Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menanti Sungai yang Bermartabat di Jakarta
5 Mei 2017 11:37 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Fadjriah Nurdiarsih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kedudukan Jakarta sebagai ibu kota sangat bersejarah. Di kota yang hampir berumur 500 tahun ini, berbagai peristiwa penting terjadi. Mulai dari berdirinya kantor dagang Pemerintah Hindia Belanda (VOC), perebutan kekuasaan, dikumandangkannya proklamasi, berkobarnya revolusi, hingga perjanjian pengakuan kedaulatan. Karena itu, memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya—sebagaimana yang ramai diisukan belakangan ini—adalah hal yang mustahil. Sebab, itu berarti rakyat Indonesia mengkhianati sejarah.
ADVERTISEMENT
Jakarta berkembang sangat pesat sejak 17 Agustus 1945. Pembangunan terus-menerus dilakukan. Jalan-jalan dibangun, pasar-pasar dan mal didirikan, gedung-gedung tinggi bermunculan, dan kampung-kampung dipercantik. Sebagian untuk memenuhi terciptanya standar Jakarta sebagai ibu kota negara. Namun efek sampingnya, pembangunan itu telah mengubah kondisi sosial budaya masyarakat DKI Jakarta.
Semakin berkembangnya Jakarta sebagai rural urban atau kampung kota, tradisi-tradisi luhur masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Kota Jakarta terpinggirkan. Sudah jarang kita temui masyarakat dengan ramah bertegur sapa tanpa rasa cemas karena kini minuman keras dan narkoba merajai anak muda. Bahkan, pemandangan anak-anak kecil yang berbaris menuju langgar untuk mengaji usai Magrib menjadi sangat langka.
Interaksi antar warga menjadi sangat kurang karena terbelenggu tembok tinggi. Halaman dan kebun yang menjadi tempat berlarian kini hilang akibat berkurangnya lahan terbuka hijau. Namun yang paling menyedihkan, masyarakat Jakarta lupa akan asal-usul jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari sungai.
ADVERTISEMENT
Penelitian sejarah yang dilakukan oleh Dinas Kepurbakalaan DKI Jakarta, seperti diungkapkan arkeolog UI Hasan Djafar beberapa waktu lalu, menunjukkan sudah ada kehidupan di sepanjang Kali Ciliwung sejak 5000 tahun yang lalu. Manusia prasejarah inilah yang dipercaya sebagai penduduk asli atau pribumi Jakarta, yang di kemudian hari kawin dan bercampur hingga membentuk suku bangsa baru yang disebut sebagai Betawi.
Selain itu, pada masa sekarang pun kita dapat menemukan adanya jejak penduduk asli Jakarta sebagai masyarakat maritim pada tradisi nyadran alias sedekah laut yang masih dilakukan oleh penduduk di daerah Angke dan sekitarnya.
Salah satu bukti orang Betawi adalah masyarakat sungai terlihat dari banyaknya mitos dan cerita rakyat yang berkaitan dengan buaya, seperti “Nenek Jenab dan Buaya Buntung” atau “Legenda Buaya Putih di Kali Bekasi”. Bahkan, dalam upacara perkawinan khas Betawi pun terdapat roti buaya sebagai syarat seserahan. Diibaratkan, laki-laki Betawi akan bersikap setia sebagaimana buaya sungai yang hanya menikah satu kali sepanjang waktu.
ADVERTISEMENT
Namun kini, lihatlah kondisi sungai di Jakarta. Kotor, penuh sampah, mengundang penyakit, dan berbau. Hal ini berbanding terbalik, misalnya, dengan potret-potret indah Kota Batavia zaman dulu pada abad ke-19. Ketika itu kita bisa menemukan perempuan-perempuan pribumi mencuci baju di pinggir sungai, sementara anak-anak mereka sambil telanjang melompat dengan penuh kegembiraan ke dalam sungai.
Bahkan di bagian sungai yang dekat dengan laut, kapal-kapal kecil yang mengangkut sutera Cina masih bisa berlayar. Hingga di tahun 1950-an, sungai Jakarta masih bersih dan menjadi tempat ekosistem berbagai jenis ikan. Seorang kakek berusia 70 tahun, Pak Nadi, berkisah pada masa mudanya ia sering menyusuri sungai Ciliwung dari rumahnya di Menteng Tenggulun untuk berburu ikan. Kadang-kadang ia memancing, menangkap ikan dengan tangan, atau menangkapnya dengan jala.
