilkan Cele. Baju adat Ambon Maluku memiliki banyak jenis, salah satunya baju pengantin atau dikenal dengan nama Cele atau Salele, berupa kain sederhana yang memiliki nilai seni dan estetika tinggi.
Baju ini dilengkapi dengan beberapa aksesoris untuk mempercantik tampilannya, seperti sanggul, tali kaeng, mistiza, cenela atua sandal selop khas Ambon. Untuk pria, biasanya menggunakan kebaya dansa atau baniang putih yang sama-sama memiliki kerah bundar yang terkesan mewah.
Baju ini dibuat dengan kain brokat putih dengan renda kecil sebagai variasi, juga dimodifikasi dengan kerah bundar untuk bagian lehernya.
ADVERTISEMENT
Payas Agung
Suku Bali menampilkan Payas Agung. Busana atau pakaian adat ini memang selalu menarik perhatian baik masyarakat Bali, wisatawan lokal sampai wisatawan mancanegara.
Payas Agung memiliki kesan etnis, mewah dan spesial oleh karena itu pakaian ini tidak ditujukan untuk beragam aktivitas.
Sa'pei Sapaq dan Ta'a
Suku Kalimantan menampilkan baju adat dari Suku Dayak Kenyah. Untuk laki laki disebut Sa'pei Sapaq dan perempuan, Ta'a. Pakaian adat tersebut memiliki model yang sama dari warna dan bentuk. Memiliki 3 warna yaitu merah, putih, kuning.
Merah melambangkan rasa persatuan serta kekompakan dalam keberanian untuk membela kebenaran. Warna putih melambangkan kemurnian serta kesucian jiwa atau suatu masyarakat. Warna kuning melambangkan rasa kejayaan, keagungan, kemegahan, serta sebagai tanda kehormatan.
ADVERTISEMENT
Beskap
Suku Jawa menampilkan Beskap. Beskap merupakan bagian dari pakaian Jawi Jangkep. Warna kain yang sering digunakan untuk membuat beskap adalah polos atau hitam.
Dengan desain sederhana dan kerah lurus tanpa lipatan, model beskap dibuat tidak simetris sebagai berjaga-jaga untuk menyimpan keris.
Hanfu atau Hanzhuang (漢裝) ataupun Huafu (華服)
Suku Tionghoa menampilkan Hanfu, juga disebut sebagai Hanzhuang (漢裝) ataupun Huafu (華服). Ini adalah busana tradisional bangsa Han Tionghoa yang berasal dari Tiongkok. Istilah Hanfu berasal dari Buku Han.
Busana Hanfu telah dikenakan selama berabad-abad sepanjang era kekaisaran masa Dinasti Tiongkok dan memiliki sejarah yang panjang dan memiliki model dan variasi yang kaya.
Pada zaman modern, Hanfu dikenakan sebagai busana adat tradisional Tionghoa oleh para peminat busana Hanfu ataupun penggiat Sejarah Tiongkok, serta pada perayaan-perayaan istimewa Tionghoa, seperti perayaan Tahun Baru Imlek ataupun pernikahan adat.
ADVERTISEMENT
Karai dan Wuyang
Suku Sulawesi Utara menampilkan baju khas Minahasa, Karai untuk laki-laki dan Wuyang untuk wanita. Baju Karai tanpa lengan, lurus, berwarna hitam dan terbuat dari ijuk.
Selain baju Karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai kerah dan saku disebut baju Baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, terdiri dari celana pendek sampai celana panjang seperti celana piyama.
Sementara baju wuyang untuk perempuan terbuat dari kulit kayu menyerupai kebaya. Selain itu, mereka memakai blus atau gaun yang disebut Pasalongan Rinegetan.
Mengenal Kekayaan Indonesia
Selain Fashion Show, Festival Budaya berisi tampilan-tampilah khas dari setiap suku. Tampilan pertama drama mengenai kisah pemberian nama suku-suku Papua Pegunungan.
Suku-suku tersebut meliputi Mee yang mendiami wilayah Paniai, Deiyai, Kamu (Dogiyai), Mapia, Dani, Moni, Amungme, Ngalum yang mendiami wilayah Oksibil, Intan Jaya, Wamena, suku Ayamaru, dan Muyu yang mendiami wilayah Sorong Pegunungan.
ADVERTISEMENT
Drama "Upacara Pemberian Nama Anak Adat", menceritakan kehidupan orang Papua sebelum ada kontak dengan dunia luar.
Upacara pemberian nama mempertemukan orang Papua gunung dan orang Papua pesisir. Mereka membangun relasi sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Suasana berubah setelah upacara adat pemberian nama adat usai. Bunyi pesawat dan tembakan membuat kehidupan yang damai menjadi chaos.
Ratapan atas meninggalknya seorang anak laki-laki kepala suku mulai dinyanyikan. Anak kepala suku yang telah tiada digotong keluar dalam kondisi hening, diiringi nyanyian ratapan. Drama ini ditutup dengan bangkitnya orang Papua untuk bergerak memperbaiki hidup mereka.
