Konten dari Pengguna

Kontribusi IQ, EQ, dan SQ dalam Pemaksimalan Psikologi Pendidikan

Elis Susilawati
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26 September 2023 8:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elis Susilawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Praktik mengajar di dalam kelas. Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Praktik mengajar di dalam kelas. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Kontribusi IQ, EQ, dan SQ dalam Pemaksimalan Praktik Psikologi Pendidikan

ADVERTISEMENT
Emotional Intelligence (EQ) merupakan kemampuan mengontrol dan menggunakan emosi, pengendalian diri, semangat, motivasi, hingga adaptasi lingkungan, sedangkan Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan dalam menghadapi persoalan makna, untuk menilai tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
Menurut Duceshne dan McMaugh, psikologi pendidikan merupakan cabang psikologi yang mengkaji kondisi peserta didik dan implikasinya (teori psikologi) dalam proses pembelajaran. IQ, EQ, dan SQ sebagai bagian dari ilmu psikologi, tentunya dapat dihubungkan dengan ranah psikologi pendidikan.
Pengetesan terhadap IQ, dan pemahaman terhadap EQ dan SQ oleh pendidik akan memudahkan pendidik dalam memetakan potensi dan kemampuan peserta didiknya. IQ, EQ, dan SQ sebagai pengukur kecerdasan dapat membantu pendidik dalam hal tersebut.

Keseimbangan IQ, EQ, dan SQ dari Kecerdasan Tunggal ke Kecerdasan Majemuk

Gardner menyebut kecerdasan (intelligence) sebagai seperangkat kapasitas, bakat, atau kecakapan mental. Kapasitas di sini adalah kapasitas untuk memproses jenis informasi tertentu. Sebagai kapasitas mental, kecerdasan berkembang secara dinamis, namun berkaitan erat dengan latar sosio-budaya dan dengan pendidikan dan pengasuhan.
ADVERTISEMENT
Dengan kecerdasan yang dimiliki, seseorang akan mampu memecahkan masalah, atau menciptakan produk-produk yang dihargai tinggi di dalam satu atau lebih latar budaya dan masyarakat. Pengkajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, maka disebut juga dengan Kecerdasan Tunggal.
Menurut Gardner bahwa salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas. Kecerdasan dimaknai dengan kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi yang kurang dikenal atau pemecahan masalah.
Untuk menyeimbangkan IQ, EQ, dan SQ itu harus melihat sinergis dan kemampuan berperan dimana masing-masing kecerdasan itu fungsikan, dan dituntut keprofesionalitasan dalam mengendalikan dan membawanya keluar personal pribadinya, sehingga hasil yang direspon dan yang diterima oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Ginjar menyebutkan bahwa tauhid merupakan satu kunci yang mengarahkan dan membimbing semua potensi kecerdasan baik, IQ, EQ dan SQ, sebagai pusat orbit pada diri manusia. Tauhid adalah esensi keberadaan “tuhan merupakan hal yang pertama dalam diri manusia (untuk yang meyakinkan adanya Tuhan), jika tauhid mampu mengstabilkan tekanan pada amygdale (sistem saraf emosi), sehingga selalu terkendali. Pada saat inilah seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosional tinggi.

Hubungan antara Berpikir dan Emosi

Berpikir merupakan sebuah proses kognitif yang dapat diartikan sebagai suatu aktivitas mental yang lebih menekankan penalaran untuk memperoleh pengetahuan. Proses berpikir berkaitan dengan jenis perilaku lain dan memerlukan keterlibatan aktif pemikir, sedangkan emosi merupakan kondisi psikologis yang dirasakan sebagai perasaan positif atau negatif yang dapat memengaruhi aspek-aspek psikologis lainnya.
ADVERTISEMENT
Emosi memiliki dua konotasi, yaitu positif dan negatif. Emosi muncul setelah melalui penafsiran terhadap suatu kejadian. Penafsiran tersebutlah yang didapati di dalamnya proses kognitif.
Kontribusi IQ, EQ, dan SQ dalam Pemaksimalan Praktik Psikologi Pendidikan

