Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Paradigmatik Hak Asasi Manusia
11 Desember 2023 13:38 WIB
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Semua lingkup kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), baik HAM dalam lingkup privat maupun publik, ataupun dalam lingkup lokal, nasional, regional, hingga internasional. Di setiap lingkup tersebut selalu ada konteks HAM yang melatarbelakanginya, dan setiap orang pasti memiliki hak yang dikategorikan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Orang yang baru dilahirkan secara otomatis menjadi penyandang HAM yang keberadaannya tidak bisa dicabut (inalienable). Justru selama ia hidup ada banyak jenis hak yang semestinya diakui, dilindungi, dipenuhi, dan apabila terdapat pelanggaran maka harus ditegakkan secara adil. Hak-hak kemanusiaan yang disebut hak asasi manusia tersebut akan terus melekat sampai orang tersebut meninggal dunia.
Pemahaman HAM semacam itu muncul dikarenakan terdapat dimensi kemanusiaan, sehingga tidak cukup apabila memaknai HAM sebatas kepedulian sosial antar manusia ataupun sebagai pemberian hak dari negara (rights given by the state).
Karenanya logika melekatnya HAM sudah muncul sejak manusia itu dilahirkan dan akan terus melekat hingga penyandang HAM meninggal, oleh sebab itu tidak ada satupun entitas yang bisa mencabut hak kemanusiaan yang telah melekat pada setiap individu—tetapi dalam keadaan khusus masih dimungkinkan untuk dibatasi (limitation).
ADVERTISEMENT
Sehingga tepat apabila mengatakan bahwa kehidupan manusia tidak sebatas hidup dan untuk bertahan hidup sebagai individu semata, melainkan dituntut supaya hidup ber-HAM (ber-hak asasi manusia), yakni saling menjalani kehidupan dengan dilandasi semangat pengakuan, perlindungan, penghormatan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap semua manusia tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras, dan golongan.
Pengabaian terhadap HAM maka akan memunculkan potensi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip HAM. Padahal sekecil apapun bentuk pelanggaran HAM tersebut pantang untuk dilakukan, justru HAM harus diakui, dilindungi, dihormati, dimajukan, dan ditegakkan.
Oleh karenanya menjadi penting untuk menentukan standar HAM berkaca pada prinsip-prinsip hukum HAM berdasarkan pengakuan global atas dasar rasa kemanusiaan seperti jus cogens, yang kemudian standar tersebut dinormakan dalam bentuk peraturan tertulis (positive rules) oleh masing-masing negara, baik peraturan ratifikasi yang berasal dari perjanjian internasional (treaty) maupun peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemangku kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Dengan ditentukannya standar HAM tersebut maka akan menjadi tahu dalam keadaan apa dan kapan HAM harus dibatasi (limitation). Demikian pula untuk mengetahui kebijakan negara yang seperti apa supaya tetap selaras dengan prinsip-prinsip HAM.
Perlu diakui bahwa dewasa ini HAM terus dihadapkan pada permasalahan yang tidak terbatas pada permasalahan pengakuan eksistensinya saja dalam tataran norma peraturan perundang-undangan (just claim recognition in the rules), melainkan telah berkembang menjadi permasalahan yang multidimensional.
Permasalahan HAM terus terjadi di lingkup kehidupan manusia, seperti yang terjadi pada lingkup rumah tangga, hubungan sosial bermasyarakat, maupun dalam konteks publik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal menarik yang perlu diulas berkaca dari fenomena saat ini adalah munculnya kecenderungan kontradiksi perlindungan dan penegakan HAM dalam hubungan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Maksudnya HAM banyak dibenturkan dengan kepentingan penguasa negara menggunakan dalih jaminan kesejahteraan sosial dan meningkatkan perekonomian negara, tetapi cara-cara yang dilakukan penguasa adalah dengan menabrak regulasi, melakukan represivitas, penegakan hukum yang diskriminatif, kebijakan yang koruptif, munculnya sengketa pada kasus-kasus sektoral seperti pangan, agraria, gender, ketimpangan keadilan pada penyandang disabilitas, hingga terjadinya ketimpangan relasi kuasa dalam penyelenggaraan kebijakan negara.
Kebijakan penguasa dewasa ini dilakukan dengan klaim memberikan kesejahteraan rakyat, tetapi justru kebijakan pembangunan yang dilakukan penguasa kerap bertentangan dengan kebutuhan rakyat serta nilai hukum dan rasa keadilan.