Pangkur Sagu
Suku Papua Pesisir menampilkan tarian Pangkur Sagu. Ini merupakan tarian yang melukiskan kegiatan masyarakat Papua pesisir melakukan panen hasil tani berupa sagu. Tarian ini menggambarkan secara simbolik ritual pesta yang diadakan masyarakat Papua pada saat membuat sagu.
Gotong royong, kebersamaan, serta rasa syukur adalah nilai yang ingin ditampilkan dalam tarian ini.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Gaba-Gaba dan Anak Panah
Suku Maluku menampilkan tarian dari pulau Ambon dan pulau Kei, yakni Gaba-Gaba dan Anak Panah.
Tari Gaba-Gaba merupakan tarian penyambutan untuk tamu-tamu kehormatan yang berkunjung ke negeri di Maluku. Tarian ini merupakan wujud dari rasa terima kasih dan kegembiraan seluruh masyarakat atas kedatangan tamu yang telah berkenan menginjakkan kaki ke tanah Maluku.
Tarian ini diiringi dengan lantunan irama Tifa, Suling Bambu, Ukulele dan Gitar. Lantunan irama alat musik tradisional dan mahirnya gerakan penari hendak menyampaikan rasa terima kasih dari para penduduk kepada tamu kehormatan tersebut.
Sementara itu, tarian Anak Panah merupakan tarian khas masyarakat kepulauan Kei. Tarian ini dimainkan oleh lelaki dengan gerakan memanah dan mendayung.
Tarian ini menekankan bahwa jaman dulu para moyang berperang dengan menggunakan alat seadanya dengan bambu.
ADVERTISEMENT
Busur panah dan kain merah di kepala menunjukan ketegaran, keuletan, dan keperkasaan laki-laki di Kepulauan Kei, yang tetap mengacu pada satu hukum adat, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal.
Gopala
Suku Bali menampilkan Tari Gopala. Tarian ini menceritakan tingkah laku sekelompok pengembala sapi di suatu ladang/tempat penggembalaan.
Kata Gopala sendiri diambil dari bahasa Kawi yang berarti penggembala sapi. Tarian ini termasuk dalam tari Bali balih-balihan, atau tarian yang ditujukan untuk pertunjukan dan hiburan.
Nusa Bunga
Putra-putri Nusa Bunga (NTT) tidak ketinggalan menampilkan kekayaan budaya mereka. Mereka menampilkan tarian Hedung.
Tarian tradisional asal Adonara merupakan tari perang yang dulunya dibawakan untuk menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang. Tarian ini menampilkan nilai – nilai kepahlawanan dan semangat berjuang yang tak kenal menyerah.
O Tano Batak dan Tortor
Suku Batak menampilkan lagu O Tano Batak dan Tarian Tortor. Lagu O Tano Batak yang diciptakan oleh komponis Siddik Sitompul ini, populer di tanah Batak dan dinyanyikan orang Batak untuk mengingat kampung halaman.
Sementara itu, tari Tortor merupakan tari daerah yang berasal dari Sumatera Utara, tepatnya di Batak.
Tarian ini selalu diiringi musik gondang dan setiap penari Tortor harus selalu memakai ulos Batak. Tarian ini memiliki makna segala yang ada di dunia ini diawali dengan segala kebaikan serta menjadi penghormatan kepada Tuhan dan seluruh tamu yang hadir.
ADVERTISEMENT
Pa’gellu dan Ma'dero
Suku Toraja menampilkan Tari Pa’gellu dan Ma'dero. Tari Pa'gellu atau Pa’gellu Pangala ini diciptakan oleh Nek Datu Bua’ ketika kembali dari medan perang.
Tarian ini biasanya ditampilkan pada upacara Rambu Tuka (upacara kegembiraan), penyambutan tamu, pesta pernikahan, dan Ma’bua (upacara peresmian rumah Tongkonan).
Menariknya, saat pementasan, terdapat Ma’toding atau penonton memberikan sejumlah uang kepada para penari dengan menyisipkannya pada hiasan kepala.
Sementara itu, Ma'dero merupakan tarian yang melambangkan perasaan sukacita dan kebahagiaan.
Tarian ini ditarikan dengan cara bergandengan tangan berbentuk lingkaran sambil mengayunkan-ayunan gerakan kaki mengikuti irama musik. Ini merupakan tarian yang berasal dari daerah Poso Sulawesi Tengah.
Seiring berjalannya waktu, tarian ini mulai menyebar dan dikenali oleh masyarakat Toraja. Kini tarian ini kerap dilakukan masyarakat Toraja, terutama pada acara syukur seperti Rambu Tuka.
ADVERTISEMENT
Dayak
Suku Dayak menampilkan tari kreasi, gabungan tarian Dayak Kenyah, tarian Leleng ( berputar-putar) dan tarian Perang.
Tarian ini menceritakan tentang kisah persahabatan ketiga orang muda-mudi yang mengalami perselisihan, namun pada akhirnya dapat diselesaikan dengan baik dan dapat berteman kembali. Tarian ini dikreasikan sedemikian rupa menjadi suatu tarian yang sempurna digabungkan dengan tarian modern diiringi dengan musik khas Dayak yang sangat indah.
