Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Wahiduddin Adams dan Warisan Integritas Mengawal Konstitusi
15 April 2024 17:10 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wahiduddin Adams secara resmi menanggalkan toga kebesarannya sebagai Hakim Konstitusi pada 17 Januari 2024 karena telah memasuki masa purna pengabdian di usianya yang ke-70 tahun. Ia telah mengabdikan dirinya sebagai Hakim Konstitusi hampir genap sepuluh tahun, terhitung sejak 21 Maret 2014.
ADVERTISEMENT
Bertahan menjadi Hakim Konstitusi selama itu tentu bukan perkara mudah, karenanya sebagai pengawal konstitusi pasti akan dihadapkan pada beragam perkara yang bersinggungan dengan keadilan konstitusional warga negara (citizen’s constitutional justice) sehingga harus diputus secara bijak dan hati-hati. Belum lagi, di lain sisi pasti muncul banyak godaan yang menguji "keimanan" terkait komitmen seorang Hakim Konstitusi untuk menjaga integritas dan kewibawaan.
Menjalankan semua kewajiban itu memang tidaklah mudah, akan tetapi pada akhirnya Wahiduddin Adams berhasil mengabdikan dirinya sebagai Hakim Konstitusi secara paripurna—dengan tetap menjaga integritas dan wibawanya dengan baik.
Wahiduddin Adams menjadi sosok pengadil yang konsisten mengajarkan arti negarawan yang selalu bersikap bijak, berintegritas, serta komitmen menjalankan amanat sebagai "wakil tuhan" di dunia. Karena ia pasti tahu setiap putusan yang akan ditetapkan bersama hakim konstitusi lainnya harus dipertanggungjawaban—secara moral, agama, hukum, dan sosial—sehingga sudah menjadi keharusan supaya setiap putusannya mencerminkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang bisa dirasakan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tentunya tidak dari segi isi putusannya saja, melainkan juga harus memastikan setiap tindak-tanduk dan tutur-katanya mencerminkan kepribadian seorang hakim yang memegang prinsip integritas, bermoral, serta negarawan yang berwibawa. Mengingat kualitas pribadi hakim akan menentukan kualitas putusan. Dengan begitu setiap putusan yang nantinya ditetapkan akan mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Hal lain yang membanggakan dari sosok Wahiduddin Adams di akhir masa pengabdiannya adalah ketika ia menjadi anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)—bersama dengan Prof. Jimly Asshiddiqie dan Prof. Bintan R. Saragih. Kala itu ia turut memeriksa dan mengadili berbagai laporan pengaduan atas pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memuat konstitusionalitas syarat minimal usia capres/cawapres.
Menjadi pengadil yang independen atas "pelanggaran etik" hakim konstitusi menurut pikiran kita pasti sulit dilakukan, terlebih saat itu Wahiduddin Adams juga berstatus Hakim Konstitusi yang turut memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sehingga pastinya sangat menguji "keimanan" terkait integritas dan independensinya.
ADVERTISEMENT
Namun, terbaca dari Putusan MKMK, Wahiduddin Adams berhasil menunjukkan profesionalitas dan independensinya dengan baik. Setidaknya dengan adanya Putusan MKMK memberikan secercah harapan untuk memulihkan kredibilitas MK yang sebelumnya berada pada titik paling rendah sejak MK berdiri. Dan dari situlah ada kontribusi sekaligus legacy positif dari Wahiduddin Adams yang tidak boleh kita lupakan.
Langkah Berani Dissenting Opinion
Tentu saja Wahiduddin Adams adalah sosok yang patut kita akui keberaniannya karena termasuk hakim konstitusi yang beberapa kali mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion ketika mengadili perkara judicial review. Bagi Wahiduddin Adams, berpendirian kuat untuk mempertahankan dissenting opinion atau pendapat berbeda agaknya bukan perkara mudah.
