Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menjelang Ujian Demokrasi
13 Agustus 2023 20:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Engelbertus Viktor Daki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ibarat mempersiapkan sebuah peperangan, mesin-mesin partai politik dan amunisi-amunisinya mulai terdengar menjelang pemilu tahun 2024. Koalisi partai politik terbentuk dengan calon yang mau diusung.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, meski aroma pertempuran politik sudah mulai tercium, belum juga nampak narasi politik yang substansial. Belum ada narasi politik yang ditawarkan sebagai jalan keluar atas berbagai persoalan politik yang tengah dihadapi, baik itu kemiskinan, hak asasi manusia, pendidikan dan sebagainya.
Perdebatan yang muncul di media tidak lebih dari politik dangkal saling menghina, alih-alih kritik substansial. Alhasil, tidak ada kebaruan sama sekali dalam setiap diskusi yang nampak.
Politik Fans
Situasi ini cukup mencemaskan. Tidak adanya diskusi politik yang substansial bisa berakhir dalam cara berpolitik gaya lama yang bermain di seputar isu identitas, agama, ras, dan sebagainya.
Orang bukan lagi sibuk mengkritik kualitas gagasan setiap calon, tetapi fokus pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kualitas seorang pemimpin untuk menangani masalah aktual dan yang akan datang. Masing-masing kelompok malah sibuk membentuk kelompoknya sendiri.
ADVERTISEMENT
Moises Naim, seorang Filsuf Amerika memperingatkan bahaya politik di abad ke-21 bernama Politik Fans. Dalam The Revenge of Power (2021) Naim menulis bahwa salah satu bahaya abad ini adalah politik fans (politics of fandom).
Dalam politik fans, orang memilih seorang pemimpin bukan karena kualitas dan kapasitas, melainkan karena pemimpin tersebut menjadi idola. Ketika seseorang dijadikan idola, maka tidak ada lagi cacat di sana. Orang itu menjadi sempurna dan wajib dibela habis-habisan.
Esensi Narasi
Perdebatan demikian sama sekali tidak menyentuh esensi politik, yakni pertempuran gagasan untuk mengentaskan aneka persoalan di masyarakat. Bermainnya politik identitas dan polarisasi mencabut politik dari esensi dasarnya.
Persoalan bagaimana sebaiknya persoalan kemiskinan, pengangguran, pembangunan, dan sebagainya menjadi kurang terperhatikan. Masing-masing fokus mencari cara membenarkan segala hal demi membenarkan dan mendukung idolanya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Minimnya narasi substansial menjadi tak terhindarkan. Di sini tepat perkataan Moses Naim bahwa, politik fans menjauhkan fokus publik dari persoalan esensial di masyarakat. Orang bukan lagi fokus mencari dan menawarkan solusi, tetapi malah fokus membela diri dan mencela yang lain.
Matinya Demokrasi
Steven Levitsky & Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) menuliskan, salah satu ciri kematian demokrasi adalah adanya penyangkalan legitimasi lawan politik.
Lawan politik bukanlah lagi dilihat sebagai pesaing yang setara yang perlu diperlakukan dengan cara-cara yang fair sesuai nilai demokrasi, melainkan sebagai lawan yang harus dikalahkan dengan segala cara. Termasuk jika cara itu tidak demokratis.
Hal ini nampak penyebaran fitnah, hoaks dan sejenisnya. Lawan dituduh melakukan kecurangan, kriminal, antek asing, mau merusak negara, dan sebagainya yang sesungguhnya tidak berdasar. Legitimasi lawan politik dihancurkan sehingga yang terjadi bukan lagi pertarungan yang sehat, adu gagasan perubahan, melainkan pembunuhan politik.
Menyangkal keabsahan lawan politik sangatlah berbahaya. Di era digital, banyak contoh menunjukkan bahwa sebuah kebohongan akan mudah tersebar kalau tidak dilawan ataupun dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Belum lagi pengaruh mesin algoritma yang selalu menampilkan konten atau narasi-narasi yang kerap atau disukai. Dampaknya, daya kritis semakin ditumpulkan karena contra narasi tidak ditampilkan.
