Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Foto ini mungkin mengganggumu, apakah tetap ingin melihat?
Bagaimana Memori Masa Kecil Bikin Kita Jadi Pemerkosa dan Pelaku Kekerasan
21 Maret 2024 15:18 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Setiap kali ada yang bertanya bagaimana perkenalan saya dengan buku, saya selalu menyelipkan cerita ibu yang menginspirasi kami membaca. Mungkin kenapa buku, di satu sisi karena keterbatasan mainan (saya tumbuh besar di tahun 90-an) kemudian ibu juga membantu di gereja sebagai penjaga perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang saya ingat adalah sebelum buku-buku tersebut dipinjamkan, kami sudah terlebih dahulu membacanya. Salah satu seri buku yang menemani tumbuh besar saya adalah seri Rumah Kecil di Padang Rumput yang ditulis oleh Laura Ingalls Wilder. Laura Ingalls berasal dari keluarga pionir yang menjadi salah satu keluarga yang membuka lahan di Amerika. Selain perjalanan panjangnya perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, Laura kerap memasukkan perspektif budaya era dia hidup ke dalam kisah-kisahnya.
Laura Ingalls Wilder menulis beberapa judul buku, yaitu:
1. Rumah Kecil di Rimba Besar (1932).
2. Anak Tani (1933).
3. Rumah Kecil di Padang Rumput (1935).
4. Di Tepi Sungai Plum (1937).
5. Di Pantai Danau Perak (1939).
ADVERTISEMENT
6. Musim Dingin yang Panjang (1940).
7. Kota Kecil di Padang Rumput (1941).
8. Tahun-Tahun Bahagia (1943).
9. Empat Tahun.
10. Pengelana Rumah Kecil.
11. Dalam Perjalanan Pulang.
Tulisan-tulisan Laura Ingalls betul-betul hidup dan “menghidupi” masa kecil saya. Sampai-sampai sebegitu menghayatinya, saya dan kakak suka membandingkan dan membayangkan seolah-olah kami adalah Laura dan keluarganya. Tidak hanya itu, kami juga menganggap perspektif yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya sebagai kebenaran.
Di seri “Rumah Kecil di Padang Rumput”, Laura Ingalls menggambarkan bagaimana masyarakat pribumi Indian sebagai manusia yang tidak punya norma, adat, keji, dan kejam. Ada satu bagian dalam buku tersebut ketika orang Indian masuk ke rumah Laura Ingalls dan mengambil bahan makanan mereka.
ADVERTISEMENT
Imaji ketika Laura Ingalls harus bersembunyi di balik pintu kayu dan berusaha tetap diam tercekat, sementara sang ibu menghadapi orang-orang “liar” Indian tersebut, membayangi ingatan masa kecil saya. Sampai-sampai saya punya perspektif buruk tentang suku Indian yang notabene adalah penduduk asli benua Amerika.
Saya merasa tidak ada yang salah dengan buku yang ditulis oleh Laura Ingalls sampai saya mengikuti kelas Kajian Pascakolonial dan pengampunya menyebutkan kalau buku Laura berbau kolonialisme. “Tidaaaaaaaaaaaaaaaak jangan merusak memori masa kecil saya yang indah!!” Kalau bisa berteriak, saya akan meneriakkan kalimat itu. Tapi, sayangnya tidak bisa. Dan kalaupun bisa ya agak lebay saja.
Waktu terus berlalu, sampai akhirnya, baru-baru ini saya menemukan kembali seri buku tersebut di rak koleksi kakak saya. Keinginan membaca ulang membuncah dan saya pun membuka lembar demi lembar halamannya.
ADVERTISEMENT
Selain menemukan pecahan ingatan pembacaan masa kecil, saya juga menemukan perbedaan frekuensi ketika membaca buku tersebut sekarang. Ada beberapa hal yang menurut saya merupakan bentuk toxic yang diturunkan keluarga—dan sedihnya dari ibu.
