Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Part 7: Di Selasar Masjid
4 Juli 2024 9:37 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Damri Hasibuan (Uda) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Al-Fatih melenggang dari sofa untuk membuka pintu. Namun, sebelum lanjut, kakinya terhenti persis di mulut pintu sakan. Dari situ dia memastikan siapa yang menggedor pintu dengan kencang itu. Sorot matanya tajam memperhatikan ke sebelah kanan. Persis ke area pintu pagar sakan.
ADVERTISEMENT
Melihat tidak ada orang, Al-Fatih terus berjalan beberapa langkah hingga sampai ke pintu pagar. Dia menempelkan matanya ke kaca pembesar yang terpasang di daun pintu. Benar saja. Di luar tidak ada siapa-siapa.
Namun alangkah terkejutnya Al-Fatih kala mengedarkan pandangannya ke sebelah kiri. Di sana tampak sandal para jemaah yang ingin salat tahajjud sudah berjajar rapi. Sementara dari arah selatan masjid, tampak juga beberapa jemaah yang berjalan menuju masjid.
"Apakah orang yang menggedor pintu sudah kembali masuk ke dalam masjid?" gumam Al-Fatih.
Sembari berpikir, dirinya pun lekas mempersiapkan diri untuk salat tahajjud. Seperti biasa. Dalam kondisi mendesak seperti ini, Al-Fatih sudah selesai berwudhu begitupun dengan seragam dinasnya sudah dikenakan tanpa perlu waktu yang lama.
ADVERTISEMENT
Dengan rasa cemas, kakinya pun cepat melangkah menuju masjid. Secepat kilat dirinya pun sudah tiba di dalam masjid. Tentu, para jemaah sudah menunggu. Untungnya, tidak satupun yang protes kenapa dirinya telat?
Al-Fatih terus maju ke depan dengan menundukkan pandangan. Mengetahui kedatangan sang imam, para jemaah yang tadinya sedang membaca al-Quran, kini mereka berdiri, lalu melangkah ke depan memenuhi saf pertama.
Juhail yang biasa duduk di sebelah pojok kanan masjid pun sudah berdiri dan menyesuaikan posisinya di dalam saf pertama. Tidak lupa memasang wajah sangar. Namun, sedikit pun Al-Fatih tidak melihatnya karena pikirannya sudah fokus ke ritual sembahyang yang ingin ditunaikan.
****
ADVERTISEMENT
Seperti biasa. Usai qiyamullail, tidak ada tutur sapa yang berarti antara satu jemaah dengan yang lain. Jemaah tampak mulai sepi. Padahal selama salat tadi, Al-Fatih sudah membawakan irama jiharkah sebagai tanda bahwa dirinya sedang dilanda kesedihan.
Ayat yang dibaca juga berhubungan dengan ujian dan cobaan. Kendati ujian yang menimpa Al-Fatih tidak sehebat ujian yang dialami Nabi Yusuf. Mulai dari dipisahkan dengan orang tuanya hingga diperjualbelikan.
Belum berhenti sampai di situ. Bahkan sampai dirinya meringkuk di dalam penjara hanya karena fitnahan Sang Ratu Bilqis. Apa yang dialami Al-Fatih belum ada apa-apanya ketimbang ujian yang diberikan Allah kepada para nabi.
Nabi Nuh, diejek kaumnya selama bertahun-tahun. Nabi Musa mengalami penganiayaan dari Firaun sehingga mengakibatkannya keluar dari Mesir untuk menyelamatkan Bani Israil. Serta nabi yang tidak bisa dilupakan sejarahnya karena ujiannya terpahat kokoh di dalam al-Quran.
ADVERTISEMENT
Adalah Nabi Ibrahim, diuji untuk menyembelih anaknya Ismail as. Apakah Al-Fatih tidak menyadari juga jika ujian yang dia alami belum sehebat sang penakluk muda kota Konstantinopel yang namanya tersemat dalam dirinya?
