Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Koruptor di Lembaga Pemberantasan Korupsi
28 Desember 2023 18:57 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apabila ada yang bertanya drama apa yang paling mengasyikkan, maka yang bisa direkomendasikan adalah drama penetapan tersangka Ketua KPK, Firli Bahuri. Bagaimana tidak, penetapan tersangka Firli Bahuri ini memang memiliki alur epik bak sebuah drama. Oleh sebab itu kasusnya pantas menjadi dramaturgi yang nikmat untuk ditonton.
ADVERTISEMENT
Namun ketika menyaksikan dramaturgi Firli Bahuri bukanlah kesenangan yang akan diperoleh, melainkan perasaan penuh amarah, rasa kesal, hingga ungkapan yang merasa jijik terhadap proses penegakan hukum di negeri ini yang bobrok nan korup.
Bagi sebagian orang menilai penetapan status tersangka Firli Bahuri tidaklah mengagetkan. Bagaimana tidak, selama ini kepemimpinan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK kerap menimbulkan kontroversi yang sangat beragam disertai dengan kentalnya aroma kepentingan penegakan hukum yang kerap tebang pilih.
Ditambahi lagi adanya kecurigaan publik bahwa Lembaga Antirasuah yang tugas utamanya memberantas korupsi justru menjadi institusi bobrok yang dibuktikan dengan banyaknya pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK.
Ditambah lagi adanya fakta bahwa sejak awal dalam proses seleksi calon pimpinan KPK (sebelum Firli Bahuri terpilih) sudah muncul desakan penolakan publik untuk tidak mengangkat Firli dan kawan-kawan karena catatan hitam yang melatarbelakanginya. Misalnya saja ketika Firli menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK (2018) terbukti pernah bertemu dengan pihak yang sedang berperkara dalam kasus tipikor—yang tergolong sebagai pelanggaran kode etik berat.
ADVERTISEMENT
Kemunduran KPK
Perlu diakui bahwa selama ini kelembagaan KPK di bawah rezim Firli Bahuri dan kawan-kawan tidak menunjukkan ada kemajuan pemberantasan korupsi (progressive) yang signifikan, justru yang terjadi adalah kemunduran (regressive). Firli Bahuri dan jajaran pimpinan KPK lainnya telah gagal mewujudkan cita-cita negara untuk memberantas korupsi secara serius.
Malahan yang terjadi KPK menjadi lembaga kompromistis yang menjadi sarang transaksi korupsi. Penangkapan Syahrul Yasin Limpo yang diikuti dengan pemerasan oleh Firli Bahuri adalah salah satu bukti gagalnya KPK menjaga murwah sebagai institusi penegak hukum. Ditambah lagi sebelumnya kasus Lili Pintauli Siregar saat menjadi pimpinan KPK yang memperlihatkan begitu rendahnya integritas pejabat dalam memberantas korupsi.
Padahal dalam agenda penegakan kasus tipikor, yang menjadi prinsip utama adalah prinsip integritas yang meliputi jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil—sebagaimana 9 Nilai Prinsip Antikorupsi yang selalu dikampanyekan KPK.
ADVERTISEMENT
Sejatinya KPK adalah lembaga yang dituntut untuk mengedepankan integritas dan profesionalisme dalam memberantas korupsi secara serius. Namun, di era Firli Bahuri telah tatanan nilai, prinsip, dan pondasi hukum yang selama ini dipegang KPK telah rusak.
Kecurigaan Sejak Awal
Satu hal yang tidak boleh dilupakan, sejak awal publik sudah menaruh curiga bahwa kepemimpinan Firli Bahuri dan kawan-kawan akan terjerabak dalam praktik penegakan hukum korup, lantaran proses pemilihan para pimpinan di tahun 2019 penuh dengan taburan kepentingan yang cenderung dipaksakan. Sehingga wajar saja apabila publik menilai mereka (pimpinan KPK) dipilih untuk mengamankan praktik korup yang selama ini terjadi di KPK.
Belum adanya kabar penangkapan Harun Masiku bisa jadi ada hubungannya dengan kegagalan KPK saat ini, yakni ketidakseriusan para pimpinan mencari dan menangkap Harun Masiku. Padahal, dengan ketersediaan alat negara yang lengkap harusnya membuat KPK mudah menangkap Harun Masiku tersebut.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi hal itu menunjukkan ketidakberdayaan KPK ketika harus disetir oleh pemimpin yang korup dan membela kepentingan dirinya dan kelompoknya. Keadilan benar-benar sulit sekali terwujud lantaran sistem penegakan tipikor tersandera politik kepentingan yang mudah diatur oleh aktor yang memegang kuasa. Kesan tersebut identik dengan politik kepentingan elektoral yang disebut dengan klientelisme, yakni adanya relasi antara kekuasaan politik (oligarki) dengan corak patronase.
