Konten dari Pengguna

Hujan di Sore Ini: Muhasabah, Silaturahmi, dan Bencana

Elis Susilawati
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7 Desember 2023 19:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elis Susilawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hujan deras. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hujan deras. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Aku suka hujan, tapi tidak disertai petir dan angin.
Tulisan kali ini berbeda dari sebelumnya. Aku ingin bercerita. Sore ini, 6 Desember 2023 langit Ciputat tampak murung, berbeda dengan hari biasanya. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul 15.30 WIB.
ADVERTISEMENT
Aku keluar dari Gedung Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Menatap langit cukup lama. Abu-abu tanpa setitik cahaya. Melihat dedaunan gugur dari pohon. Mendengar bunyi nyaring ranting kering yang berjatuhan ke atas atap trotoar.
Ketika aku sudah menaiki motor, lalu mengantre untuk keluar kampus, debu halus berterbangan. Angin datang lebih kencang, bukan belaian lembut, namun seperti tamparan. Bahkan, beberapa karangan bunga yang berderet di berbagai titik di depan kampus pun sudah tidak berdiri kokoh. Bayangkan, seberapa kencang angin itu.
Belum selesai dengan serangan angin, tiba-tiba langit menumpahkan air matanya secara perlahan. Aku pikir, tetesan tersebut hanya sebentar. Nyatanya, datang lebih kencang dalam waktu yang singkat. Aku tidak dapat melanjutkan perjalanan karena lupa membawa jas hujan. Aku melipir ke mini market untuk membeli jas hujan.
ADVERTISEMENT
Selesai dengan pembayaran, aku keluar dari mini market. Tetes air yang kujumpai tadi sudah bergabung dengan angin dan kilat. Jalanan buram tertutup kabut. Pengendara motor banyak yang menumpang tempat berteduh pada berbagai ruko di pinggir jalan. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang.
Aku segera menggunakan jas hujan dan memberanikan diri untuk menembus derasnya air. Perjalanan menuju ke rumah terasa panjang. Menyayat hati. Memikirkan diri. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menyebut nama-Nya. Jantung berdegup kencang. Tubuh gemetar bukan karena suhu yang rendah. Air mata keluar begitu saja.
Aku takut. Bukan pada hujan yang terjadi saat itu, tapi membayangkan pada bencana lebih besar yang mungkin sudah disiapkan Tuhan. Aku membayangkan bagaimana diri aku saat ini. Tapi, sebenarnya, sepanjang perjalanan, aku juga merasa khawatir dan takut. Bukan saja memikirikan apakah diri ini bisa sampai di rumah dengan selamat, tapi bagaimana ketika aku melihat orang-orang di sekitar adalah bayangan dari orang-orang terdekatku. Mama, papa, adik, orang terkasih, kakak, saudara, bahkan my Kim ku.
ADVERTISEMENT
Aku menjumpai beberapa titik genangan air yang cukup tinggi sepanjang perjalanan dari UIN menuju rumah. Genangan yang sudah menyerupai deburan ombak yang tercipta dalam waktu 15 menit.
Pertama, di depan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jalanan tidak dipenuhi banyak kendaraan. Air memenuhi sisi kiri jalan sehingga pengendara memilih bagian kanan karena lebih tinggi.
Kedua, sebelum jalan layang Ciputat. Jujur saja, aku bingung untuk memilih jalan atas atau bawah karena angin menerpa dengan kencang yang membawa air untuk menusuk kulit, begitu tajam. Pertimbangan lewat atas, angin sangat kencang dengan air mengalir deras di atas aspal. Pikirku, takut terbang. Kalau memilih jalur bawah, sudah jelas terlihat banjir setengah lutut. Akhirnya, aku melewati jalur atas dengan kecepatan yang sangat pelan. Bibir ini tidak henti-henti menyebut nama-Nya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, setelah jalan layang Ciputat hingga depan apartemen Green Lake View. Menurutku, ini yang paling parah. Banjir selutut. Kendaraan banyak yang mati. Air mataku mengalir semakin deras teringat beberapa memori buruk soal banjir. Sama seperti di depan UIN, pengendara memilih sisi kanan jalan yang mendekati pembatas lajur. Ternyata, bukan aku saja yang tersayat. Tiba-tiba, pengendara perempuan di sampingku menangis sambil menatapku. Dia bicara beberapa kalimat padaku. Di belakangnya, pengendara lain juga menangis khawatir.
Keempat, sebelum hingga sesudah rumah sakit Sari Asih. Genangan air di sini berbeda dari sebelumnya. Sangat kotor dan cokelat. Setelah melewati banjir bagian ini, Tiba-tiba, aku nyaris terpeleset oleh botol air mineral yang masih terisi penuh. Saat memandang ke depan, ternyata banyak botol air mineral lain yang berserakan. Ternyata, botol tersebut jatuh dari kardus di atas motor yang dikendarai oleh Bapak-Bapak tua. Dengan cepat, aku segera memberi tahu, lalu bapak tersebut langsung melipir.
ADVERTISEMENT
Kelima, di depan RSUD TangSel hingga Pasar Kita. Di bagian ini, wajahku yang tertutup helm tiba-tiba terkena cipratan air yang sangat tinggi akibat dari mobil Avanza putih berjalan dengan cepat. Tidak hanya aku, pengendara lain pun turut terkibas oleh air tersebut. Rasanya aku ingin mengumpat. Tapi, sudah diwakilkan oleh pengendara di sebelahku, akhirnya aku tidak jadi mengumpat. Pengendara tersebut memvalidasi padaku bahwa dalam kondisi seperti ini seharusnya tidak perlu ngebut. Ini karena hampir setiap pengendara membawa kendaraannya dengan kecepatan rendah, termasuk aku, hanya 20 km/jam.
Keenam, di perumahan Witana Harja. Jalanan ini lebih kosong dari yang sebelum-sebelumnya. Hanya ada satu pengendara, bapak-bapak naik motor supra. Aku mengendarai motor dengan sangat pelan karena banjir di titik ini memiliki kesamaan dengan banjir di poin nomor tiga. Di ujung jalan, aku melihat banyak pengendara yang menanyai sesuatu pada bapak-bapak bermotor supra tadi, namun tidak di jawab. Ketika aku mendekat, ternyata dia bertanya soal banjir yang tinggi atau tidak.
ADVERTISEMENT
Melalui perjalanan pulang kali ini, aku merasa bahwa hujan berdampak positif dan negatif. Positif karena bisa bermuhasabah diri dan bersilaturahmi. Biasanya, ketika dalam perjalanan, tidak pernah berinteraksi dengan pengendara lain, apalagi tidak dikenal. Kali ini benar-benar terasa sangat dalam. Hari ini aku berinteraksi dengan beberapa orang di jalan. Selain itu, hujan yang mengguyur Ciputat sore ini mampu membuat genangan air dengan sangat cepat. Dari keenam titik banjir yang sudah aku sebutkan, banjir poin nomor dua, tiga, dan enam paling tinggi karena hampir selutut.
Dari hujan yang terjadi di sore ini, saya tidak bisa berkata lebih banyak lagi, selain bersyukur karena sejak kemarin Tuhan tidak memberikan hujan. Jangan sampai, tidak ada hujan kita mengeluh, ada hujan pun mengeluh. Bencana dapat diantisipasi oleh kesadaran setiap masyarakat untuk menjaga lingkungan. Jangan sampai, kita hanya dapat menyalahkan pemerintah karena bencana yang terjadi.
ADVERTISEMENT