Hanya hitungan beberapa menit, jemaah pun sudah sepi. Ayah dua anak itu pun melangkah menuju sakan. Di selasar masjid, tiba-tiba ada orang memanggil, "Muthawwa!"
Al-Fatih menoleh ke sumber suara. Di sana terlihat seorang pria. Pakaian yang dia kenakan lazimnya pribumi setempat. Guthroh, kendurah, dan iqal.
"Heh"[1] sahutnya, perlahan.
Dari kejauhan, wajah orang yang memanggil itu tidak dikenal. Ditambah lagi penerangan sekitar kurang merata. Namun, Al-Fatih mengurungkan langkahnya ke sakan. Demi memenuhi panggilan sosok yang tidak dikenal itu.
"Assalamualaikum," ujar Al-Fatih, seraya mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
ADVERTISEMENT
"Waalaikumussalam," sahut pria itu, lirih.
Dia mencoba menempelkan hidung mancungnya ke hidung Al-Fatih. Namun, melihat itu, Al-Fatih enggan, karena belum terbiasa melakukan tradisi pribumi yang satu itu. Imam ini hanya menundukkan kepalanya untuk dikecup oleh pria tinggi tersebut.
"Enta min wayna?"[2] tanya pria ini, ramah.
"Ana andonesia," sahut Al-Fatih tidak kalah ramah.
"Ohhh, ana bahibba Indonesia wayd. Ruhtu ila Bali, wa … Syu ismuh?"[3] tanyanya sambil berpikir sejenak.
"Bogor?" sahut Al-Fatih
"La!"
Al-Fatih loading memikirkan apa yang dimaksud Baba Rasyid itu. Tadi, sudah perkenalan dan namanya adalah nama pasaran setempat. Di mana masyarakat pribumi sini, sangat mencintai dan memuliakan para sosok pendiri Uni Emirat Arab. Itulah sebabnya nama-nama mereka cendrung sama dengan nama-nama para tokohnya.
ADVERTISEMENT
"Oh Buncak," celetuk Baba Rasyid sembari tertawa.
Meski baru pertama kali ketemu dengan orang ini, tapi seakan-akan sudah kenal sejak lama. Tentu Al-Fatih sangat senang dengan perkenalan tersebut. Sayangnya, pria paruh baya itu tinggalnya jauh dari masjidnya Al-Fatih. Katanya, sekitar satu jaman jaraknya naik mobil.
Sebelum pergi, Baba Rasyid bertanya, "Syu tibgha?"[4] Dia memperhatikan imam yang di depannya. Al-Fatih tahu, kalau ada pertanyaan seperti itu, biasanya hanya sekadar basa-basi.
Melihat imam yang di depannya masih diam, lalu pria itu memantapkan ucapannya, "Qul li!"[5]
Padahal Al-Fatih masih menunjukkan wajah datar. Dirinya tidak ingin menampakkan kesedihan yang memenuhi kalbunya. "La abghi syai, ya Baba,"[6] sahut Al-Fatih, malu-malu.
Andaikan boleh terus terang, Al-Fatih sudah menumpahkan semua kegundahan hatinya. Sebab, orang yang di depannya itu, dia pikir sangat ramah dan peduli. Terbukti dengan awal pembicaraan mereka tadi, tampak begitu renyah. Walaupun baru saling kenal.
ADVERTISEMENT
Dari dalam mobil mewah terdengar suara wanita, "Khalas ya Baba, khalas, yalla ni ruh!"[7] Mobil itu persis di belakang mereka ngobrol.
Al-Fatih menduga, orang yang mendesak itu adalah istrinya. Karena malam, kecantikan rona wajah yang terbalut di dalam niqab itu tidak terlihat begitu jelas.
Mendengar itu, Al-Fatih sedikit kesal. Karena apa yang dia curhatkan, belum selesai.
