Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memahami Kompleksitas Manusia di Era Modern
2 Desember 2024 18:16 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari ewia ejha putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah arus modernitas, manusia sering kali dihadapkan pada tantangan untuk memahami diri sendiri dan orang lain. Kehidupan sehari-hari yang dipenuhi oleh media sosial dan interaksi digital menciptakan gambaran tentang manusia yang sering kali jauh dari kenyataan. Kita hidup dalam masyarakat yang cepat menghakimi, di mana sebuah unggahan atau komentar dapat membentuk persepsi tentang seseorang. Namun, bisakah kita memahami manusia hanya dari apa yang mereka tunjukkan di permukaan? Jawabannya tentu tidak sesederhana itu.
ADVERTISEMENT
Manusia sebagai Makhluk Multidimensional
Manusia adalah entitas yang tidak bisa dirangkum dalam satu definisi atau perspektif tunggal. Mereka adalah makhluk multidimensional yang selalu berada dalam proses pembentukan diri. Psikologi menyebutkan bahwa setiap individu memiliki pengalaman, motivasi, dan emosi yang unik, yang membentuk siapa mereka sebenarnya. Dalam filsafat, konsep ini diperkuat oleh pandangan para pemikir besar seperti Immanuel Kant dan Martin Heidegger.
Immanuel Kant, misalnya, menekankan pentingnya melihat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar sarana untuk memahami sesuatu yang lain. Sementara itu, Heidegger menggambarkan manusia sebagai *Dasein*, makhluk yang selalu "menjadi" dan tidak pernah berhenti berkembang. Artinya, manusia tidak pernah statis; mereka adalah hasil dari pengalaman masa lalu, kondisi saat ini, dan harapan masa depan.
ADVERTISEMENT
Pengaruh Media Sosial terhadap Persepsi Manusia
Dalam era digital, media sosial telah menjadi ruang utama untuk menampilkan diri. Sayangnya, ruang ini sering kali hanya menunjukkan sisi tertentu dari seseorang, bukan gambaran yang utuh. Sebuah unggahan bahagia, misalnya, bisa saja menutupi perjuangan dan kesulitan yang tidak terlihat. Hal ini menciptakan ilusi bahwa kehidupan seseorang sempurna atau sesuai dengan standar tertentu.
Kritik terhadap fenomena ini banyak disampaikan oleh para ahli, termasuk sosiolog dan psikolog. Mereka memperingatkan bahwa persepsi yang terbentuk dari media sosial cenderung dangkal dan tidak akurat. Apa yang tampak di layar hanyalah "kulit luar" dari individu, yang sering kali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya mereka rasakan atau alami.
Mengapa Kita Harus Melihat Lebih Dalam?
ADVERTISEMENT
Menghakimi manusia berdasarkan penampilan luar atau opini umum adalah tindakan yang tidak adil. Setiap individu memiliki cerita yang unik, penuh dengan nuansa yang tidak selalu bisa dipahami oleh orang luar. Untuk benar-benar memahami seseorang, kita perlu melampaui apa yang tampak di permukaan.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Carl Rogers, seorang tokoh besar dalam psikologi humanistik, "Untuk benar-benar memahami seseorang, kita harus berjalan di dunianya seakan-akan itu adalah dunia kita sendiri." Ini berarti kita harus membuka diri untuk mendengarkan, menghormati, dan menghargai pengalaman individu lain tanpa prasangka.
Membawa Empati ke Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Empati adalah kunci untuk memahami manusia secara lebih utuh. Dengan berusaha memahami orang lain dari sudut pandang mereka, kita tidak hanya menjadi lebih bijaksana tetapi juga membantu menciptakan hubungan yang lebih bermakna. Empati memungkinkan kita untuk melampaui penilaian dangkal dan melihat manusia sebagai makhluk yang kompleks dan unik.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, penting untuk mengingat bahwa manusia bukanlah hasil dari satu tindakan, satu postingan, atau satu opini. Mereka adalah perpaduan dari banyak hal yang tidak selalu terlihat. Oleh karena itu, marilah kita berhenti terjebak dalam penilaian instan dan mulai menghargai kompleksitas manusia.
Penutup
Manusia adalah makhluk yang penuh lapisan, cerita, dan pengalaman. Tidak ada satu cara untuk sepenuhnya memahami mereka, apalagi melalui gambaran yang terbatas seperti unggahan di media sosial atau opini orang lain. Untuk menjadi masyarakat yang lebih inklusif dan bijaksana, kita perlu membuka diri untuk memahami orang lain secara lebih mendalam.
Seperti kata pepatah, "Jangan nilai buku dari sampulnya." Marilah kita melihat lebih dalam, mendengarkan lebih saksama, dan menghargai bahwa setiap manusia adalah sebuah dunia yang menunggu untuk dipahami.
ADVERTISEMENT