ADVERTISEMENT
Sungai di Jakarta pada masa kini adalah mimpi buruk. Saat musim hujan ia meluap dan menimbulkan banjir, sementara di musim kemarau menjadi sarang bagi nyamuk Aedes Aegepti untuk menebarkan wabah. Sudirman Asun, aktivis Ciliwung Institute, mengatakan sungai yang baik adalah sungai yang debit airnya stabil. Baik saat musim hujan maupun kemarau tetap mengalir dengan debit yang tak jauh berbeda.
Karena itulah pada gubernur baru Jakarta yang akan dilantik pada Oktober 2017, saya menitipkan harapan agar dapat mengelola 13 sungai yang melintasi Jakarta dengan baik. Belajar dari kegagalan Belanda saat membangun kanal-kanal, sungai di Jakarta haruslah dikembalikan pada kondisi alaminya dan bukannya dibeton.
Babe Chairudin, yang akrab dipanggil Bang Idin—sang jawara Kali Pesanggaran—mengatakan, sungai harus dihormati karena sungai adalah tempat mengenal Tuhan. Ia mengambil filosofi ini dari ajaran nenek moyangnya. Sungai bukan tempat membuang sampah, tapi adalah aspek kehidupan yang penting dan mempengaruhi banyak hal.
ADVERTISEMENT
Apabila pembetonan terus dilakukan, daerah resapan air akan semakin berkurang karena pohon-pohon yang tumbuh di pinggir jalan ditebang. Aliran air semakin deras menuju ke hilir (laut). Sehingga alih-alih menghilangkan banjir, yang terjadi adalah memindahkan banjir. Lagipula, pinggiran kali yang curam itu. Ah, saya ngeri membayangkan kalau ada yang jatuh dan korban tak bisa menggapai pohon atau apa pun untuk menyelamatkan diri.
Selain membahayakan daerah hilir di bawahnya, pembetonan akan menghilangkan ekosistem pasang surut dan resapan tepi sungai. Sudah banyak daerah hijau di pinggir sungai malah dibeton, seperti di Kampung Gedong, Condet. Lagipula, beton menghambat hujan lokal, sehingga tidak bisa mengalir secara alamiah ke sungai, sehingga air hujan tak bisa dijebak dan disimpan oleh tanah. Akibatnya bisa dibayangkan, kekurangan air di musim kemarau.
ADVERTISEMENT
Selain itu, peraturan yang berlaku menyebutkan harus dibangun jalan inspeksi di pinggir sungai yang direklamasi. Apakah itu bukan berarti mengubah budaya lagi? Anak-anak tentu tak bisa seenaknya berlarian karena sepada motor akan lalu lalang. Anak-anak itu bisa jadi hanya akan terkurung di balik pagar rumah mereka.
Apa yang bisa dilakukan gubernur baru? Saya berharap gubernur mau lebih mendengarkan warga sekitar, profesional, dan ahli dalam membangun kebijakan terkait sungai. Kolaborasi antara warga dan pemerintah bisa dilakukan, seperti yang sudah dirintis oleh Komunitas Kali Ciliwung di Jalan Tongkol, Jakarta Utara.
Saya membayangkan ada kebun salak, lahan konservasi, atau taman bermain atau ruang publik terbuka ramah anak (RPTRA) di pinggir sungai. Anak-anak harus dikenalkan dengan sungai sejak dini agar mampu memupuk rasa cinta di hati mereka. Alangkah indahnya jika anak-anak di Jakarta bisa merasakan kembali asyiknya naik rakit atau getek menyusuri sungai sambil mencari ikan, atau berenang dengan riang gembira di sungai seperti yang dulu dilakukan kakek-nenek mereka.
ADVERTISEMENT
Saya berharap gubernur dan wakil gubernur baru DKI Jakarta bisa melakukan itu.
Penulis: Fadjriah Nurdiarsih, pemerhati budaya Betawi.