Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Part 6: Kelalaian yang Bermakna
1 Juli 2024 15:00 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Damri Hasibuan (Uda) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa detik kemudian, para jemaah yang ada di depan pintu tadi, sudah berada persis di saf pertama masjid. Dari situlah sumber ledakan suara terdengar keluar melalui toa.
ADVERTISEMENT
“Syu hadas, ya yama'ah?”[1] tanya seorang pria, memastikan. Suaranya yang besar, setara dengan bobot tubuhnya yang tinggi dan tegap. Sehingga seketika suara marahan Juhail redam.
Empat jemaah yang lain, tidak tinggal diam. Mereka juga menanyakan apa yang sedang terjadi? Yang mereka dengar dari luar, hanya luapan amarah. Kurang begitu jelas sedang mempermasalahkan apa di dalam masjid.
Bersamaan dengan kedatangan mereka itu, Al-Fatih baru menyadari kalau ternyata michrophone belum sempat dimatikan. Kakinya pun segera melangkah ke belakang untuk mematikan alat yang membuat warga sekitar protes.
"Riyal hazda, mu sawwi dua li watninana wa syuyukhina, leys?"[2] sahut Juhail. Dia masih tidak terima atas penjelasan pria yang berkaca mata tadi. Bahkan jemaah yang satu ini ingin agar yang dia permasalahkan, dapat dukungan dari yang lain.
ADVERTISEMENT
Apa Juhail berhasil mendapatkan simpati? Belum pasti. Mereka tampak memberikan penjelasan kepada pemilik suara yang meledak-ledak tersebut. Sementara itu, Al-Fatih hanya melihat pembelaan yang lain kepadanya.
"Duaul qunut sunnah muakkadah ya Baba. Wa la yubtilussalah law taraknahu,"[3] jelas pria yang berada di bagian tengah.
Jawaban itu, sudah Al-Fatih jelaskan sebenarnya. Akan tetapi, Juhail tidak terima. Bahkan lebih dari itu pun sudah dijelaskan, tetap dia enggan mengaminkannya. Entah setan apa yang merasuki tubuh pria keras kepala ini.
"Ana ma'lum. Walakin mararna ayyam, wayaqra. Wa leih fata fi hazhihil lalailah?"[4] bantahnya.
Juhail belum sadar kalau yang namanya manusia, pasti punya sifat lupa. Apakah Juhail belum menyadari kalau dirinya juga suka lupa?
Lupa minum obat, kalau tidak diingatkan istrinya. Lupa waktu salat, bila tidak dikasih tahu oleh siapa pun dari anggota keluarganya.
ADVERTISEMENT
“Anta law ma'lum, leih za'lan? Alaysa anta nisyan kaman?”[5] bantah balik pria berbadan tegap.
Seketika Juhail garuk-garuk kepala, kebingungan hendak bilang apa. Saat teringat sama dirinya yang pelupa juga, tidak mungkin dia bilang enggak.
Bagaimanapun super galaknya jemaah yang satu ini, syukurnya, dia tidak sampai hati berbohong. Karena sadar kalau sekarang masih Ramadan.
Tidak lama kemudian, masalah pun kelar. Jemaah kembali pulang. Termasuk Juhail. Al-Fatih juga sudah melangkah menuju sakan (rumah) dengan membawa segudang nestapa. Dia tidak habis pikir, kenapa ada manusia semacam Juhail?
Kendati pikiran belum bisa melupakan sepenuhnya atas peristiwa yang di masjid, tapi kini, Al-Fatih kembali dibingungkan oleh keadaan anaknya di kampung halaman.
Di mana, sebelum salat Magrib tadi, istrinya mengabari bahwa dia dan anaknya sedang berada di rumah sakit. Berita itu sangat mengejutkan Al-Fatih.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi tadi, dokternya belum datang, sehingga belum bisa konsultasi. Untuk sementara waktu, sang buah hati baru dikasih obat penambah tenaga. Begitu kata istrinya. Karena di tanah air sudah menjelang subuh, telepon pun berakhir.
Di saat yang sama, Al-Fatih juga ingin ke masjid, hendak salat tahajjud. Di sana para jemaah sudah berdatangan.
