Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilkada Melalui DPRD Tidak (Lagi) Demokratis
23 Desember 2024 16:23 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Erzad Kasshiraghi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana agar pemilihan kepala daerah atau pilkada Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD terus menguak belakangan ini. Terbaru pernyataan dari Presiden Pabowo Subianto yang kemudian dikonfirmasi oleh Mendagri Tito Karnavian bahwa memang benar wacana tersebut sedang dikaji oleh Pemerintah. Bak bola liar yang menggelinding ke gawang sendiri, wacana ini bisa saja menjadi “gol bunuh diri” bagi demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pilkada melalui DPRD sebenarnya bukanlah barang baru, pada akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono DPR dan Presiden pernah menerbitkan UU No. 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dimana UU tersebut mengatur pilkada dipilih melalui DPRD. Namun karena mendapat penolakan yang luas dari masyarakat, UU tersebut dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo yang pada waktu itu baru dilantik menjadi Presiden.
UUD 1945 memang tidak secara tegas mengatur sistem pilkada apakah dipilih langsung oleh rakyat atau melalui DPRD. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mengatur prinsipnya saja yaitu bahwa pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis. Sebagian ahli berpendapat bahwa ketentuan tersebut membebaskan Pemerintah untuk menentukan sendiri sistem pilkada apakah langsung atau melalui DPRD, berbeda dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memang secara tegas dinyatakan oleh UUD 1945 agar dipilih secara langsung oleh rakyat.
ADVERTISEMENT
Sebelum tahun 2005, pemilihan kepala daerah dipilih melalui DPRD. Boleh dibilang pada waktu itu pilkada melalui DPRD terasa demokratis karena masyarakat saat itu akrab dengan suasana demokrasi perwakilan dan belum mengenal sistem pemilihan secara langsung. Namun saat ini di titik dimana rakyat Indonesia sudah terbiasa dengan pemilu dan pilkada secara langsung, pilkada melalui DPRD apakah masih demokratis?
Berbagai ahli politik mengatakan bahwa pilkada melalui DPRD adalah demokratis karena proses pemilihannya melibatkan unsur rakyat yaitu wakil rakyat yang duduk di DPRD. Secara teoritis pendapat tersebut benar adanya akan tetapi dalam konteks demokrasi terkini di Indonesia, pilkada melalui DPRD tidak lagi menjadi pilihan yang demokratis, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) alasan mengapa pilkada melalui DPRD tidak lagi demokratis.
ADVERTISEMENT
I. Sosiologi Politik Masyarakat Indonesia Sudah Berubah
Sejak tahun 2004 Indonesia sudah memasuki tatanan baru dalam berdemokrasi. Diawali dengan pemilu pertama dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia dilanjutkan pada tahun 2005 pemilihan kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota juga dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dalam kurun waktu 19 tahun terakhir terhitung sejak pilkada langsung pertama pada tahun 2005 hingga pilkada serentak tahun 2024 setiap provinsi, kabupaten dan kota setidak-tidaknya telah 4 (empat) kali melaksanakan pilkada secara langsung. Dengan perkataan lain secara sosio-politik masyarakat Indonesia sebenarnya sudah terbiasa dengan suasana pilkada secara langsung. Masyarakat sudah terbiasa untuk datang ke TPS, mencontreng foto pasangan calon dan menyaksikan perhitungan suara oleh KPUD. Situasi berbeda apabila pilkada dilaksanakan melalui DPRD dimana masyarakat tidak lagi ke TPS untuk memilih dan tidak ada lagi perhitungan suara oleh KPUD karena seluruh proses pemilihan akan dilaksanakan oleh anggota DPRD di Gedung DPRD.