Bahkan ironisnya kebijakan tersebut banyak dilakukan secara sengaja dengan penyelundupan hukum dalam norma perundang-undangan untuk melegitimasi secara dimensi positif, tetapi hal itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan.
ADVERTISEMENT
Hukum yang semestinya memberikan jaminan perlindungan HAM telah bergeser menjadi hukum yang menakutkan dan membahayakan bagi keberadaan HAM itu sendiri. Artinya, ada tindakan secara sengaja yang membiarkan hukum menjadi terkooptasi akibat kepentingan pihak-pihak tertentu.
Imbas yang terjadi adalah HAM menjadi terdisrupsi pada keadaan di ujung tanduk, di satu sisi posisinya akan sangat terancam pada keadaan yang rapuh, di sisi lain posisinya terombang-ambing karena ketidakpastian upaya perlindungan, pemenuhan, dan penegakan HAM secara adil.
Lebih parahnya lagi lembaga peradilan juga menjadi terkooptasi karena dibenturkan dengan kepentingan-kepentingan nirmanfaat bagi rakyat, sehingga tidak heran apabila peradilan yang menjadi lembaga para pencari keadilan (justitiabelen) berubah menjadi lembaga penghancur keadilan (justice destroyer).
Dalam konteks Indonesia, pasca reformasi kondisi perlindungan HAM dalam peraturan perundang-undangan berangsur membaik dan bernuansa demokratis, meski dalam perkembangannya peraturan perundang-undangan bernuansa HAM tersebut semakin memudar—sebagaimana yang disaksikan saat ini.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut lantaran hukum—dalam arti perundang-undangan—kerap dioperasikan dengan cara yang salah, tidak hanya dari segi proses pembentukan regulasi (the rule making process) tetapi juga bermasalah dalam proses penegakan hukumnya (law enforcement process).
Meski jaminan perlindungan HAM telah termaktub secara komprehensif dalam UUD NRI 1945 tetapi kerap kali aturan turunannya dan praktik penegakan hukum masih banyak yang menciderai HAM. Sehingga yang terjadi tidak ada esensi keadilan di dalam hukum.
Sumber dari permasalahan tersebut tentu saja adalah kuatnya nuansa kebijakan politik yang berorientasi menguntungkan segelintir pihak saja, sehingga hukum digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan tersebut tanpa memperhatikan siapa yang akan menjadi dampak atas kepentingan tersebut, serta seberapa besar dampaknya bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sehingga yang menjadi korban atas kehausan kekuasaan tersebut adalah kelompok masyarakat rentan yang tidak memiliki kekuatan untuk membela diri serta tidak mampu mengakses keadilan secara memadai.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hukum terkesan inferior dan tidak berdaya menghadapi kekuasaan yang semakin korup, lembaga peradilan pun tidak bisa berbuat banyak menghadapi kekuasaan yang korup tersebut.
Malahan dalam beberapa kasus mekanisme persidangan dengan mudahnya diatur untuk membela penguasa yang korup, akibat yang terjadi adalah HAM menjadi terciderai, rasa keadilan menjadi sukar terwujud, dan bayang-bayang ketidakadilan akan terus merajalela.
Diskursus HAM tidak akan pernah selesai selama kepentingan manusia masih ada. Untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan pangan saja ada dimensi HAM. Kemudian bagi para penyandang disabilitas, anak, dan perempuan sebagai kelompok rentan juga perlu mendapat perlindungan hukum yang adil serta kemudahan akses dalam memperoleh kebutuhan hidup mereka secara memadai.
ADVERTISEMENT
Hal itu bisa diwujudkan apabila ada dimensi keadilan dalam peraturan perundang-undangan yang bernuansa HAM dan berperspektif pada kebutuhan kelompok rentan, ditambah lagi adanya perhatian dari pemimpin yang berpihak pada kepentingan kelompok rentan tersebut.
Sederhananya, supaya terwujudnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menempatkan HAM sebagai prinsip dasar, maka yang harus disinergikan adalah masyarakat itu sendiri (society), para pembuat kebijakan hukum (law policy makers), serta sistem peradilan yang independen dan imparsial (impartial and independent justice system) sebagai tempat pencari keadilan—dalam hal terdapat pencideraan HAM.