****
Keadaan sang buah hati hari ini, masih saja seperti semalam. Hana, istri Al-Fatih bercerita melalui telepon semalam. Beberapa hari yang lalu Umar demam, naik turun. Ditambah lagi tidak ingin makan.
ADVERTISEMENT
Tentu sang istri cemas. Dia pun membawanya ke Puskesmas setempat, tapi belum juga sembuh, sehingga sehabis Zuhur kemarin, sang istri membawa anaknya ke rumah sakit. Memastikan penyakit apa yang menimpa anak Al-Fatih.
****
Sekarang sudah masuk malam ke 21 Ramadan. Selama salat tadi, alhamdulillah Al-Fatih aman, tidak menemukan masalah apa pun dengan jemaahnya. Namun, Al-Fatih harus segera ke sakan untuk mengetahui bagaiman perkembangan sang buah hati?
ADVERTISEMENT
Saat salat tadi, Al-Fatih sengaja meninggalkan handphone, takut membuyarkan konsentrasinya. Sesampai di sakan, dia langsung ambil handphone yang terletak di atas meja bundar.
Geraknya yang cepat, menujukkan ketidaksabarannya untuk mengetahui kelanjutan kabar dari istrinya tadi sore, menjelang berbuka puasa di sini.
Usai salat Magrib waktu Dubai, masih sempat komunikasi sebentar, tapi karena keburu Isya' akhirnya panggilan berakhir. Pada saat itu, masih menunggu hasil lab.
Internet pun sudah aktif. Di layar handpone, ternyata sudah ada notifikasi dari sang istri. Dengan cekatan jemarinya membuka aplikasi berlambangkan gagang telepon itu. Di sana sudah tertera beberapa pesan.
[Abi, Mama sudah dapat hasil diagnosis dokter. Katanya, si Abang kena DBD]
Membaca itu, Al-Fatih langsung shock. Tubuhnya yang lemas karena puasa, membuat tubuhnya terhuyung ke atas ranjang. Pikirannya teringat sama pemberitaan tanah air yang menggemparkan jagat maya.
ADVERTISEMENT
Katanya, banyak sekarang anak-anak yang menderita DBD. Karena telat ditangani, akibatnya banyak di antara mereka yang pergi untuk selamanya.
Al-Fatih pun langsung menghubungi istrinya. Beberapa kali dihubungi, tidak ada suara yang berarti. Orang yang dihubungi, tidak menyadarkan diri. Tertidur.
Namun, Al-Fatih terus mencoba, hingga beberapa saat, telepon pun tersambung ke seberang sana.
"Assalamu'alaikum," ucap Al-Fatih, memulai percakapan.
"Waalaikumussalam," sahut sang istri, lirih. Matanya belum sempurna terbuka karena merasa ngantuk.
Al-Fatih tidak sabar ingin melihat kondisi anaknya yang katanya masuk UGD, "Mah, mana Umar, Abi mau lihat," pintanya dengan hati bergetar.
Kendati baru bangun, sang istri pun membuat kameranya mode belakang sehingga anaknya bisa tampak lega di layar handpone.
Al-Fatih belum tahu bila kondisi anaknya semakin lemah dari kemarin, sehingga kala melihat keadaan sang buah hati di layar gawai, hatinya meringis. Air matanya jatuh. Melihat sang buah hati yang sedang terkulai lesu, diinfus dan hidung terpasang selang oksigen.
ADVERTISEMENT
Di tepian ranjang putih, buah hati saya terbaring lemah, wajahnya yang pucat menyiratkan sakitnya penderitaan. Setiap tarikan napasnya saya pandang, terasa sebagai seruan tak terucap, memanggil saya untuk mengusir bayang-bayang penyakit yang menghampiri.
Dalam bayang, tangan saya mencengkram erat tangannya, mencoba memberikan sedikit kehangatan dalam dinginnya kesakitan. Mata saya tidak sanggup berlama-lama menatap raut wajahnya yang lemah, karena takut melihat kelemahan yang tidak terkendali. Hanya doa yang terus terucap di bibir, memohon agar buah hati saya segera pulih dan tersenyum lagi.
