Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mencicipi Papeda, Makanan Eksotis khas Papua
15 November 2019 10:33 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kalian pasti lapar habis perjalanan dari Jakarta, ayo singgah makan dulu,” kata Pace yang menyambut kami di pinggir Danau Sentani. Senyumnya yang ramah dan pembawaannya yang riang langsung mengusir segala lelah 7 jam perjalanan (dengan transit) dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya saya tak menyangka akan mendapat sambutan seramah itu. Maklum, saya terbiasa untuk selalu berhati-hati, apalagi di tempat baru. Namun ketulusan pace tadi terasa sampai ke dalam sukma, membuat saya merasa tidak ada jarak meski baru bertemu.
Pace tadi memandu kami menuju ke sebuah kedai terapung dengan atap seng dan dinding terbuka. Eloknya pemandangan Danau Sentani yang sungguh memanjakan mata bisa dinikmati sambil bersantap siang di sini.
Saya berjalan cepat-cepat mengikuti langkah Pace tadi bersama dengan suara kerucuk nyaring dari dalam perut. Saking kerasnya, sampai Bobby, salah satu kawan saya, menoleh.
“Lapar kau, kak?” Tanyanya geli.
“Iya, ada naganya di dalam perut,” jawab saya malu-malu. Hahaha.
Berhubung ini adalah kali pertama buat saya menginjakkan kaki di bumi Papua, maka saat ditanya mau pesan apa saya hanya membuka tangan. Mengisyaratkan bahwa saya akan makan apa saja yang disuguhkan di sana.
ADVERTISEMENT
Cara Makan Papeda
Tanpa menunggu lama, Papeda, makanan khas Maluku-Papua pun dihidangkan di meja. Terbungkus daun hijau bersama dengan sepiring ikan berkuah kuning. Untuk sesaat, saya bengong berdiam diri. Perut, sih, penginnya langsung tancap gas melahap semua makanan yang ada, tapi otak bertanya-tanya. Aduh, ini gimana, ya, cara makannya? Maklum, anak Pulau Jawa yang taunya makan nasi, begitu datang Papeda, saya jadi gegar budaya. Hahaha.
Beruntung, datang Mace yang dengan ramah menerangkan bagaimana cara makan Papeda. Ia membuka bungkus daun dan meletakkan Papeda di atas piring kemudian menuangkan kuah ikan kuning ke atasnya.
Dengan penuh semangat, saya langsung melahap piring makanan saya.
ADVERTISEMENT
Rasa Papeda ini tawar seperti tepung kanji tapi tetap lezat di lidah karena berpadu bersama ikan kuah kuning dengan bumbu kuat. Beuh, sedap!
Saya makan pelan-pelan. Berusaha menghayati setiap suap Papeda yang masuk ke dalam mulut. Apalagi ada pemandangan cantik Danau Sentani, jelas saya ingin menikmatinya dengan saksama. Ternyata, baru habis setengah bungkus Papeda saja tapi rasanya sudah kenyang banget. Saya enggak bisa menghabiskan satu porsi Papeda yang kelihatannya sedikit itu.
Baru kemudian saya tahu, makan perlahan tersebut memberikan jeda untuk Papeda masuk ke dalam perut yang konon katanya mengembang di usus. Makanya jangan sepelekan Papeda, makan dikit saja kenyangnya bisa sampai lama!
Manfaat Papeda
Papeda adalah bubur yang terbuat dari sagu. Warnanya bening, biasa disajikan bersama dengan ikan. Entah Ikan Tongkol, Ikan Tude, bahkan Ikan Gabus. Nah, berhubung rasanya tawar maka ikan-ikan tersebut biasanya dimasak dengan bumbu yang kuat sebagai penyeimbang rasa. Selain ikan, biasanya Papeda juga dimakan dengan sayur seperti sayur daun melinjo, bunga pepaya, atau, ya kacang panjang seperti yang barusan saya santap.
ADVERTISEMENT
Papeda, si eksotis kenyal ini, ternyata punya banyak sekali manfaat. Berhubung bahan dasarnya adalah sagu maka ia mengandung Vitamin A, B1, dan juga Vitamin C. Kandungan glikemiknya yang rendah membuat Papeda aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus. Selain itu, Papeda juga kaya serat (no wonder cepat kenyang, ya), yang memiliki peran sebagai pre-biotik alhasil memperlancar buang air besar. Wow, kearifan lokal yang memiliki banyak manfaat, ya.
Meski memiliki banyak manfaat, namun ternyata cara memasak Papeda ini lumayan menguras tenaga. Tepung sagu dicampur dengan air mendidih lalu diaduk-aduk terus sampai mendapatkan tekstur yang diinginkan. Kelihatannya enggak sulit, tapi sepertinya lumayan bikin pegel. Hehehe.
Selain disajikan di dalam bungkus daun, di rumah-rumah penduduk, Papeda biasanya disajikan di sebuah mangkuk besar sebelum dipindahkan ke piring makan. Cara mengambil Papeda dari mangkuk besar ini unik: Menggunakan sumpit kemudian digulung-gulung. Wow, keren banget!
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, saya kangen makan Papeda, meski lengket dan kenyal tapi di dalam perut, tuh, rasanya dingin dan adem banget.
Teman kumparan, sudah pernah makan Papeda?
Salam,
Eka Situmorang