"Ana ibgha sir."[8] Pria itu pun pamit, seraya memasukkan amplop ke dalam saku kendurah Al-Fatih, dengan perlahan.
"Wassalamualaikum," ucapnya, lalu bergegas masuk ke dalam mobil mengkilap itu.
"Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh," sahut Al-Fatih. Pandangannya mengikuti kepergian orang yang baru dikenal itu. Sampai benar-benar lenyap dari penglihatannya.
Sudah dua bulan dirinya menginjakkan kaki di negara Burj Khalifah ini, tapi belum pernah menjumpai pribumi seramah itu. Sampai-sampai Al-Fatih bertanya-tanya, apakah pria tadi malaikat atau manusia benaran?
ADVERTISEMENT
Rasa sedihnya, seketika hilang kala bertemu dengan Baba Rasyid. Dia sangat berharap ingin ketemu lagi, akan tetapi bagaimana bisa ketemu sementara dirinya tidak ingat minta nomor handphonen-nya?
Tadinya sempat murung di dalam masjid dan berharap ada orang yang menghiburnya. Benar saja. Al-Fatih tidak mengira kalau Allah mempertemukannya dengan sosok yang sangat langka itu.
Entah kenapa, setiap dia membutuhkan pertolongan, justru datang dari orang yang belum dia kenal. Sementara jemaahnya sendiri, tampak biasa saja. Seakan-akan tidak peduli dengan keadaan yang dialami oleh Al-Fatih.
Beberapa saat setelah berada di kamar, Al-Fatih membuka gawainya. Di sana ternyata, sudah banyak teman-temannya sesama imam yang berkomentar atas pesannya.
Sebelum qiyamullail tadi, ternyata Al-Fatih sempat curhat di grup para imam tanah air melalui WhatsApp. Yakni, bagaimana prosedurnya jika ingin mengambil cuti? Dan apakah boleh cuti saat Ramadan seperti sekarang dengan alasan anak sakit?
ADVERTISEMENT
[Setahu ana, susah, Tadz. Apalagi dadakan seperti ini. Kecuali di luar Ramadan,] komentar @Iqbal. Seorang imam angkatan pertama satu penempatan dengan Al-Fatih.
[Iya, Tad. Dulu, ada juga imam yang sama kondisinya dgn antum. Ayahnya wafat, tapi karena bulan Ramadan, akhirnya tidak jadi plg] komentar @Agus, seorang imam yang bertugas di Emirat Abu Dhabi.
[Kalau di Emirat Fujairah, boleh saja Tadz, asalkan ada badil,] komentar @Harun, seorang imam angkatan kedua.
[Kalau menurut saya, gak ada salahnya tuk mencoba,] komentar @Andi, seorang imam yang bertugas di Sharqah.
Sebenarnya, komentar para imam tanah air masih banyak lagi bila di-scroll ke bawah, semuanya bilang sulit untuk minta cuti. Selain memberikan pendapat dan usulan, tidak sedikit pula dari mereka yang mengucapkan doa, agar anak Al-Fatih lekas diberikan kesembuhan.
ADVERTISEMENT
Rasa bahagia yang sempat menyapa, kini hilang digantikan oleh kebingungan. Melihat ragam komentar teman-temannya itu, Al-Fatih menyimpulkan bahwasanya akan sulit mendapatkan cuti. Apalagi sampai sekarang dia belum mendapatkan badil (pengganti).
Al-Fatih sekarang seakan berada di persimpangan jalan kota Dubai yang sangat rumit dan pelik bagaikan labirin. Bingung mau milih ke arah mana.
Tidak ada tujuan yang pasti. Benaknya semakin kencang berputar untuk mengambil keputusan. Namun, semakin dia pikirkan, jalanan tampak semakin buram.
Tiket yang sempat dia beli tanpa sepengetahuan istrinya semalam, tidak tahu akan bagaimana? Itu karena yakinnya bisa pulang untuk membesuk anaknya yang sampai sekarang masih dirawat di rumah sakit secara intensif.