Bulir-bulir bening terus mengalir membanjiri wajah. Sesaat sebelum kamera dialihkan ke mode depan, dia cepat-cepat mengusapnya. Tidak ingin menampakkan dirinya lemah.
Ketika kamera sudah kembali mode depan, Al-Fatih bertanya, "Umar tadi sudah makan, Ma?"
ADVERTISEMENT
Di dalam layar, Al-Fatih melihat wajah istrinya tampak begitu sedih. Matanya juga masih memerah.
"Iya, Bi, tapi cuma seinduk jari tangan," sahut istrinya dengan terisak-isak.
Hana pun bercerita bahwa sejak beberapa menit yang lalu, Umar sempat bangun lalu bilang ingin melihat sang ayah.
"Tadi, Umar ingin lihat Abinya, Bi" terang wanita anak dua ini.
"Terus, apa Mama bilang?"
"Yah, Mama bilang kalau Abi tidak bisa datang. Habis itu, dia menangis, tidak ingat ayahnya yang sedang bekerja di luar negeri," ungkap sang istri.
Mendengar itu, Al-Fatih tambah sedih. Hidungnya kembang kempes. Hasrat untuk memeluk sang buah hati yang ditimpa DBD, tidak kesampaian.
Bocah yang berusia tujuh tahun itu, tidak sadar bila ayahnya memang tidak bisa datang membesuknya. Bagaimana mungkin ayahnya datang, sementara ayahnya sedang bekerja di luar negeri nun jauh di sana?
ADVERTISEMENT
Sudah beberapa menit, telephone masih terus terhubung. Sesekali Al-Fatih teringat saat dirinya bersama sang buah hati di kampung halaman. Saat Umar masih sekolah PAUD, dirinyalah yang sering mengantar jemputnya.
Banyak kenangan indah melintas. Al-Fatih ingat akan momen-momen di mana dirinya bermain dengan sang buah hati, saat liburan kerja. Main sepedaan, kejar-kejaran, main petak umpat, main bola, dan masih
banyak lagi.
Itu semua teringat jelas di dalam benaknya. Dia pengin, bila dirinya kembali ke masa-masa tersebut, tapi mustahil itu terjadi.
"Ma, coba lagi bikin kamera belakang," pintanya sekali lagi.
Al-Fatih ingin melihat raut wajah anaknya. Sang istri pun membuat kamera belakang. Lalu mengarahkannya ke arah bocah yang masih tertidur itu.
Sedikit pun Umar tidak sadar bila Abinya sedang bercerita dan ingin berbicara dengannya. Tidak terasa, sudah hampir sejam sepasang kekasih itu bertelephone, tapi selama itu pula Umar belum mendengar apa-apa.
ADVERTISEMENT
Bocah ini, tampak tenggelam dalam lautan mimpinya. Dipayungi oleh bayangan rindu akan kehadiran sang ayah. Di antara rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya, entah dari mana, terdengar bisikan-bisikan doa untuk kesembuhan yang tak kunjung tiba.
Dalam tidurnya, sang ayah tidak tahu bahwa bayangan wajahnya melintas dalam mimpi bocah, memanggil-manggil dengan lembut. Namun, jarak yang memisahkan keduanya terasa begitu jauh, sehingga memperkuat kerinduan di hati anak.
Masih dalam tidurnya yang penuh rintihan, anak ini sedang merindukan sentuhan hangat dan pelukan sang ayah, yang baginya, mampu menyembuhkan segala luka dan mengusir segala ketakutan.
Namun, kenyataan yang menyakitkan adalah kala sang ayah berada di tempat yang jauh, tidak dapat menemani dan menghiburnya saat dibutuhkan seperti ini.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, di balik tidurnya yang pulas, anak ini memendam harapan akan kehadiran sang ayah. Dalam mimpinya dia memanjatkan doa, agar ayahnya bisa hadir di sisinya. Mengusap air matanya dan mengenggam tangannya.
Tidak terasa, obrolan sepasang suami istri itu pun selesai, mengingat di kampung halaman sudah menjelang Subuh. "Sudah dulu teleponnya ya, Bi. Di sini sudah pukul empat dini hari. Mau salat Subuh dulu," ujar sang istri.