ADVERTISEMENT
Selain itu rezim pemilihan langsung membuat masyarakat menjadi paham bahwa mereka punya hak suara yang dapat digunakan untuk memilih pasangan calon yang menurut mereka baik atau menghukum untuk tidak memilih pasangan calon yang punya rekam jejak paling buruk (lesser evil). Dalam benak mereka pilkada atau pemilu ya mereka punya hak suara yang dapat mereka gunakan di TPS. Masyarakat tidak familiar lagi dengan sistem perwakilan melalui DPRD. Sistem pilkada secara langsung-lah yang mereka terima sebagai sistem yang demokratis. Merubah sistem pilkada kembali dipilih melalui DPRD tentu akan menghilangkan suasana demokratis yang dalam benak masyarakat hanya terdapat pada sistem pilkada langsung.
II. Potensi Calon Independen Tidak Mendapatkan Ruang Politik
Dalam pilkada Gubernur, Bupati dan Walikota terdapat calon non-partai atau calon independen. Tentu menjadi pertanyaan besar bagaimana calon independen ini bisa diakomodir dan bisa bertarung secar fair jika pilkada dipilih melalui DPRD.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui seluruh anggota DPRD berasal dari partai politik yang mana partai politik bisa mengusung pasangan calon yang berasal dari internal partai ataupun hasil koalisi dengan partai lain. Artinya peluang pasangan calon yang diusung oleh partai politik untuk menang lebih besar ketimbang calon independen karena pasangan calon yang diusung partai politik sudah memiliki basis suara di DPRD yang berasal dari anggota partainya berbeda dengan calon independen yang hanya bermodalkan dukungan dari masyarakat. Anggota DPRD tentu akan memilih pasangan calon yang diusung partainya atau koalisi, rasa-rasanya sulit logika kita mengatakan anggota DPRD yang notabene berasal dari partai politik akan memilih calon independen, apalagi anggota DPRD terikat dengan aturan-aturan partai baik secara ideologis ataupun “perintah” dari ketua umum.
ADVERTISEMENT
Untuk memenangkan pilkada di DPRD calon independen harus bisa meyakinkan partai-partai politik yang memiliki kursi di DPRD untuk memilih dirinya, tentu ini pekerjaan yang berat karena calon independen harus melobi partai-partai politik padahal sejatinya calon independen dihadirkan agar tidak terafiliasi dengan partai politik manapun.
Jika beban calon independen untuk memenangkan pertarungan pilkada di DPRD lebih berat ketimbang calon yang diusung partai politik atau koalisi partai politik maka tentu menjadi pasangan calon yang diusung partai politik lebih menarik daripada menjadi calon independen. Pada akhirnya calon independen tidak lagi mendapatkan ruang dalam panggung politik pilkada dan hal ini tidaklah demokratis.
III. Internal Partai-Partai Politik Tidak Demokratis
Pilkada melalui DPRD akan menguatkan pengaruh partai politik, siapa pemenang pilkada akan ditentukan oleh lobi-lobi partai-partai politik. Permasalahannya partai politik tidak lagi dipercaya oleh masyarakat akan menghasilkan produk yang demokratis, bukan karena masyarakat anti dengan partai politik melainkan karena didalam tubuh partai politik sendiri praktik-praktik monokrasi masih banyak terjadi. Ada partai yang ketua umumnya tidak pernah berganti, ada partai yang diwariskan kepada anaknya bahkan ada partai yang ketua umumnya baru dua hari bergabung langsung dilantik menjadi ketua umum. Tentu hal-hal seperti ini yang membuat masyarakat menjadi bertanya-tanya, bagaimana mungkin mengharapkan sistem pilkada melalui DPRD yang seluruh anggotanya berasal dari partai politik dapat berjalan demokratis jika di internal partai politik sendiri sistemnya tidak berjalan demokratis?
ADVERTISEMENT
Menurut Penulis demokratis atau tidaknya suatu sistem harus dilihat dari konteks ruang dan waktunya. Pilkada melalui DPRD boleh saja terasa demokratis pada masa lalu namun tidak lagi pada masa sekarang oleh karenanya perlu menafsirkan ulang makna “demokratis” yang terdapat pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 agar sesuai dengan konteks terkini poltik-hukum Indonesia.