Menurut penelusuran, tercatat Wahiduddin Adams beberapa kali melakukan dissenting opinion terhadap perkara yang sangat intens menjadi perbincangan media dan mendapat perhatian luar biasa dari masyarakat. Pun tatkala ketika ia harus menjadi satu-satunya Hakim Konstitusi yang melakukan dissenting opinion karena tidak sepakat dengan rumusan amar putusan hakim mayoritas. Tak pelak, seringkali dissenting-nya diapresiasi masyarakat luas karena dianggap sejalan dengan kepentingan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya mencermati bobot alasan atau pertimbangan hukum (legal reasoning) sangat penting untuk mengetahui pendekatan hukum, teori, dan doktrin yang digunakan Hakim Konstitusi ketika memeriksa dan memutus perkara, terlebih dalam perkara judicial review. Ketika menelaah berbagai dissenting Wahiduddin Adams—baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan hakim konstitusi lainnya—terlihat kalau ia benar-benar mencerminkan sikap teguh pendirian yang berani berbeda pandangan dengan hakim mayoritas.
Memang dissenting opinion bukan soal benar salah, tetapi terbaca dari setiap pendapat berbeda Wahiduddin Adams terdapat sentuhan pendekatan teoritis dan perspektif hukum dengan takaran berbeda. Sehingga dissenting-nya itu menarik untuk dicermati. Dari berbagai putusan MK yang terdapat dissenting opinion Wahiduddin Adams, dalam perspektif akademis semuanya sangat menarik untuk dikaji. Namun karena keterbatasan, dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa dissenting opinion yang cukup bernas.
ADVERTISEMENT
Pertama, dalam Putusan No. 79/PUU-XVII/2019 perihal permohonan pengujian formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Dalam perkara ini delapan hakim konstitusi menolak untuk membatalkan revisi UU KPK. Tapi berbeda dengan Wahiduddin Adams, justru ia menjadi satu-satunya hakim konstitusi yang memiliki dissenting opinion supaya revisi UU KPK dinyatakan cacat formil dan batal demi hukum. Ia menilai revisi UU KPK “telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental”.
Revisi tersebut sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum spesifik, yakni hasil pemilu yang telah diketahui. Dari sini Wahiduddin menyadari bahwa singkatnya waktu revisi UU KPK sangat berpengaruh secara signifikan terhadap minimnya partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan kepada Pemerintah dan DPR.
ADVERTISEMENT
Begitu pula sorotannya mengenai penyusunan DIM RUU KPK yang sepertinya disiapkan dalam jangka waktu kurang dari 24 jam, Menurut penalaran yang wajar hal tidak masuk akal bisa dilakukan. Wahiduddin juga menilai bahwa revisi UU KPK memuat persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang cukup serius, sehingga sudah semestinya MK memutus untuk membatalkan revisi UU KPK.
Kedua, dalam Putusan Nomor 60/PUU-XVIII/2020 mengenai permohonan pengujian formil UU No. 3 Tahun 2020 (UU Minerba). Permohonan tersebut diajukan uji formil karena proses revisi UU Minerba dilakukan tidak transparan, melanggar prinsip prosedural pembentukan undang-undang, tidak melibatkan DPD, serta belum adanya pembahasan DIM, sehingga tidak dapat dikategorikan UU operan (carry over) dari DPR Periode 2014-2019 ke DPR Periode 2019-2024.
ADVERTISEMENT
Dalam Amar Putusan MK memutuskan menolak permohonan uji formil. Terhadap Amar Putusan itu ada tiga hakim konstitusi yang memiliki dissenting opinion, yaitu Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Saldi Isra.
Menariknya, dalam dissenting opinion ditemukan ada perbedaan pengaturan terkait “posisi pembahasan DIM” antara UU No. 15 Tahun 2019 (UU P3) dan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020. UU P3 mengharuskan “telah memasuki pembahasan DIM”, sedangkan Peraturan DPR menentukan “telah memiliki DIM”.