Hubungan antara Berpikir dan Spiritual

1. Berpikir

Berpikir merupakan kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, menimbang dan memutuskan (Sobur, 2003).
Menurut Rakhmat terdapat dua macam berpikir, yaitu berpikir autistik (berpikir yang imajinatif, fantasi, dan bahkan dapat dikatakan jauh dari kehidupan nyata) dan berpikir realistik (berpikir sesuai dengan kehidupan nyata). Beberapa aspek penting dalam berpikir, yaitu berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berpikir ilmiah.
Dalam pengajaran salah satu tujuan penting pengajaran adalah membantu murid menjadi lebih kreatif. Cara yang paling tepat yang bisa mengilhami kreatifitas muri antara lain “Brainstorming”, memberi murid lingkungan yang memicu kreatifitas, tidak terlalu mengatur murid, mendorong motivasi internal, mendorong pemikiran yang fleksibel dan menarik, dan memperkenalkan murid dengan orang-orang kreatif.
ADVERTISEMENT

2. Spiritual

Dalam menyikapi persoalan krisis spiritual yang dialami manusia modern saat ini, sebagian pakar menengok kembali nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama yang diyakini mampu mengatasi permasalahan krisis itu adalah nilai agama yang berdimensi spiritual. Ada banyak dimensi agama, dalam Islam terdapat dimensi syariat, hakikat, dan tarekat atau dalam konteks lain, agama memiliki dimensi lahir dan dimensi batin.
Para pakar pendidikan mulai menekankan arti dan makna pendidikan yang berbasiskan nilai-nilai spiritual, tanpa mengabaikan nilai teologis dan nilai filosofis sebagai penyangganya. Pendidikan spiritual berusaha mengedepankan dimensi akhlak, tetapi ia berbeda dengan pendidikan akhlak.
Pendidikan spiritual berupaya mendorong jiwa melalui ketenteraman hati sehingga tercapai pencerahan batin. Tujuannya, yaitu menghadirkan manusia spiritual; yakni manusia yang telah tercerahkan hatinya, suci jiwanya, dan mengalami kenikmatan spiritual.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, istilah yang digunakan untuk “spiritualitas” adalah al-rûhâniyyah atau al-ma’nawiyyah. Al-rûhâniyyah diambil dari kata al-ruh, yang membicarakan tentang al-Qur’an yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan, ketika ditanya tentang hakikat al-ruh, sedangkan al-ma’nawiyyah berasal dari kata alma’na yang mengandung konotasi kebatinan, “yang hakiki”. Dalam bahasa Arab, kata spiritual terkait erat dengan yang ruhani dan maknawi, dalam arti sesuatu yang berkaitan dengan kehakikian, keabadian, bersifat murni, dan bukan imitasi.
Spiritualitas mencakup karakter seseorang, namun bukan sekadar sikap yang dicerminkan oleh perilaku, tetapi juga terkait dengan motif yang melandasi suatu sikap batin, perasaan yang berhubungan dengan lingkungan. Secara substantif, nilai-nilai spiritual itu terdiri atas 3 (tiga), yakni:
1. Pengetahuan tentang spiritual (spiritual knowing)
ADVERTISEMENT
Spiritual Knowing merupakan pengetahuan tentang moral yang memiliki enam unsur yaitu: kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai- moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil dan menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge).
2. Perasaan berlandaskan spiritual (spiritual feeling)
Spiritual Feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter yang berkaitan dengan percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control) dan kerendahan hati (humility).
3. Perilaku berlandaskan spiritualitas (spiritual doing/acting)
Spiritual Doing/Acting merupakan perwujuduan dari pengetahuan tentang moral dan penguatan aspek emosi yang dimiliki oleh siswa.
ADVERTISEMENT
Tiga nilai tersebut diharapkan mempengaruhi pengetahuan spiritual yang dimiliki akan terkoneksi dengan perasaan emosi moralnya, karena keduanya saling terkait dan berhubungan erat. Pendidikan spiritual keagamaan adalah pondasi untuk membentuk pribadi dan mental yang diharapkan mampu memberikan pencerahan kepada peserta didik, sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya.
Pendidikan spiritual keagamaan harus mampu menyentuh sisi paling dalam peserta didik yaitu hati, sehingga peserta didik tahu dan sadar bahwa dirinya diciptakan Allah, lahir ke dunia dengan tugas ibadah, mampu hidup bersyukur, menyayangi sesama manusia dan makhluk lainnya karena Allah semata, taat dan rajin beribadah, peduli pada sesama, hormat pada orangtua maupun guru.
Jika nilai-nilai spiritual tertanam di dalam hati para peserta didik sejak dini, dengan begitu kehidupan anak akan diwarnai dengan sikap positif, proaktif, produktif, progresif, partisipatif, dan memiliki sikap rendah hati, tawaduk, bermoral baik serta bertakwa.
ADVERTISEMENT