Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tidur Selepas Subuh Bukanlah Sebuah Dosa
30 Juni 2021 14:28 WIB
·
waktu baca 2 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:46 WIB
Tulisan dari Ahmad Natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Anwar, teman saya satu desa datang kepada saya dalam keadaan gelisah. Curahan hatinya mengenai tindak-tanduknya di rumah mertuanya mendapatkan kritik keras dari Sang Mertua. Ini karena kebiasaannya tidur selepas subuh. “Lha bagaimana lho, Mas. Saya bekerja di pabrik dan mendapatkan shift malam. Tentu, saya baru bisa pulang jam setengah empat sebelum subuh. Sebenarnya boleh nggak sih kita tidur selepas subuh?”
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu tiba-tiba menggelitik benak saya. Selama ini kita tidak pernah sama sekali menanyakan apa alasan dari pelarangan tidur selepas subuh, padahal di antara kita banyak yang membutuhkannya. Terutama bagi pekerja yang mendapatkan shift malam, atau bagi orang pekerjaannya tidak bisa tidak dilakukan pada malam hari.
Saya melamun sejenak. Pesan larangan tidur selepas subuh pertama kali saya dengar di pesantren saat kajian sebuah kitab kecil yang sering kami sebut dengan Mutala’ah. Tepatnya, saat kami menduduki kelas 10 kami mendapatkan teks berbahasa Arab yang berjudul syuruq (fajar). Teks itu bercerita tentang keindahan suasana terbitnya matahari dari arah timur. Begitu indahnya sehingga amat disayangkan apabila kita melewatinya. Akhirnya teks tersebut ditutup dengan kalimat “naumatus subhi turitsul faqra, tidur selepas subuh mewariskan kemiskinan”.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi dengan sebuah adegan film dalam Ketika Cinta Bertasbih manakala Abdullah Khoirul Azzam dilarang menikahi seorang gadis oleh ibunya. Alasan kuat yang membuat Sang Ibu melarangnya ialah gadis itu kerap tidur selepas subuh kala menginap di rumahnya, bukan karena apa-apa, gadis itu memang teman dari adik Azzam, Ayatul Husna. Dan bahkan tidur sebelum subuh menjadi pamali di seluruh kehidupan kita.
Kembali ke kalimat naumatus subhi, kata ini membuat saya berpikir, kalimat itu (dalam kitab mutala'ah) diawali dengan “telah datang sebuah nasihat dari sebuah hadis”. Ini mengindikasikan bahwa pelarangan ini muncul dari sebuah hadis. Akhirnya saya mencoba menelaah hadis itu dengan redaksi yang serupa di beberapa aplikasi hadis.
Nihil, saya tidak menemukan sama sekali hadis yang demikian ini. Ya, saya ulangi lagi, saya tidak mendapatkan data satu hadis pun dari puluhan kitab hadis yang saya cari (sebenarnya tinggal klik saja, sih). Lalu, mereka mendapatkannya dari mana?
ADVERTISEMENT
Pencarian saya belum selesai. Saya kemudian mendapatkan sebuah clue yang mengisyaratkan bahwa naumatus subhi sepadan dengan kata lainnya yaitu al-subhatu yang mempunyai arti yang sama, tidur selepas subuh. Ini diungkapkan oleh Muhammad Khalaf Salamah dalam bukunya Taqrib Kitab Zuhd wa Raqaiq.
Tara! Akhirnya saya menemukan kalimat otentik hadis ini yaitu as-subhatu tamna’ur rizqa (tidur selepas subuh menghalangi hadirnya rejeki). Hadis ini bersumber dari Ustman bin Affan dan Anas bin Malik. Hadis ini setidaknya dikeluarkan oleh beberapa perawi hadis yaitu Ahmad bin Hambal (w. 241 H) dalam bab musnad ‘Utsman bin Affan (kumpulan hadis yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan) dan Imam Baihaqi (w. 458 H) dalam bab syu’bul iman (cabang iman).
ADVERTISEMENT
Masalah selanjutnya ialah, adakah masalah dalam perawi hadis itu, adakah di antara mereka yang mempunyai etika yang tidak baik yang menjatuhkan keaslian hadis itu?
Sayangnya, banyak para ahli hadis yang memasukkan hadis ini di kitan kumpulan hadis lemah mereka. Sebut saja Ibnu ‘Ady yang menaruhnya dalam kitabnya al-Kamil fid Dhuafa’ (kumpulan hadis lemah), Ibn al-Jawzi dalam kitab al-Maudu’at (kumpulan hadis-hadis palsu), Imam Suyuti dalam kitab al-Lali’ al-Masnuah, ini kitab kumpulan hadis-hadis lemah karyanya.
Akhirnya semua ahli hadis sepakat akan kelemahan hadis ini. Kesepakatan ini dikarenakan ada nama Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah salah seorang perawi hadis ini yang dinyatakan sebagai lemah dan pernah tertuduh dusta sehingga seluruh hadis yang pernah diriwayatkan olehnya dianggap matruk (ditinggalkan) bahkan maudhu’ (palsu).
ADVERTISEMENT
Sederhananya, hadis ini tidak bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan, apalagi dijadikan dasar halal dan haram. Sekalipun misalnya bisa, tidak boleh ada pemaksaan bahkan ancaman dosa.
Akhirnya, lamunan saya selesai, tanpa ragu lagi saya ungkapkan kepada Anwar dengan nada yang saya yakin-yakinkan, “Tidurlah, keyakinan itu palsu.” Kemudian dia puas dan menyeruput kopinya kembali.