Apabila menafsirkan secara gramatikal serta implikasi yuridis yang ditimbulkan, tentu kedua pengaturan itu punya perbedaan yang jelas, dan seharusnya yang dipakai adalah UU P3 bukan Peraturan DPR. Dalam poin dissenting opinion lainnya juga terungkap fakta telah terjadi kesepakatan Pemerintah dan DPR yang menjadikan RUU Minerba sebagai RUU carry over, langkah itu hanya memenuhi salah satu syarat RUU carry over (menurut UU P3 ada dua syarat kumulatif).
ADVERTISEMENT
Dalam dissenting opinion dijelaskan masih belum ada pemenuhan persyaratan “pembahasan DIM” oleh anggota DPR Periode 2014-2019. Sehingga Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Saldi Isra menilai tidak ada keraguan untuk menyatakan pembentukan UU Minerba cacat formil karena anggota DPR Periode 2014-2019 belum sempat membahas RUU Minerba. Oleh karenanya mereka bertiga menilai seharusnya putusan MK menyatakan revisi UU Minerba batal dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ketiga, dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 yang berisikan permohonan pengujian materil UU No. 19 Tahun 2019 (UU KPK) perihal: (1) Pasal 29 huruf e terkait batas usia menjadi pimpinan KPK supaya diubah dari minimal “50 tahun” menjadi “50 tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK”; serta (2) Pasal 34 terkait masa jabatan pimpinan KPK supaya diubah dari yang semula “empat tahun” menjadi “lima tahun”. Amar Putusan MK menyatakan permohonan tersebut dikabulkan seluruhnya, serta memuat concurring opinion dan dissenting opinion.
ADVERTISEMENT
Menariknya, dissenting opinion terhadap Pasal 34 yang disampaikan empat Hakim Konstitusi, diantaranya: Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. Mereka berpendapat argumentasi yang dibangun pemohon sama sekali tidak menyinggung keterkaitan masa jabatan pimpinan KPK dalam konteks kelembagaan KPK. Padahal, menurut keempat Hakim Konstitusi itu, karakteristik independensi kelembagaan KPK tetap dijamin tanpa ada keterkaitannya dengan masa jabatan pimpinan.
Dalam dissenting opinion ini ada dua poin menarik yang bisa kita cermati, yaitu: (1) mengubah masa jabatan pimpinan lembaga negara semestinya dihubungkan dengan desain kelembagaan, bukan mengenai ketidakadilan atau perlakuan yang diskriminatif; serta (2) dalil permohonan terlalu menekankan pada kerugian hak dari pemohon karena diperlakukan secara tidak sama, dan justru tidak mempertimbangkan hak orang lain.
ADVERTISEMENT
Keempat Hakim Konstitusi merasa khawatir, apabila permohonan itu dikabulkan akan memantik permohonan serupa di kemudian hari. Padahal perlu disadari kebijakan menentukan masa jabatan pimpinan lembaga negara—sepanjang tidak ditentukan UUD NRI 1945—adalah kebijakan hukum terbuka yang merupakan domain kewenangan Pembentuk Undang-Undang (open legal policy).
Keempat, dalam Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang menguji formil UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja. Hasilnya MK memutuskan bahwa proses pembentukan UU No. 6 Tahun 2023 tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Terhadap Putusan itu ada empat hakim yang memiliki dissenting opinion, yaitu: Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.
Dalam perkara ini Wahiduddin Adams memiliki dissenting opinion tersendiri. Menurutnya, keputusan DPR memberikan persetujuan Perppu Cipta Kerja yang telah melewati “persidangan yang berikut” tidak bisa dibenarkan secara yuridis dan juga konvensi ketatanegaraan. Artinya DPR telah kehabisan waktu (run out of time) sekaligus kehilangan hak konstitusional untuk memberikan persetujuan penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU.
