Konten dari Pengguna

Makna Spiritual Kemerdekaan dan Peran Ulama

Erni Juliana Al Hasanah N
Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta
26 Agustus 2020 19:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erni Juliana Al Hasanah N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat, jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak terlepas dari peran tokoh agama (ulama) yang berperan dalam proses kemerdekaan, sebut saja seperti KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Ahmad Sanusi pendiri Al Ittihadul Islamiyah, KH. Abdul Halim pendiri Persatuan Umat Islam (PUI), dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Bahkan jauh sebelum itu ada Sultan Baabullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Fatahillah yang mengusir Portugis dari Batavia, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, dan lain-lain yang sepanjang zaman akan dikenang dalam sejarah Indonesia sebagai pahlawan yang penuh jasa.
Mereka adalah para ulama pada masanya yang berjuang mengusir penjajah sejak Portugis hingga Belanda dan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, para ulama seperti Ki Bagus Hadikusuma, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, Kahar Muzakkir, Agus Salim, dan lain-lain ikut membangun fondasi
Selain adanya tokoh-tokoh ulama yang menjadi penanda aspek spiritualitas dalam proses mengusir penjajah dari bumi nusantara. Pada saat proses awal pembentukan republik pun sarat dengan nuansa spiritual.
Sukarno, sebelum menjadi Presiden, dalam menentukan hari kemerdekaan, mengapa dipilih tanggal 17 Agustus? Karena menurutnya, itulah yang sesuai dengan jumlah rakaat salat dalam sehari. Begitupun pada saat mengusulkan lima dasar Pancasila landasannya sesuai dengan rukun Islam.
ADVERTISEMENT
Fakta-fakta ini membuktikan betapa besar makna dan tarikan spiritual dalam proses sejarah kemerdekaan republik Indonesia. Fakta yang tidak bisa dihilangkan atau dihapus. Tapi, dalam perjalanannya kemudian bisa saja muncul upaya-upaya untuk menihilkan atau setidaknya mengecilkan fakta-fakta ini. Keberhasilan atas upaya demikian sangat mungkin terjadi jika suatu saat umat Islam sendiri abai dengan perjuangan para pendahulunya.
Oleh karena itulah, dibutuhkan langkah-langkah nyata untuk tak sekadar mengenang para ulama pejuang, tapi lebih dari itu adalah adanya upaya yang nyata untuk melanjutkan peran mereka dengan cara memberikan kontribusi yang konstruktif bagi kemajuan bangsa.
Kontribusi nyata para ulama di era sekarang sangat dibutuhkan setidaknya untuk membantu pemerintah menyadarkan masyarakat, misalnya dalam hal mematuhi protokol kesehatan agar kita terhindar dari paparan virus corona yang hingga kini masih belum mereda –bahkan semakin mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Kontribusi ulama dalam penyadaran masyarakat penting untuk mencegah agar kegiatan-kegiatan keagamaan seperti salat jemaah dan perkumpulan-perkumpulan spiritual tidak menjadi arena (cluster) penyebaran corona.
Fungsi agama bagi masyarakat adalah untuk memberi ketenangan, bukan untuk mendatangkan kegelisahan. Keimanan pada Tuhan melahirkan ketenangan, bukan keresahan. Orang-orang Muslim yang gemar melampiaskan kegelisahan dan keresahan atas nama agama bukanlah Muslim yang sebenarnya. Dalam bahasa lain, mereka bukan orang-orang yang beriman. Orang beriman yang sejati adalah yang memberi ketenangan dan keamanan bagi lingkungannya.
Upaya yang ditempuh para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mengeluarkan fatwa bagaimana tata cara beribadah di era pandemi Covid-19 misalnya, adalah bagian dari cara untuk menenangkan umat. Banyak umat merasa tidak tenang karena harus meninggalkan salat berjemaah di masjid. Bahkan mau menunaikan ibadah haji pun tidak bisa karena pemerintah memutuskan tidak mengirim jemaah haji. Dengan adanya fatwa ulama, umat menjadi tenang. Tidak merasa bersalah walau tidak berjemaah. Tidak merasa berdosa walau mampu menunaikan ibadah haji tapi tidak bisa menunaikannya.
ADVERTISEMENT
Di era sekarang, peranan ulama dalam mengisi kemerdekaan sangat vital, dengan cara yang sesuai dengan kondisi umat dan perkembangan zaman. Hal ini penting mengingat sekarang ini banyak bermunculan ulama –atau lebih tepatnya ustaz—yang justru menarik semangat agama ke masa silam, ke era Nabi Muhammad empat belas abad silam dengan dalih ingin menghadirkan agama yang orisinal.
Niatnya baik tapi caranya yang tidak tepat. Mengapa? Karena agama membutuhkan interpretasi kontekstual agar mampu mengatasi persoalan kemanusiaan sesuai konteks zamannya. Kegagalan para ulama dalam mengatasi persoalan kemanusiaan akan menjadikan agama ditinggalkan umatnya. Fungsi ulama sebagai pewaris para Nabi bukan lantas menarik diri dari perkembangan dunia modern dengan alasan ingin kembali ke era Nabi.
Fungsi Nabi adalah pencerahan, yakni menyelamatkan umat dari kegelapan (kebodohan) menuju kecerahan (era ilmu pengetahuan). Ayat pertama yang difirmankan Allah kepada Rasul adalah perintah untuk membaca (iqra!). membaca adalah cara terbaik untuk belajar, menimba ilmu pengetahuan dan menambah wawasan.
ADVERTISEMENT
Agama harus diidentikkan dengan kemajuan. Ciri-ciri kemajuan adalah: (1) kemampuan beradaptasi; (2) kemampuan memecahkan masalah; (3) kemampuan menghadirkan hal-hal baru yang lebih baik; dan (4) kemauan untuk terus belajar. Agama harus mampu menjadikan para pemeluknya menjadi manusia-manusia pembelajar yang maju.
Menjadi manusia maju adalah kunci untuk meraih kemerdekaan. Merdeka dalam arti luas, menentukan nasib sendiri, tanpa ada ketergantungan pada pihak lain. Sebagaimana peran agama, peran ulama adalah untuk memajukan umat dengan menguasai beragam ilmu pengetahuan. Hanya dengan begitulah, umat bisa merdeka.
---------------------------------------------------------------------
Erni Juliana Al Hasanah Nasution
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta dan ITB AD Jakarta