Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Senyuman Anak-Anak Bea Muring Membuktikan Bahwa Keterbatasan Bukan Penghambat Kreativitas
6 Oktober 2018 9:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Evrina Budiastuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Bagus nak, lanjutkan ya!” celetuk seorang teman saat kami melewati sekelompok anak kecil Bea Muring yang sedang asik bermain di tanah lapang.
ADVERTISEMENT
Saya dengan sembilan orang lain yang tergabung dalam Sobat Air Ades saat itu sedang berjalan menuju kebun sayur organik yang dikelola oleh kelompok tani di Bea Muring. Kemudian kami melihat ada sekelompok anak kecil sedang asik bermain dengan cerianya.
Seketika itu juga kami sepakat bahwa sudah sepatutnya orang tua di Bea Muring ini bersyukur lantaran anak mereka tidak terpapar penggunaan smartphone. Coba deh kalau mereka sudah kenal dengan smartphone, bisa jadi mereka yang tadinya tertawa bahagia tiba-tiba berubah menjadi anak yang sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Tidak ada permainan tradisional, tidak ada senda gurau, berganti dengan kebisingan suara dari sebuah smartphone.
Itu juga yang mungkin menjadikan anak-anak di Bea Muring begitu manis dan ramah. Jika mereka kami sapa, mereka akan menjawab dengan senyuman sambil berjabat tangan. Ini lho yang agak susah ditemukan di perkotaan. Tidak semua anak kecil mau menjawab salam bahkan mau tersenyum ketika disapa oleh orang asing. Padahal anak-anak di Bea Muring ini hidup di tempat dengan fasilitas terbatas namun masih tetap dapat berkreativitas.
ADVERTISEMENT
Selama dua hari berada di Bea Muring, saya sengaja keluar di pagi hari dan berdiri di pinggir jalan untuk melihat anak-anak yang berangkat ke sekolah. Ada yang berpakaian lengkap menggunakan seragam, tas, dan sepatu sekolah. Ada juga yang hanya menggunakan alas kaki berupa sandal jepit saja.
Lagi-lagi di perkotaan tidak ada yang seperti ini, hampir semua fasilitas yang diterima anak-anak sekolah sudah lengkap bahkan transportasinya. Kalau anak-anak di Bea Muring ini harus berjalan kaki menuju sekolah yang letaknya berada lebih di atas lagi.
Ada yang membuat saya terenyuh ketika melihat anak-anak sekolah ini, yaitu mereka pergi ke sekolah sambil membawa dirigen atau ember berisi air. Bea Muring memang sedang dilanda kekeringan sehingga anak sekolahpun diminta membawa air untuk digunakan di sekolah. Nanti setelah pulang dari sekolah, mereka juga harus membawa dirigen atau ember berisi air lagi untuk keperluan di rumah.
Luar biasa ya perjuangannya, dalam satu jalan kedua hal penting dapat terpenuhi: mendapatkan pendidikan dan kerja sama dalam memenuhi kebutuhan air.
ADVERTISEMENT
Semua keterbatasan fasilitas yang dihadapi oleh anak-anak Bea Muring ini tidak membuat mereka lantas berkecil hati. Mereka tetap dapat berkreativitas layaknya anak-anak di daerah lain.
Hal ini terbukti dari ciamiknya penampilan seni yang mereka persembahkan pada malam culture festivaI yang digelar di aula gereja Bea Muring. Ada yang menampilkan tarian khas daerah, bernyanyi, hingga menampilkan drama yang menggugah emosi meski saat itu pertunjukan semakin malam.
Saya berpikir, bagaimana bisa mereka dapat berkreasi di tengah-tengah keadaan seperti ini?.
Ternyata kuncinya adalah iklhas, mereka bersyukur, dan secara bersama-sama bergotong-royong menyelesaikan permasalahan yang ada. Termasuk juga dengan anak-anak, dengan senyum manisnya, mereka telah mengubah keterbatasan menjadi pemacu untuk tidak tertinggal dan terus maju.
ADVERTISEMENT
Meskipun berada di daerah tinggi yang sangat jauh dari kota, mereka telah membuktikan bahwa keterbatasan fasilitas bukanlah halangan untuk berkreativitas. Sebuah pelajaran berharga yang saya dapatkan dari anak-anak di Bea Muring yang tersenyum ikhlas menghadapi dunia.