Ngganong
Suku Jawa menampilkan tari Ngganong. Tari Ngganong merupakan tari tradisional yang khas dari Banyuwangi, Jawa Timur dan telah dipentaskan sejak ratusan tahun yang lalu.
Tari Ngganong adalah ungkapan rasa syukur atas hasil panen pertanian. Dalam pementasannya, Tari Ngganong dibawakan oleh penari laki-laki maupun perempuan.
ADVERTISEMENT
Barongsai
Suku Tionghoa menampilkan Barongsai. Barongsai terkait dengan legenda Nian, binatang yang menakutkan pada malam Tahun Baru Imlek.
Penduduk desa membuat model hewan dari bambu dan kertas, digerakkan oleh dua orang, serta memukul instrumen keras atau panci dan wajan untuk mengusir Nian yang menghancurkan desa.
Tari Maengket
Suku Sulawesi Utara (Manado) menampilkan Tari Maengket. Ini adalah salah satu tari tradisional suku Minahasa (tepatnya di daerah Tombulu), Sulawesi Utara. Tari Maengket awalnya merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas panen yang baik.
Tari Maengket telah banyak mengalami perubahan dari masa ke masa, tetapi tidak meninggalkan arti yang sebenarnya, yaitu tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Melukis Senyum
Selain menikmati hiburan mata, semua hadirin menikmati aneka jenis makanan, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Aneka jenis makanan dari sepuluh suku yang tampil tersebar di stand-stand yang sudah tersedia. Setiap orang bebas memilih menu apa yang hendak ia cicipi.
ADVERTISEMENT
Makanan dan minuman yang tersedia semuanya disediakan sendiri oleh anggota suku yang ada. Ada yang diolah oleh anak-anak sendiri (siswa/i Adhi Luhur), ada yang dibantu orang tua, maupun keluarga.
Dengan kata lain, makanan yang tersaji adalah hasil karya terbaik dari setiap suku yang ada. Setiap suku berlomba-lomba memberikan olahan terenak secara cuma-cuma.
Para hadirin tidak perlu memikirkan berapa uang yang harus dikeluarkan bila hendak mencicipi semua menu yang ada, sebab, semua itu gratis.
“Menyaksikan orang yang hadir pulang dengan senyum kekenyangan setelah menikmati aneka hidangan memberi sukacita tersendiri. Kami belajar melukis senyum di wajah orang lain”, ungkap salah satu siswa.
Kesatuan
Rangkaian tampilan selama Festival Budaya kali ini ditutup dengan drama gabungan suku.
ADVERTISEMENT
Drama ini mau menekankan bahwa, setiap suku memiliki keunikan dan kekayaannya sendiri.
Kekayaan ini patut disyukuri dan dirayakan. Dalam kehidupan bersama, nilai kesatuan dan persaudaraan wajib dijaga dalam ikatan tali cinta yang tak terputuskan.
Jika dalam tampilan-tampilan sebelumnya yang ditonjolkan adalah nilai kesukuan, maka pada tampilan terakhir yang ditekankan adalah kekuatan yang tak terpecahkan dalam ikatan persaudaraan yang satu.
Panggilan untuk Mencintai
Acara kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan Theme Song Festival Budaya tahun ini, Mars Adhi Luhur dan kemudian ditutup dengan doa tepat pukul 14.30 WIT.
Kegiatan ini berjalan lancar, penuh semangat. Antusiasme dari para peserta dan tamu undangan dari berbagai kalangan masyarakat menjadikan acara ini begitu istimewa.
ADVERTISEMENT
Para siswa yang menunjukkan kesungguhan, kepiawaian dan kekompakan menunjukkan bahwa acara ini menjadi momentum memperkuat persatuan bangsa di tengah perbedaan yang mereka temui di SMA YPPK Adhi Luhur.
Harapannya, acara ini sungguh menjadi ruang bagi para siswa untuk mengenal dan mengakrabi kekhasan-kekayaan suku mereka sendiri dan kemudian membuka diri untuk mengenal dan mencintai keberagaman yang ada di dalam kebersamaannya dengan teman-teman lain.
Semoga dari bumi Cendrawasih yang asri ini, semua orang bisa belajar dan mengenal Indonesia dengan segala kekayaannya yang wajib dicintai. Keberagaman bukan lagi sebuah hal yang asing, melainkan sesuatu yang dekat dan memberi kekayaan hidup.
Semoga, sesuai dengan syari theme song kali ini,
"Adhi Luhur teruslah kau berkarya
ADVERTISEMENT
Di ujung bumi Pertiwi
Di Indonesiaku ini
Beragama agama, suku dan budaya
Di Adhi Luhurku ini
Di Indonesia tercinta"
SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d'Armandville dapat semakin bersungguh-sungguh mendidik anak bangsa dan menunjukkan bahwa laboratorium ke-Indonesiaan juga ada di Papua.
Mari kita rawat kekayaan budaya dan menjaga tali persaudaraan-kesatuan!