Tidak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul 02.05 waktu Dubai. Mata sudah berat sekali. Meskipun pikiran seberat gunung Uhud, tapi akhirnya Al-Fatih pun tidak menyadarkan diri di kasur empuknya.
ADVERTISEMENT
Hanya terhitung satu jam-an, alarm yang di-setting secara berkala itu pun berdering. Meski mata masih terasa berat sekali untuk bangun, bagaimanapun Al-Fatih harus segera bangkit untuk menyantap makanan sahur dengan seorang diri.
Makanan yang terletak di atas meja sudah menunggu. Al-Fatih belum tahu itu makanan apa, karena belum sempat dibuka kemarin saat berbuka puasa. Dia berharap agar santapan sahur yang berada di wadah foil itu adalah makanan yang dapat menggugah seleranya.
Namun ternyata, setelah dibuka isinya makanan khas setempat. Namanya Harees.[9] Melihat itu, perutnya langsung kenyang. Lidahnya belum mampu beradaptasi dengan makanan yang satu ini.
Kalau kata teman-temannya, bila dimasak ulang lalu ditambahkan ayam cubit dan kecap manis, akan berubah rasanya menjadi bubur ayam ala tanah air.
ADVERTISEMENT
Melihat jam sudah mendekati Subuh, Al-Fatih enggan untuk mengolah makanan itu supaya citra rasanya cocok di lidahnya. Dia tampak malas, mengingat selama Ramadan, nyaris tidak pernah dirinya menyentuh dapur karena dikasih makanan melimpah terus.
Untungnya, Al-Fatih masih punya pilihan lain. Yakni, Shawarma[10] yang dikasih Baba Abdullah masih sisa satu lagi. Itulah yang akhirnya dia makan. Kemudian Luqaimat[11] yang tersisa tiga bola lagi sebagai penutupnya.
Melihat jam semakin mendekati Subuh, kakinya segera melangkah ke masjid untuk membuka pintu, menghidupkan lampu, dan saklar azan.
"Leh taakharta ya Muthawwa?"[12] tanya Juhail secara tiba-tiba di tengah heningnya pagi.
Al-Fatih kaget dengar suara itu. Pasalnya, dia tidak melihat ada orang yang sudah menunggu karena penerangan belum dinyalakan.
ADVERTISEMENT
"Kenapa orang ini datang cepat sekali?" gumam Al-Fatih.
Al-Fatih heran bukan kepalang. Karena masih ada setengah jam-an lagi baru masuk azan Subuh. Sementara SOP Auqaf sendiri, seperempat jam lagi mau azan, muthawwa' harus ada di dalam masjid. Lantas kenapa dia harus marah-marah?
--------------------
[1] Ya.
[2] Kamu berasal dari negara mana?
[3] Oh, saya suka Indonesia. Saya sudah pergi ke Bali dan … apa namanya?
[4] Mau apa?
[5] Bilang ke saya.
[6] Saya tidak ingin apa-apa, Pak.
[7] Sudah Pak, sudah! Ayo kita pergi.
[8]Saya mau pergi.
[9] Sebuah hidangan tradisional yang dibuat dari gandum dan daging (biasanya ayam atau domba) yang dimasak perlahan hingga teksturnya menjadi lembut seperti bubur. Al Harees sering disajikan selama Ramadan dan perayaan khusus.
ADVERTISEMENT
[10]Makanan populer khas Timur Tengah, shawarma adalah daging yang dimarinasi dan dipanggang pada rotisserie, lalu dipotong tipis-tipis dan disajikan dalam roti pita dengan sayuran dan saus.
[11] Makanan penutup yang terdiri dari bola-bola adonan yang digoreng hingga renyah di luar dan lembut di dalam, lalu disiram dengan sirup gula atau madu. Luqaimat biasanya disajikan selama Ramadan.
[12]Kenapa kamu telat, imam?