"Iya Ma, besok kita sambung lagi telephone-nya. Assalamu'alaikum," tutup Al-Fatih.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 24.00 waktu Dubai. Itu artinya, waktu qiyamullail sudah tiba. Al-Fatih masih terus bernelangsa seakan dirinya sudah hadir di samping buah hatinya.
Di sisi lain, Al-Fatih bermaksud ingin pulang ketemu anak, tapi apakah itu mungkin? Terlebih sekarang bulan Ramadan.
ADVERTISEMENT
Umurnya yang seusia jagung di sini, menyebabkan Al-Fatih belum tahu apakah boleh mengambil cuti di bulan Ramadan? Informasi kasus yang sama pernah terjadi sama temannya. Itu juga belum dia ketahui.
Waktu itu, ibu temannya meninggal dunia. Ketika mengajukan cuti, ditolak karena tidak mendapatkan badil, akhirnya tidak dibolehkan pulang. Apalagi pada saat itu memang berada pada bulan Ramadan.
Di mana, pada bulan itu, para imam benar-benar bekerja. Semua imam pasti sibuk sekali, sehingga hal yang membuat Auqaf sulit memberikan cuti di bulan Ramadan adalah karena susah mencari badil (pengganti).
Alih-alih Al-Fatih pasrah kepada Allah Swt. Justru dia berupaya untuk mengajukan cuti dan buru-buru pulang meski sebentar lagi sudah habis Ramadan.
"Sekalian Idulfitri bersama keluarga," pikirnya. Dia juga tidak pengin bila hal yang tidak diinginkan, terjadi pada anaknya, sementara dirinya tidak hadir di situ.
ADVERTISEMENT
Dalam duduknya, Al-Fatih masih terus bernelangsa. Cari cara bagaimana supaya bisa pulang. Bolak-balik nge-chek harga tiket pesawat melalui aplikasi, semuanya mahal. Namun, hal itu tidak dia pedulikan asalkan bisa cepat-cepat ketemu anaknya.
Dalam kondisi seperti itu, ternyata dalam masjid, para jemaah yang ingin salat qiyamullail sudah menunggu. Semnetara itu Al-Fatih masih saja belum sadar kalau sudah masuk waktu salat malam. Ayat yang akan dia bawakan dalam salat ini juga masih belum dia persiapkan.
Melihat jam sudah menujukkan pukul 00.15, seorang jemaah menyusul Al-Fatih ke sakan. Dia bertanya-tanya sampai sekarang kenapa kok imamnya belum juga nongol? Begitu sampai di depan pintu, pria ini langsung gedor pintu dengan keras. Bahkan lebih keras dari suara tong kosong yang dipukul.
ADVERTISEMENT
Dor! Dor! Dor! Dorrrrrr!
Al-Fatih terkesiap mendengar gedoran yang diiringi dengan teriakan yang sangat keras itu. Nelangsanya buyar.
"Muthawa!"
Dari kamar Al-Fatih menyahut, “Aiwwah, yey!”[6] Dengan lekas, kakinya melangkah membuka pintu rumah. Lalu berjalan menuju pagar, mencari tahu siapa yang ada di sana.
Al-Fatih ingin marah karena sudah mengganggu perasaannya yang benar-benar kalut. Dulu-dulu, bila pintu pagar digedor dengan keras, dia selalu sabar. Namun kali ini, Al-Fatih tampak tidak bisa mengendalikan emosinya.
-------------------
[1]Apa yang terjadi?
[2] Pria ini, kenapa tidak baca doa qunut untuk kesejahteraan negara kita dan para pendiri bangsa kita?
[3] Membaca doa qunut hukumnya sunnah muakkadah, Pak. Andaikan ditinggalkan pun yah tidak sampai batal salat.
[4] Kita sudah melewati banyak malam Ramadan, dia baca. Tapi kenapa malam ini, kita luput membacanya?
ADVERTISEMENT
[5] Kalau anda tahu, kenapa marah-marah? Bukankan Anda juga suka lupa?
[6]Ya, saya datang.