Konten dari Pengguna

Sejarah Banjir Jakarta yang Selalu Berulang dan Cara Mengatasinya

27 Februari 2017 16:28 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadjriah Nurdiarsih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengendara motor menerobos banjir. (Foto: Reuters/Beawiharta)
zoom-in-whitePerbesar
Pengendara motor menerobos banjir. (Foto: Reuters/Beawiharta)
Banjir sepertinya tak pernah bosan menyambangi Jakarta. Berdasarkan catatan sejarah, Prasasti Tugu menyebutkan bahwa pada masa Kerajaan Tarumanegara di abad ke lima Masehi sudah terjadi banjir di kawasan sepanjang Sungai Ciliwung.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, ada catatan yang menyebutkan bahwa Jakarta kembali terendam banjir pada 1699. Saat itu air Sungai Ciliwung membanjiri Batavia setelah meletusnya Gunung Salak.
Ya, banjir memang selalu datang. Terakhir kali banjir di Jakarta terjadi pada 21 Februari 2017. Beberapa kawasan terendam akibat hujan yang tinggi sejak dini hari, mulai Sunter hingga Cipinang. Setelah banjir besar pada 2007, 2013, dan 2015, banyak yang bertanya-tanya, bisakah banjir hilang dari Jakarta?
Secara topografi, Jakarta terbentuk dari aliran endapan alluvial sungai dan pantai. Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun (Komunitas Bambu, 2011) menulis sejak zaman prasejarah telah terdapat permukiman manusia di sekitar Kali Ciliwung di Jawa Barat, yang menjadi lokasi Jakarta saat ini.
ADVERTISEMENT
Area ini, disebutkan Susan Blackburn, terbentuk oleh endapan lumpur yang terbawa dari pegunungan berapi di selatan, sebuah dataran aluvial yang membentang berbentuk kipas dan dilintasi beberapa kali—Cisadane, Angke, Ciliwung, Bekasi, dan Citarum.
Lama-kelamaan, pantai yang berupa dataran rendah berawa-rawa yang berada di pinggiran alluvial ini semakin meluas ke utara karena lumpur sungai yang hanyut. Dalam satu diskusi di Condet, arkeolog Hasan Djafar mengatakan ada 13 sungai yang melintasi Jakarta.
Selain itu, secara umum Provinsi DKI Jakarta terletak di dataran rendah dengan ketinggian rata-rata berkisar 8 mdpl. Bahkan, sekitar 40 persen wilayah Provinsi DKI Jakarta berada di bawah permukaan laut.
Sifat dan karakteristik inilah yang menyebabkan Jakarta rentan tergenang air pada musim hujan. “Banjir di Jakarta adalah sebuah keniscayaan,” ucap Sudirman Asun, aktivis Ciliwung Institute, pada Selasa, 21 Februari 2017.
ADVERTISEMENT
Banjir dan Kuburan Orang-Orang Belanda
Upaya mengatasi banjir di Jakarta sudah dilakukan sejak berabad-abad lampau. Prasasti Tugu menyebut ada upaya penanggulangan banjir berupa pembuatan parit sebagai jalan bagi air yang melimpah.
Sementara itu, pemerintah kolonial Belanda membangun Batavia sesuai pola perencanaan Kota Belanda. Terusan-terusan digali untuk memecah aliran air di Sungai Ciliwung serta sebagai drainase dan lalu lintas air. Kanal-kanal diciptakan di tengah Kota Batavia dengan gedung-gedung tinggi berciri Eropa di pinggirnya. Hal ini menjadikan Batavia dijuluki sebagai Queen from the East (Ratu dari Timur).
Terusan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda cukup banyak, yakni 16 kanal. Beberapa di antaranya adalah Tijgergracht, Garnalengracht, Moorschegracht, dan Mookervart.
Pada pertengahan abad ke-17, sistem terusan itu diperluas hingga ke sungai-sungai di luar kota Benteng Batavia. Perluasan ini dilakukan sebagai sumber pengairan bagi sawah dan ladang tebu di luar kota, sekaligus menjamin tersedianya air di dalam Kota Batavia karena di musim kemarau air Sungai Ciliwung sering tidak memadai.
ADVERTISEMENT
Bondan Kanumayoso, doktor sejarah Universitas Indonesia, dalam suatu percakapan menyebutkan kanal dan terusan ini pernah berfungsi baik.
“Saya kira itu berhasil, paling tidak menurut ukuran VOC. Sampai kira-kira ada pabrik gula di luar kota benteng pada abad ke-18. Pabrik itu dijalankan oleh orang-orang Cina dan limbahnya dibuang ke sungai,” ucapnya.
Pendangkalan sungai dan endapan lumpur dari hulu membuat sistem jaringan terusan itu malah menambah bahaya banjir dari Jakarta. Area tanah yang digenangi air tak mengalir makin luas.
Ditambah lagi dengan banyaknya kilang gula yang membuang ampas tebu ke sungai. Pengoperasian kilang gula memerlukan air. Karena itulah hampir selalu kilang gula dibangun di pinggir sungai. Limbah yang dibuang ke sungai tentu pada akhirnya mengalir ke laut, melewati kanal-kanal yang begitu dibanggakan JP Coen.
