Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mempertanyakan Keberlanjutan Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA
15 Agustus 2020 7:36 WIB
Tulisan dari Fadhli Espece tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak muakkah kita saban tahun sejak 2005 terus membicarakan hal-hal yang sama? Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang telah disepakati bersama oleh pihak Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka seharusnya sudah tuntas direalisasikan di tahun-tahun awal pascapenandatanganannya. Tapi faktanya sudah 15 tahun rakyat terus dicekoki hal-hal yang serupa, berulang-ulang, tanpa perubahan kecuali pembonsaiannya.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan penulis, Nota Kesepahaman MoU Helsinki telah mengalami wanprestasi. Paling tidak, ada tiga indikator wanprestasi. Indikator wanprestasi pemerintah ditunjukkan dengan tidak melaksanakan apa yang telah dijanjikan dalam MoU Helsinki. Lalu, ada janji yang dilaksanakan, tapi tidak sebagaimana mestinya. Hematnya, lain yang dijanjikan lain pula yang dilaksanakan. Selain itu, bentuk wanprestasi pemerintah adalah melaksanakan apa yang diperjanjikan tidak dalam waktu yang telah disepakati (terlambat).
Hal ini terlihat jelas dari bagaimana tindak lanjut pemerintah terkait jaminan terhadap hak-hak korban konflik, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), pengadilan HAM, kewenangan hutang luar negeri dan suku bunga sendiri, pembagian hasil alam Aceh, tapal batas Aceh yang merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956, dan berbagai persoalan lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.
ADVERTISEMENT
Semua ini dapat dimasukkan dalam kategori sengketa dan pelanggaran terhadap nota kesepahaman. Dalam MoU Helsinki, semua sengketa yang terjadi antar pihak yang bertikai akan diselesaikan melalui Aceh Monitoring Mission (AMM). Namun, apa lacur, AMM sudah dibubarkan pada 15 Desember 2006. Lantas, selaku pihak yang dirugikan, apa yang dilakukan Pemerintahan Aceh dalam menghadapi persoalan ini?
Pada tahun 2019 lembaga legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah membentuk tim kajian untuk mengadvokasi MoU Helsinki dan UUPA berdasarkan Keputusan Pimpinan DPRA Nomor: 16/PMP/DPRA/2019 tanggal 1 Maret. Tim ini terdiri dari unsur akademisi dan ahli yang berjumlah 13 orang dan juga dari unsur pimpinan dan anggota DPRA yang berjumlah 17 orang. Sehingga total kesuluruhan tim kajian dan advokasi MoU Helsinki dan UUPA berjumlah 30 orang.
ADVERTISEMENT
Tapi sampai hari ini rakyat sama sekali belum mendengar hasil konkret dari 30 orang dalam tim yang telah dibentuk tersebut. Masyarakat berhak mengetahui apa saja butir MoU yang telah berhasil diadvokasi oleh tim yang telah dibiayai dengan menggunakan uang rakyat tersebut.
Di samping itu, kita juga tidak tahu apakah tim kajian dan advokasi MoU dan UUPA memiliki akses komunikasi yang intens dengan Crisis Management Initiative dan Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa selaku mediator perdamaian dan penanggungjawab atas penyelesaian sengketa MoU.
Sangat banyak persoalan yang perlu diterangkan kepada publik agar rakyat tidak lagi menjadi korban musiman setiap tanggal 15 agustus. Tim Kajian dan Advokasi yang telah dibentuk ini terkesan stagnan dan belum memiliki progres yang signifikan dalam usaha merealisasikan butir-butir MoU Helsinki.
ADVERTISEMENT
Kini waktunya telah tiba bagi rakyat untuk mempertanyakan kembali keberlanjutan tim kajian dan advokasi tersebut. Kita perlu bertanya, setelah mengkaji dan melakukan advokasi yang hasilnya belum berhasil lalu apa langkah selanjutnya? Jika tim yang terhormat ini masih jalan di tempat, kepada siapa lagi rakyat akan berharap?