Entah sudah keberapa kali pelanggaran kode etik dan tindakan kontroversial yang dilakukan Firli sebagai Ketua KPK. Hingga pada akhirnya penetapan Firli sebagai tersangka adalah puncak dari segala drama penyelewengan jabatan yang selama ini ia lakukan. Di sisi lain patut kita apresiasi langkah berani dari Kepolisian yang menetapkan Firli sebagai tersangka. Ketika KPK sudah tidak bisa lagi diharapkan, maka publik sangat bergantung pada keberanian Kepolisian untuk mengungkap kasus ini secara serius dan menindaknya dengan tegas.
ADVERTISEMENT
Tentu publik sudah lelah dengan tontonan pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli Bahuri. Meski ia sudah beberapa kali tertangkap basah berhubungan dengan para tersangka yang perkaranya sedang ditangani KPK, pernah menggunakan helikopter yang berasal dari pihak swasta, masalah pemberhentian pegawai KPK melalui TWK, hingga masalah bocornya dokumen tindak pidana korupsi di Kementerian ESDM, akan tetapi ia selalu lolos dari sanksi Dewan Pengawas KPK. Presiden dan DPR pun sama sekali tidak menanggapi berbagai pelanggaran yang terjadi di tubuh Lembaga Antirasuah tersebut. Padahal, akumulasi pelanggaran kode etik harusnya adalah dijatuhkannya sanksi pemberhentian tidak dengan hormat.
Terbaru, Firli mengajukan surat pengunduran diri sebagai Ketua KPK yang ditujukan kepada Presiden. Padahal pada saat yang sama Firli sedang menjadi terperiksa dalam kasus etik di Dewan Pengawas. Melihat rekam jejak Firli, mestinya Presiden tegas menolak pengunduran Firli tersebut sampai diputuskannya hasil pemeriksaan Dewan Pengawas. Jangan sampai kasus Firli tersebut mirip dengan kasus Lili Pintauli yang telah diterima pengunduran dirinya sebelum ada putusan Dewan Pengawas, sehingga yang terjadi Lili tidak bisa dijatuhi sanksi etik.
ADVERTISEMENT
Macan Ompong
Dalam sejarahnya, pimpinan KPK adalah posisi yang tidak selalu aman karena terus menjadi sasaran pengawasan publik, karena pula kerja-kerja KPK selalu terkait dengan uang dan kekuasaan yang berkaitan dengan kepentingan para pejabat negara. Sehingga wajar saja apabila KPK adalah lembaga yang berpotensi besar menjadi lembaga korup apabila dihadapkan pada sistem yang lemah dengan orang-orang korup di dalamnya.
Sistem yang buruk serta pimpinan berwatak korup itulah yang terjadi di era kepemimpinan Firli Bahuri. KPK saat ini selayaknya macan ompong yang sedang sakit, sehingga tidak lagi ditakuti koruptor.
Firli Bahuri memang bukanlah satu-satunya Ketua KPK yang pernah berhadapan dengan hukum, karena sebelumnya ada Antasari Azhar dan Abraham Samad yang pernah terjerat kasus hukum. Bedanya, kasus Antasari Azhar dan Abraham Samad dibela oleh publik yang menilai bahwa mereka telah dijebak dan dikriminalisasi. Anggapan publik kala itu bisa saja muncul lantaran pada saat itu KPK benar-benar bertaji, menangkap semua koruptor tanpa pandang bulu, serta menindaknya dengan tegas.
ADVERTISEMENT
Anggapan publik semacam itu jauh berbeda ketika Firli Bahuri menjadi tersangka. Justru yang terjadi publik menungkapkan rasa syukur atas penetapan Firli sebagai tersangka. Apabila mencermati kedua kondisi yang kontras tersebut memang tidak dilepaskan dari masalah krisis integritas para penegak hukum dalam tubuh KPK, degradasi kepercayaan publik terhadap KPK (public distrust), ditambah lagi jejak latar belakang Firli Bahuri dan pimpinan KPK yang memang penuh dengan kebijakan kontroversial.
KPK saat ini memang sangat melempem, tidak ada taji, dan sama sekali tidak memiliki power kuat untuk memberantas korupsi.
Dulu KPK adalah lembaga yang sangat ditakuti para pejabat, akan tetapi kini KPK tidak berbeda jauh dengan kondisi Kepolisian dan Kejaksaan seperti di awal-awal pembentukan KPK pada periode awal.
ADVERTISEMENT
Dahulunya KPK dibentuk dengan alasan lemahnya Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi serta banyaknya transaksi koruptif yang ada di kedua lembaga tersebut, sehingga dibentuklah KPK.