ADVERTISEMENT
Ia menilai persetujuan DPR terhadap Perppu Cipta Kerja tidak sejalan dengan landasan konstitusional yang diatur Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945. Untuk itu sudah semestinya UU No. 6 Tahun 2023 dinyatakan inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD NRI 1945 sekaligus Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam dissenting-nya, Wahiduddin Adams memberikan penutup yang sungguh epik, bahwa ketentuan pembentukan undang-undang menjadi penting untuk dipatuhi agar di masa mendatang—dalam konteks tindak lanjut dari penetapan Perppu—tidak terjadi lagi "permainan (akrobat) politik" yang dapat dilakukan oleh Presiden dan DPR secara kolaboratif ataupun yang dapat terjadi di antara Presiden terhadap DPR (dan juga sebaliknya).
Kelima, dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait pengujian materiil batas usia minimal capres/cawapres dalam UU Pemilu. Amar Putusan tersebut mengabulkan sebagian permohonan yang mengubah syarat pencalonan capres/cawapres. Putusan inilah yang sangat problematik hingga kemudian melatarbelakangi dibentuknya MKMK dengan salah satu anggotanya adalah Wahiduddin Adams—bersama demhan Prof. Jimly dan Prof. Bintan.
ADVERTISEMENT
Perkara ini menjadi perkara yang cukup menyita perhatian publik, karena diajukan ke MK ketika tahapan pemilu sudah berjalan dan diputuskan selang beberapa hari sebelum penutupan pendaftaran capres/cawapres. Publik banyak yang tidak setuju dengan isi Putusan itu karena disinyalir penuh kepentingan terselubung. Sampai-sampai ada tujuh laporan pengaduan atas dugaan pelanggaran etik Hakim Konstitusi. Hingga pada akhirnya perkara ini cukup mengganggu kredibilitas MK di mata masyarakat.
Dalam perkara ini Wahiduddin menjadi salah satu Hakim Konstitusi yang memberikan tukilan dissenting opinion dengan sangat bernas. Ketika membaca permohonan, sebetulnya perkara ini sangatlah ringan dan agaknya mudah untuk diselesaikan.
Dikatakan oleh Wahiduddin, “Secara yuridis dan teknikalitas sangatlah sederhana untuk diputus oleh Mahkamah, tetapi seolah-olah menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari terlalu besarnya dosis penggunaan aspek-aspek non yudiris yang secara kontekstual sulit dipungkiri sangat menyelimuti dinamika persidangan terhadap perkara ini.”
ADVERTISEMENT
Wahiduddin menilai sudah seharusnya MK menolak perkara ini. Ia pun sesungguhnya berupaya agar pertimbangan serta pilihan sikap MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini fokus pada konsepsi kemerdekaan kekuasaan kehakiman untuk “tidak melakukan sesuatu” yang dikenal dengan sebutan judicial restraint.
Karena itu adakalanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman diimplementasikan dalam bentuk “kemerdekaan untuk tidak melakukan sesuatu”. Dari pandangannya itu nampak Wahiduddin berusaha supaya MK tidak terlalu jauh mengurusi dapur Pembentuk Undang-Undang, karenanya MK harus menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu, dan secara tegas dirinya menilai supaya perkara ini ditolak.
Dedikasi Mengawal Konstitusi
Kelima dissenting opinion Wahiduddin Adams di atas telah mengajarkan arti penting dari jiwa kenegarawanan serta keharusan bagi Hakim Konstitusi untuk menjaga prinsip independen dan imparsial.
ADVERTISEMENT
Memang dissenting opinion bukan soal benar salah, tetapi dissenting opinion yang diuraikan Wahiduddin Adams telah menunjukkan betapa luasnya pemahaman dan kecermatannya dalam melihat realitas permasalahan konstitusional. Hakim yang kerap memimpin sumpah tersebut ketika sedang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara selalu cermat menggunakan prinsip, doktrin, dan teori hukum guna mencari kebijaksanaan hukum yang menurutnya benar.