Paul Joseph Goebbels pernah mengatakan, “a lie remains a lie, but a lie told a thousand times becomes truth”. Sebuah kebohongan, bila terus diproduksi dan disebarkan berulang-ulang, pada akhirnya akan dianggap sebagai kebenaran.
Inilah yang terjadi dengan narasi cebong dan kampret yang saling serang hingga kini, meski kedua calon waktu itu sudah bersatu dalam kabinet untuk bekerja sama membangun bangsa, para pendukung masih belum berdamai. Narasi yang dulu dibangun dianggap sebagai kebenaran sehingga masih terus dipercaya sebagai sesuatu yang benar.
Generasi Akhir 90-an Sampai 2000-an
Mayoritas pemilih di tahun 2024 lahir di tahun 1990-an dan 2000-an. Sebagai generasi yang lahir di akhir 1990-an ada ketakutan bahwa bangsa ini akan kembali terpecah maupun semakin dalam pecahannya di tahun politik nanti.
ADVERTISEMENT
Belum adanya narasi politik baik dari partai-partai politik maupun para calon, sejauh ini menunjukkan bahwa pertarungan politik “beradab” tidak terasa atau sekurang-kurangnya belum tercium.
Sistem demokrasi mewajibkan para petarung untuk saling menerima, saling bertarung dengan cara yang sesuai tata aturan, adil, dan penuh hormat. Bukan tidak mungkin, manusia bisa kembali kepada kondisi asali yang oleh Filsuf Thomas Hobbes disebut sebagai situasi peperangan semua melawan semua. Semua orang sibuk dan fokus dengan pemenuhan kebutuhan dan ego pribadi yang tidak ada habisnya.
Harapannya, jangan sampai hal ini terjadi sehingga semua kemajuan dan perkembangan yang terjadi tidak harus hancur serta memburuk. Oleh karena itu, di masa pemanasan mesin-mesin politik ini, partai politik perlu memikirkan secara matang niat dan keseriusan untuk mencalonkan pribadi-pribadi yang bertarung demi kebaikan bangsa dan bukan yang lain.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun juga, seperti kata Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, partai politik adalah penjaga pintu gerbang demokrasi.
Panggilan Politik
Sebagai penjaga pintu gerbang demokrasi, partai politik perlu mencegah pemimpin populis ataupun otoritas untuk berkuasa. Mereka perlu hati-hati mengambil keputusan dan mengesampingkan ego kelompok. Jika tidak, demokrasi dan kemajuan yang sudah dibangun selama ini akan terciderai.
Berhadapan dengan situasi ini, menurut ahli politik Nancy Bermeo, sebagaimana dikutip Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, partai politik perlu “menjaga jarak”. Mereka perlu menjaga demokrasi dengan beberapa cara. Pertama, tidak memasukkan calon yang populis dan berkecenderungan otoriter sebagai calon yang akan diusung.
Kedua, membasmi calon yang memiliki kecenderungan ekstremis untuk berkontestasi. Ketiga, menolak berkoalisi dengan partai yang mengusung calon dan bekerja dengan cara-cara kotor atau anti-demokrasi. Keempat, partai-partai perlu bertindak sistematis untuk mengisolasi ekstremis dan bukan melegitimasinya.
ADVERTISEMENT
Ujian Demokrasi
Tentu ini bukan hal mudah. Semua partai memiliki kepentingannya di balik setiap calon yang diusung. Meskipun demikian, semua perlu melihat secara lebih luas bahwa kepentingan bangsa adalah segalanya. Di sinilah ujian demokrasi sejatinya.
Partai-partai yang berkompetisi dalam demokrasi perlu menjamin terjaganya nilai dan spirit demokrasi itu sendiri. Jika partai gagal menjalankan tugasnya sebagai penjaga pintu gerbang demokrasi, tinggal menunggu waktunya saja, demokrasi akan menemui ajalnya.
Pada akhirnya, memang kontestasi masih setahun lagi. Tapi alangkah lebih baik setiap partai fokus mendalami calon agar tidak masuk dalam jebakan calon yang populis, ekstremis, dan oportunis. Bukankah lebih baik sedia payung sebelum hujan, dari pada menyesal ketika sudah basah kuyup?