Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Begini Susahnya Mendapatkan Air di Bea Muring, Yakin Masih Tega Buang-Buang Air?
6 Oktober 2018 7:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Evrina Budiastuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya selalu sedih ketika melihat sesuatu terbuang percuma. Misalnya pemakaian listrik secara berlebihan, air yang terbuang dari keran yang lupa ditutup setelah digunakan, atau pemakaian kertas yang juga berlebihan sehingga banyak kertas terbuang.
ADVERTISEMENT
Karena apa? karena semuanya berasal dari energi, ada yang terbarukan dan ada yang tidak terbarukan. Meskipun energinya dapat diperbaharui, tetapi untuk memperolehnya membutuhkan waktu cukup lama. Jika kita tidak bijaksana dalam pemakaian semua sumber energi tersebut, maka akan terbuang secara sia-sia.
Nah ini yang masih saya temukan dalam kehidupan sehari-hari yaitu belum bijak dalam pemakaian energi, salah satunya di kantor tempat saya bekerja. Seringkali saya melihat keran air di toilet berada dalam kondisi terbuka sehingga banyak air yang terbuang lantaran bak sudah penuh. Entah karena memang lupa menutup keran tersebut atau memang sengaja untuk memenuhi bak kamar mandi lalu lupa menutupnya, yang pasti air tersebut jadi terbuang percuma.
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala ketika melihat kondisi tersebut, lalu berusaha menyampaikannya kepada rekan kantor termasuk office boy agar tidak lupa menutup keran air. Tetapi nyatanya kejadian tersebut masih saja saya temukan meskipun sekarang intensitasnya sudah cukup berkurang.
ADVERTISEMENT
Andai saja semua orang dapat melihat begitu susahnya daerah lain mendapatkan sumber air, saya yakin deh mereka dan kita semua akan sangat sayang sekali dengan air sehingga berusaha menggunakannya secara bijak.
Paling tidak itulah yang saya rasakan ketika melihat masyarakat di Bea Muring, Nusa Tenggara Timur yang setiap harinya berjuang demi mendapatkan sumber air bersih.
Daerah Bea Muring sebenarnya merupakan dataran tinggi yang terletak di 1300 mdpl dengan topografi perbukitan. Sayangnya meski berada di daerah dingin dengan sejumlah pepohonan, tidak menjadikan daerah ini tetap memiliki sumber daya air di musim kemarau. Debit air di daerah ini termasuk kecil apabila musim kemarau tiba, sehingga para warga harus berlomba-lomba mendapatkan sumber air bersih dari mata air yang ada.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan sumber air dari sungai? Sewaktu berada di sana, saya melihat kalau keberadaan sungai cukup jauh dari area penduduk. Apalagi sungai juga digunakan sebagai energi PLTMH atau pembangkit listrik tenaga mikro hidro yang menjadikan air sungai sebagai energi penggerak turbin. Sehingga lagi-lagi, mata air menjadi sumber pengharapan bagi masyarakat Bea Muring di musim kemarau.
Hampir setiap harinya mereka mengambil air bersih menuruni daerah yang lebih rendah guna mendapatkan mata air. Contohnya Ibu Yanita, seorang petani sayuran yang setiap hari harus bolak-balik mengambil air bersih dengan menggunakan dirigen. Dia harus turun melewati medan yang cukup lumayan menghabiskan energi dan naik kembali sambil membawa 8 buah dirigen air untuk kebutuhan sehari-hari termasuk menyirami tanamannya.
ADVERTISEMENT
Satu dirigen berkapasitas 5 liter air. Apabila dikalikan maka Ibu Yanita harus membawa 80 liter air sekali jalan dalam kondisi medan yang terus menanjak. Untuk mengisi satu buah dirigen, membutuhkan sekitar 1.5 menit. Maka untuk mengisi delapan dirigen membutuhkan waktu kurang lebih 12 menit. Belum lagi ditambah dengan perjalanan naik turun dari dan ke sumber mata air dan ditambah juga dengan perjalanan pulang pergi ke rumah, tentu sudah menyita waktu tersendiri setiap harinya.
Ibu Yanita ikhlas menjalani kondisi tersebut. Dia tetap menanam sayuran meski kondisi sedang musim kemarau. Semua itu dia lakukan selain untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga agar demi cucu kesayangannya tetap bisa menikmati sayurannya.
Perlu kita ketahui bahwa sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak dalam penggunaan air sebesar 70% karena memang hampir seluruh kegiatan budidayanya dari awal penanaman hingga menjelang panen sangat membutuhkan air. Makanya saya salut sekali dengan Ibu Yanita yang tetap berjuang menanam meski sumber air sangat minim.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Ibu Yanita, keluarga Bapak Lauren yang menjadi tempat saya tinggal selama berada di Bea Muring masih lebih baik meski sama-sama mengandalkan sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Rumah Bapak Lauren dekat sekali dengan sumber mata air. Keluarganya hanya cukup menuruni jalanan yang agak datar untuk membawa air bersih dengan menggunakan dirigen. Apalagi sumber mata air di sana debitnya cukup besar dan cenderung lebih bersih sehingga warga dapat mencuci baju atau mandi di sana secara langsung.
Melihat kondisi tersebut, apakah masih tega untuk membuang-buang air?
Kalau saya pribadi tentu tidak tega. Bahkan setiap melihat air, saya langsung teringat dengan perjuangan masyarakat di Bea Muring yang begitu sulitnya untuk mendapatkan air. Apalagi air menjadi sumber energi untuk menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik sehingga sangat terasa sekali bahwa air adalah sumber vital kehidupan yang wajib dijaga kelestariannya.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari kondisi tersebut, semoga kita semua menjadi lebih bijak dalam pemakaian air karena tanpa air maka kehidupan ini akan punah.