Kehati-hatian dan kecermatan analisisnya ketika berseberangan dengan hakim mayoritas selalu dituangkan dalam dissenting opinion-nya dengan sungguh epik. Menurut saya hal itu dilakukan karena ia selalu melihat permasalahan konstitusional dari kacamata hukum yang lebih luas serta implikasi yuridis yang berpotensi besar menimbulkan ketidakadilan konstitusional (constitutional injustice). Konstruksi legal reasoning semacam itu selalu diuraikan dengan begitu tajam yang tetap didasarkan pada pendekatan teoritik dan kebijaksanaan hukum.
ADVERTISEMENT
Menariknya dari kelima perkara yang telah diulas sebelumnya, tiga diantaranya adalah uji formil (formeel toetsing). Dari ketiganya Wahiduddin tegas menyatakan supaya UU yang dijadikan objek pengujian dinyatakan batal. Apabila menyimpulkan dari berbagai dissenting-nya, ia berpandangan bahwa dalam pembentukan undang-undang tidak boleh ada satupun asas formil yang dilanggar/tidak dipenuhi.
Apabila ada satupun asas formil yang tidak dipenuhi, maka implikasi yang timbul undang-undang/perppu itu secara forma layak dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi. Berulang kali ia telah mengingatkan supaya prosedural pembentukan undang-undang dipatuhi oleh Pemerintah dan DPR utamanya keharusan menyerap aspirasi masyarakat.
Dari berbagai putusan terlihat bahwa setiap coretan pendapat hukumnya telah menggambarkan sosok Wahiduddin Adams yang patut dianggap negarawan yang bijaksana dan berwibawa. Ia adalah sosok yang tulus nan penuh dedikasi mengawal konstitusi. Setiap kali mengamati persidangan serta putusan yang dihasilkan, dirinya mencerminan hakim konstitusi yang berpendirian kuat dan berkarakter religius.
ADVERTISEMENT
Ketika mengamati setiap persidangan, sifat dan cerminan kepribadian itu sangat nampak sehingga bisa kita rasakan. Berlatarbelakang akademisi hukum yang pernah menjadi Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemkumham, setiap pertimbangan hukum yang dibuatnya penuh dengan bobot akademis sekaligus pengalaman praktis. Sehingga tidak heran ketika ia melakukan dissenting opinion seringkali mendapat penilaian positif dari masyarakat luas.
Memang dalam lima tahun terakhir, tidak sedikit undang-undang yang dilakukan judicial review di MK, utamanya uji formil. Dengan berbagai pendapat berbeda dari Wahiduddin Adams pada nyatanya telah memberikan warna tersendiri terhadap putusan MK yang banyak mengkritisi proses pembentukan undang-undang supaya sejalan dengan tertib hukum. Begitu pula ketika sedang menangani perkara yang mendapatkan perhatian luar biasa dari masyarakat, Wahiduddin Adams mampu mengamati permasalahan itu secara bijak bagaimana MK harus memutus.
ADVERTISEMENT
Dengan judicial activism yang tidak main-main, ia berusaha mencari jalan terbaik guna menentukan konstitusionalitas suatu undang-undang. Hal itu semata-mata sebagai bentuk pertanggungjawaban secara akademik serta nilai moralitas kepada masyarakat.
Ia meninggalkan legacy yang begitu berharga mengenai kebijaksanaan hukum serta nilai-nilai konstitusional yang seharusnya melingkupi kehidupan berbangsa dan bernegara. Wahiduddin Adams adalah hakim yang menginspirasi karena integritas sekaligus kecendekiawanannya. Semoga hal baik apapun yang ditinggalkan oleh Wahiduddin Adams saat menjadi Hakim Konstitusi dapat menjadi warisan berharga bagi Mahkamah Konstitusi selamanya.