Jadi, Laura Ingalls punya saudara perempuan. Di salah satu seri bukunya, ada yang menceritakan bagaimana sang ibu menyisir dan menggulung rambut kedua anak perempuannya. Kemudian, setelahnya, sang ibu meminta kedua anaknya tersebut bertanya ke bibinya, gaya rambut mana yang paling bagus. Gaya rambut Laura atau kakaknya.
Bah! Keluh saya dalam hati. Sejak kecil, anak perempuan sudah dibentuk untuk saling bersaing untuk memperebutkan perhatian—entah itu orang dewasa maupun lawan jenis. Kemudian, di beberapa bagian lain, terjadi penanaman nilai-nilai untuk anak perempuan di mana anak perempuan harus lemah lembut, berdiam diri, pintar berbenah rumah, tidak menunjukkan minat berlebihan dengan lawan jenis, serta segudang pengekangan lainnya.
ADVERTISEMENT
Ini membuat saya bertanya, “Apa yang sudah aku baca sejak kecil?”
Oh, ya, di bagian yang lain, ada penjelasan mengapa ibunya Laura melepas mimpinya menjadi guru karena bertemu dengan ayahnya dan hidup berpindah-pindah. Hidup perempuan berhenti setelah bertemu laki-laki, menjadi istri si anu, bukan perawan tua yang menghabiskan hidupnya bekerja di satu bidang tertentu. Kasihan banget…
Saya membayangkan, itu baru satu cerita yang “dicekoki” ke anak-anak. Apalagi ditambah cerita-cerita lain? Saya akan menyebutkan cerita relevan di zaman saya, seperti Disney dengan dongeng Putri Tidur, Beauty and The Beast, Cinderella, dan lain sebagainya.
Kemudian juga cerita rakyat kita juga kurang merepresentasi relasi yang setara. Justru perempuan kerap diobjektifikasi dan laki-laki yang punya power. Sebut saja, cerita Ande-Ande Lumut di mana tokoh perempuan di folklore tersebut harus menjaga kesuciannya supaya pangeran mau mempersunting. Atau Roro Jonggrang yang harus bersiasat menolak pinangan, dan buah dari siasatnya tersebut adalah kutukan menjadi candi.
ADVERTISEMENT
Ini kalau saya bilang seperti brain wash sejak dini. Pada akhirnya, pembiasaan dan kebiasaan menelan cerita dan bacaan yang timpang relasi demikian membuat kita salah memaknai relasi yang sesungguhnya seperti apa.
Makanya, tidak heran, kalau beberapa generasi tumbuh besar dewasa menjadi manusia yang bias gender. Menormalkan laku tidak normal dan menyalahkan gender tertentu untuk suatu keadaan. Aksi pemerkosaan yang akhir-akhir ini kita baca di media saya rasa bisa jadi adalah buah dari kesalahan perspektif sejak kecil. Ketika seorang anak dibesarkan di lingkungan yang tidak menghormati perempuan dan tidak menghargai pilihan perempuan, maka ketika terjadi suatu peristiwa yang meresahkan masyarakat, maka kesalahan akan ditimpakan pada perempuan.
Baru saja terjadi, seorang suami di Jember menyekap istrinya di kendang sapi karena sang istri tidak permisi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Sumatera. Mirisnya, sebagian komentar yang saya baca menyudutkan si istri.
ADVERTISEMENT
“Mungkin jual diri…”
“Enggak permisi, sih, enggak menghargai suami…”
Dan lain sebagainya, kalian bisa cek sendiri di media sosial, bagaimana netizen bertindak seperti si paling tahu.
Terus, kalau sudah begini, budaya bias gender dan menyalahkan korban ini salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue? Mau gimana ya gaes, walaupun sebenarnya skeptis juga, tapi saya cuma bisa memberikan saran untuk dipertimbangkan; hati-hati dengan bacaanmu, waspadai media yang kamu konsumsi.