Saat ini kita perlu memaknai dan menanamkan pada diri sendiri bahwa HAM tidak akan pernah hilang dan berakhir dalam setiap arus perkembangan zaman.
Dimana kepentingan manusia masih ada untuk tetap hidup, disitulah HAM akan selalu ada dan tetap relevan sebagai sebuah pemikiran dan kebutuhan. HAM harus diwujudkan dalam tataran konkret, bukan sekadar retorika ataupun diskursus akademis saja, karenanya HAM bukanlah sekadar angan-angan melainkan kebutuhan yang harus diwujudkan dan memuat prinsip-prinsip yang harus dijalankan dengan semestinya.
ADVERTISEMENT
Namun, karena pentingnya konkretisasi HAM, bukan berarti hal itu menutup ruang diskusi-diskusi dan pengembangan pemikiran terkait HAM. Justru, praktik HAM harus dijustifikasi dengan pemikiran HAM, baik dari sisi akademik maupun justifikasi moralitas yang berangkat dari pemikiran (idea).
Semakin kompleksnya permasalahan HAM di era saat ini—khususnya HAM dalam konteks Indonesia—perlu dibicarakan secara akademis guna menghasilkan kebijakan di bidang HAM yang memiliki nilai guna dan hasil guna secara memadai.
Oleh sebab itu diskusi akademis masih perlu dilakukan untuk mengawal sejauh mana kebijakan HAM diterapkan dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karenanya membicangkan masalah HAM haruslah menjadi budaya kritis, khususnya di era kekinian pemikiran yang berasal dari lingkungan kampus, mengingat kampus adalah tempat yang merdeka untuk membahas segala persoalan akademis dan praktik HAM, utamanya masalah kekinian HAM yang terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemangku kebijakan (stakeholders) saat ini sudah semestinya melakukan penataan kebijakan HAM yang lebih baik dan berkeadilan sesuai dengan cita hukum (rechsidee) sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945, termasuk norma konstitusional yang tertuang dalam setiap butir pasal dan ayat UUD NRI 1945.
Dengan begitu yang harus ditata ulang (redesign) cukup kompleks, mulai dari segi dimensi filsofis dan paradigma hukum dalam memandang HAM, peraturan perundang-undangan bernafaskan HAM, aspek kelembagaan negara yang menjadi garda terdepan perlindungan dan penegakan HAM, hingga implementasi penegakan HAM di lapangan (law in action).
Konsep pemikiran tersebutlah yang perlu diterjemahkan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara yang berdampak pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Terlebih lagi saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada krisis penghargaan terhadap HAM, tidak ada lagi penghormatan dan perlindungan HAM, justru yang terjadi adalah penindasan HAM secara legalistik melalui produk hukum yang represif.
ADVERTISEMENT
Sehingga perlu ada penghidupan wacana-wacana publik guna mendesak para stakeholders supaya memperbaiki paradigma kebijakan pengakuan, perlindungan, penghormatan, penegakan, dan pemajuan HAM.
Tanpa melalui pendekatan paradigmatik, maka pembenahan kebijakan melalui instrumen perundang-undangan saja tidaklah cukup menyelesaikan kompleksitas persoalan di bidang HAM. Dengan membenahi pola pikir dan cara pandang (paradigma) terhadap HAM maka instrumen hukum lainnya akan turut mengikuti paradigma yang telah direkonstruksi tersebut.
Karena itulah pembenahan harus dilakukan dari akar-akarnya terlebih dahulu, baru kemudian membenahi instrumen penunjang seperti substansi peraturan perundang-undangan (legal substance) dan institusi penegak hukum (legal structure).
Rekonstruksi paradigma tidak hanya dilakukan oleh para stakeholder negara saja, melainkan juga bergantung pada bagaimana masyarakat memandang nilai dan prinsip HAM itu sendiri. Sebab masyarakatlah yang memiliki andil dalam menilai pembenahan terhadap kebijakan di bidang HAM itu bekerja.
ADVERTISEMENT
Masyarakat bukan sekadar sebagai objek perubahan, melainkan juga berperan sebagai subjek, yakni memiliki andil untuk mengubah paradigma terhadap kebijakan HAM. Oleh sebab itu perlu dibarengi pula dengan partisipasi masyarakat melalui penciptaan budaya hukum yang berorientasi pada perlindungan dan pemajuan HAM secara berkeadilan, yang disebut dengan budaya hukum (legal culture).