Akan tetapi yang terjadi kini justru KPK tidak ada bedanya dengan Kepolisian dan Kejaksaan di awal-awal reformasi sebagai lembaga yang sangat korup. Sehingga apabila disimpulkan bahwa saat ini KPK telah terjerabak dalam pusaran penegakan hukum yang sangat korup karena di dalamnya penuh dengan koruptor. Secara tegas harus mengatakan bahwa periode ini merupakan periode terburuk KPK sejak awal berdiri.
Perlu Ada Langkah Berani
Memang tidak mudah mengembalikan marwah KPK dalam sekejap. Akan tetapi ada beberapa skema untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap KPK baik yang berjangka pendek maupun jangka panjang. Langkah tersebut dilakukan dengan memperbaiki berbagai aspek mulai dari aspek substansial perundang-undangan hingga kerja-kerja dalam sistem pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam waktu dekat yang paling masuk akal untuk dilakukan adalah dengan memastikan proses penegakan hukum terhadap Firli Bahuri berjalan sebagaimana mestinya, sehingga KPK dan institusi lain tidak boleh cawe-cawe membela Firli, atau bahkan perlu ada sikap tegas Presiden dan DPR supaya Firli dipecat sebagai pimpinan KPK (bukan karena mengundurkan diri).
Karenanya kejenuhan terhadap kepemimpinan Firli sudah terbendung lama, bahkan sebelum ia menjadi Ketua KPK.
Memang, dalam penegakan hukum pidana harus mengedepankan praduga tidak bersalah (presumption of innocence), tetapi dalam kasus Firli ini harus dipandang sebagai dugaan kasus etik yang berat dan perlu ada pembuktian di Dewan Pengawas.
Untuk benar-benar menghidupkan kembali kepercayaan publik terhadap KPK, maka harus ada langkah berani supaya segera mengangkat kembali pimpinan KPK yang baru, artinya harus memangkas semua pimpinan yang masih menjabat saat ini, dan Presiden harus segera melakukan seleksi untuk menunjuk capim KPK yang baru.
ADVERTISEMENT
Secara hukum langkah tersebut dimungkinkan untuk dilakukan oleh Presiden dan DPR karena harus dipandang sebagai permasalahan ketatanegaraan yang genting dan luar biasa, yakni masalah public trust dan kaitannya dengan agenda pemberantasan korupsi yang harus dibenahi secara serius. Terlebih lagi kasus Firli Bahuri sangat riuh menjadi perhatian masyarakat, sehingga Presiden dan DPR harus merespons permasalahan ini secara cepat.
Apabila langkah itu dilakukan berlarut-larut, maka gelombang ketidakpercayaan dari masyarakat akan terus mengemuka, dan semakin memperkeruh agenda pemberantasan korupsi.
Langkah selanjutnya guna mengatasi persoalan KPK yang bersifat jangka panjang, maka harus ada jaminan kepastian hukum dalam regulasi yang memadai, yakni revisi peraturan perundang-undangan yang selama ini menghambat kinerja KPK. Misalnya UU KPK yang telah direvisi pada tahun 2019 memuat banyak norma yang memperlemah kinerja KPK. Ditambah lagi dengan Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2022 yang menutup ruang bagi pegawai KPK yang tersingkir melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWKnisasi).
ADVERTISEMENT
Apabila boleh dipertimbangkan, sebenarnya UU KPK yang lama (UU Nomor 30 Tahun 2002) dampak kemanfaatannya jauh lebih baik ketimbang UU KPK yang baru (UU Nomor 19 Tahun 2019). Oleh sebab itu supaya tercipta penyesuaikan kebutuhan hukum maka harus ada langkah berani dari Presiden untuk mengeluarkan Perppu guna kembali ke UU KPK yang lama. Kalaupun Perppu Cipta Kerja berani dilakukan, harusnya Presiden juga berani mengeluarkan Perppu KPK.
Melalui Perppu, karena apabila dilakukan melalui proses legislasi biasa dengan hiruk pikuk pemilu 2024, agaknya waktu yang dibutuhkan akan menjadi sangat lama, justru yang terjadi adalah memperlama keadaan yang penuh dengan hiruk pikuk ketidakpercayaan terhadap kerja-kerja pemberantasan korupsi. Toh, jabatan Firli dkk harusnya sudah selesai di bulan Desember 2023 ini.
ADVERTISEMENT
Kalau mau sadar, memang, UU KPK yang lama (2002) memang tidak sempurna, tetapi dengan tetap memberlakukan UU KPK yang baru (2019) justru merupakan pilihan yang tidak bijak dan akan mempertebal masalah pemberantasan korupsi di Indonesia.