Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Partai Aceh Tidak Harus Usung Muallem Sebagai Calon Gubernur
1 Juni 2020 14:59 WIB
Tulisan dari Fadhli Espece tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembicaraan terkait pilkada Aceh tahun 2022 semakin menguat setelah adanya pertemuan para petinggi dua pertai lokal di Aceh, Partai Aceh (PA) dan Partai Nanggroe Aceh (PNA) beberapa waktu yang lalu. Dua partai yang lahir dari rahim Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini disinyalir akan berkoalisi untuk memperebutkan kursi Aceh 1 dan Aceh 2 pada pilkada 2022 mendatang.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini ada sinyal bahwa Muzakkir Manaf (Muallem) akan digadang sebagai kandidat kuat untuk calon gubernur Aceh. Selain itu juga telah muncul beberapa nama kandidat lain yang mungkin ikut bertarung seperti M Nasir Djamil, Muhammad Nazar, incumbent Nova Iriansyah bahkan sampai nama Haji Uma juga sempat disebut akan ikut berpartisipasi dalam memeriahkan kontestasi pilkada 2022 mendatang.
Oleh karena itu, saya menilai Muallem sebagai pemimpin perjuangan Aceh di masa lalu tidak perlu terjun langsung ke dalam arena pertarungan lima tahunan tersebut. Muallem sebagai pemimpin tertinggi di Partai Aceh sekaligus bagi seluruh eks-kombatan GAM yang kini tergabung dalam Komite Peralihan Aceh (KPA) seharusnya bisa menempatkan orang kepercayaannya yang memiliki kualifikasi yang layak untuk kepemimpinan Aceh di masa depan.
ADVERTISEMENT
Partai Aceh sama sekali tidak kekurangan orang, banyak kader partai yang cakap dan memiliki track record bagus yang pantas mendapatkan restu Muallem dan Partai Aceh untuk merebut kursi Aceh 1. Aceh sedang membutuhkan seseorang yang memang politisi handal dan juga jago berdiplomasi. Tokoh sekaliber Muallem, semestinya tidak harus terjun langsung dalam dinamika percaturan politik dan penyelenggara pemerintahan. Pemimpin politik tidak selamanya harus terlibat dalam jabatan struktural pemerintahan.
Muallem adalah tokoh Aceh yang selalu mendapat sorotan. Suara Muallem selalu didengar meskipun jabatan pemerintahan tidak melekat dalam genggamannya. Saya teringat, ketika setahun yang lalu Muallem menggulirkan wacana referendum kepada publik yang kemudian langsung direspon cepat oleh Jakarta. Sebelumnya, Saya juga melihat langsung bagaimana hormat dan segannya seorang Mahfud MD--yang kini menjadi Menkopolhukam--kepada Muallem setelah statement 'Provinsi Garis Keras' direspon oleh Muallem.
ADVERTISEMENT
Muallem adalah simbol perjuangan Aceh di basis akar rumput. Ia adalah sosok yang disegani dan dihormati oleh rakyat dengan segala kharismanya. Maka, menggadaikan wibawa seorang panglima dengan kekuasaan jangka pendek justru sangat merugikan Muallem secara pribadi dan KPA/PA secara kelembagaan. Sosok Muallem harus terus dijaga harkat dan martabatnya. Muallem memang sedang dalam posisi sulit di tengah bisikan-bisikan yang menggiurkan. Tidak mudah untuk mengontrol pikiran dan melawan arus utama.
Di tengah krisisnya kepemimpinan Aceh akhir-akhir ini, Muallem perlu berfikir untuk menjadi pemersatu bagi seluruh elemen di Aceh dengan melampaui kepentingan kelompok dan ego sektoral. Ada hal lebih penting yang perlu ditangani Muallem selain jabatan kepala pemerintahan. PR besar itu adalah rekonsiliasi akbar di internal Aceh yang lama sudah tercerai-berai. Aceh telah lama kehilangan sosok yang mempersatukan. Tugas mulia ini sesungguhnya lebih "menakutkan" daripada memegang kendali roda pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, Partai Aceh harus mengambil pelajaran atas apa yang telah menimpa Irwandi Yusuf di tahun 2018 silam. Kita tidak dapat membaca masa depan. Hanya masa lalu yang bisa gunakan untuk bercermin. Jangan sampai apa yang sudah terjadi pada Teungku Agam akan terulang dengan kisah yang serupa pada Muallem. Ini yang sangat kita khawatirkan selaku rakyat Aceh. Jika sampai itu terjadi, maka tamatlah riwayat perjuangan dan wibawa yang selama ini telah membersamainya. Bargaining dan harga diri Aceh di mata orang luar seketika akan runtuh, karena di mata Jakarta, Muallem adalah simbol lex specialis Aceh pasca MoU Helsinki.