ADVERTISEMENT
Lumpur pun menyumbat jalan air, padahal di musim kemarau sebelumnya lumpur yang mengendap sudah dibersihkan dengan susah payah. Air di parit dan kanal mandek, berbau busuk, dan menjadi sarang malaria yang ganas. Kanal-kanal ini akhirnya membawa malapetaka. Penyakit malaria berjangkit, terutama di kalangan pegawai muda VOC yang belum lama tinggal di Batavia.
Berdasarkan catatan sejumlah sejarawan, saat itu tak seorang pun merasa heran bila mendengar teman dengan siapa ia semalam makam bersama akan dikubur keesokan harinya.
Begitu banyak orang Belanda tewas akibat penyakit sehingga, mengutip kata Valentijn, Batavia kemudian menjadi kuburan bagi orang-orang Belanda (Graf der Hollanders).
Bisakah Banjir Hilang dari Jakarta?
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Syaiful Hidayat, dalam sebuah wawancara dengan media mengatakan satu-satunya cara untuk mengatasi banjir adalah melakukan normalisasi sungai. Selain itu, ia menyebut limpahan air dari Bogor tak terbendung karena sungai yang menyempit akibat masih banyaknya permukiman di pinggir sungai.
ADVERTISEMENT
Sudirman Asun, aktivis Ciliwung Institute, mengatakan pemerintah seharusnya menata dan bukannya menggusur. Program normalisasi sungai pun harus dibuat dengan melibatkan warga yang bermukim di pinggir sungai.
“Seperti warga di Kampung Tongkol itu saya kira bagus. Warga diajak berembuk untuk menata. Sebab, sungai kan harus memberi kehidupan di semua tempat yang dilaluinya,” ujarnya melalui sambungan telepon, Selasa, 21 Februari 2017.
Asun mengatakan wilayah sempadan sungai seharusnya 15 meter dari tepi sungai, yang diatur lebih detil dalam PP 38 Tahun 2011. Namun, regulasi ini banyak dilanggar dan menjadi pembenar bagi pemerintah untuk melakukan penggusuran.
Asun berujar sesungguhnya pemerintah sendiri yang membiarkan adanya permukiman di pinggir sungai. “Sampai mereka punya surat tanah seperti girik dan verponding. Mereka juga banyak yang tinggal hingga puluhan tahun di pinggir sungai,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Tanpa adanya tata kelola air yang benar dari hulu hingga hilir, mustahil banjir di Jakarta bisa teratasi. “Normalisasi itu tidak menghilangkan banjir. Normalisasi hanya memindahkan banjir dari satu tempat ke tempat yang lain,” ucap Asun.
Dibanding buru-buru mengalirkan air hujan menuju laut, Asun menyarankan air hujan ditampung dan diresapkan. Selain memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) hingga 30 persen sesuai amanat undang-undang, ia menyarankan program biopori digalakkan kembali.
“Di luar negeri sendiri sudah dilakukan masyarakat berbagi ruang dengan air dan melakukan investasi tanaman,” tuturnya.
Sumur resapan yang ditawarkan Asun dan kawan-kawan bisa membuat air permukaan Jakarta semakin sedikit. Namun kekeliruan kerap terjadi saat memilih tempat pembuatan sumur.
ADVERTISEMENT
“Selama ini biopori dibuat di jalan-jalan. Itu salah. Sebab, air yang menggenang di jalan biasanya sudah banyak lumpur dan kotor, sehingga membuat saringannya terhambat. Akibatnya biopori pun jadi rusak,” ujar Asun.
“Seharusnya dibuat di pekarangan, di bawah talang-talang air karena airnya masih bersih. Dan untuk itu pemerintah seharusnya lakukan pembinaan. Rumah-rumah yang punya biopori itu, per RT, per RW, harusnya diberikan insentif,” tambahnya menegaskan.
Upaya memanen air hujan rupanya sudah dilakukan JJ Rizal, sejarawan Betawi, di rumahnya yang rindang di Beji Timur. Depok. Dalam satu kesempatan, ia menyebut sungai dengan orang Betawi sudah seperti saudara.
Hal ini salah satunya terungkap dari banyaknya mitos yang berkaitan dengan sungai dalam masyarakat Betawi. Bahkan, roti buaya sebagai perlambang kesetiaan dalam masyarakat Betawi pun hadir dalam upacara perkawinan adat Betawi.
ADVERTISEMENT
Di rumahnya, air hujan ditampung melalui talang yang kemudian mengalir ke kolam ikan. “Air tak ada yang terbuang,” JJ Rizal menjelaskan. Bahkan, JJ Rizal juga menawarkan konsep rumah panggung. Ini, menurut Asun, sesuai dengan ilmu mitigasi bencana. “Banjir datang, kita siap,” ucap Asun.
Asun mengingatkan di Jakarta banjir adalah sebuah keniscayaan. Tanpa adanya pengaturan tata kelola dan tata ruang berkesinambungan dari hulu di Bogor hingga hilir, ditambah beban Jakarta sebagai ibu kota, banjir tak mungkin hilang dari Jakarta.