Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hati Nurani dan Pekerjaan Jurnalistik
29 September 2024 8:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Fadlan Athariq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jurnalis bertugas untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Informasi yang diberikan haruslah sesuai dengan kebenaran dan faktual. Demi mencapai hal tersebut, jurnalis wajib menggunakan verifikasi, akurasi, dan objektivitas, sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap sosial. Namun tidak dapat dipungkiri, ada kalanya seorang jurnalis berada dalam situasi yang kebenarannya masih abu-abu. Maksudnya, ketika jurnalis berada dalam kondisi yang belum jelas benar atau salahnya, akurat atau tidaknya, boleh atau tidak boleh. Disinilah peran hati nurani sangat penting bagi pekerja jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mengatakan bahwa hati nurani adalah salah satu dari sembilan elemen jurnalistik buatan mereka. Hal tersebut dijabarkan didalam buku karangan mereka yang berjudul “Sembilan Elemen Jurnalisme”. Kovack dan Rosenstiel menjelaskan bahwa pekerja jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka ketika bekerja. Kenapa? Karena pekerjaan jurnalistik adalah profesi yang paling mungkin untuk membuat kegaduhan dan kekacauan. Contohnya sebuah media mengatakan bahwa Gunung Marapi di Sumatera barat akan meletus besok pagi. Mendengar hal tersebut, semua masyarakat Sumatera Barat panik. Ribuan orang mengungsi ke provinsi terdekat, puluhan wartawan bersiap untuk meliput, pemerintahan setempat terpaksa dipindahkan, dan polisi sibuk mengevakuasi warga. Ternyata berita tersebut adalah hoax atau palsu. Tidak ada ledakan Gunung Marapi dan semua itu hanyalah kebohongan media.
ADVERTISEMENT
Begitu mengerikannya apabila pers atau media sosial tidak menggunakan hati nuraninya dalam bekerja. Mereka dengan senang hati berbohong dan mengkhianati kepercayaan publik. Media hanya fokus meliput berita-berita yang sensasional, penuh bumbu-bumbu tambahan, dan melanggar hak privasi orang lain. Melupakan berita-berita yang lebih faktual dan bernilai kebenaran untuk masyarakat.
Apakah jurnalis harus mengikuti kehendak publik dalam membuat berita? Apakah semua pertanyaan masyarakat harus selalu dijawab tanpa ada pertimbangan lainnya? Nyatanya tidak. Jurnalis bukanlah sebuah robot yang bertugas menjawab semua pertanyaan masyarakat. Jurnalis juga manusia yang memiliki hati dalam melaksanakan pekerjaannya. Presiden Newspaper Guild, Linda Foley pernah mengatakan dalam forum Committee of Concerned Journalist,
“Kemampuan wartawan untuk mengikuti nurani jauh lebih penting daripada apapun yang mereka percayai atau keyakinan apapun yang mereka bawa dalam pekerjaan mereka.”
ADVERTISEMENT
Apakah seorang jurnalis pada akhirnya bisa bersikap objektif? Jawabannya tidak akan pernah. Individu jurnalis pasti dipengaruhi oleh bias-bias yang mengikutinya dari kecil. Contoh ada sebuah banjir di sebuah kota bernama Bukittinggi. Apakah berita banjir yang dibuat oleh wartawan yang berasal dari Kota Bukittinggi akan sama dengan wartawan yang berasal dari luar kota tersebut? Tentu saja tidak. Pasti akan ada nilai subjektif dalam berita yang ditulis oleh wartawan dari Bukittinggi karena kejadian itu berasal dari tempat asalnya. Jurnalis tidak akan bisa sepenuhnya bersikap objektif. Sekali lagi saya tekankan, jurnalis bukan robot membuat berita. Mereka adalah manusia dan akan bersifat seperti manusia pada umumnya. Jurnalis harus berpegang pada suatu keyakinan yang dipercaya oleh hati nuraninya. Hal tersebut yang harus mereka pegang teguh dalam melaksanakan pekerjaannya. Dikutip dari perkataan penyiar berita bernama Carol Marin,
ADVERTISEMENT
“Saya rasa seorang wartawan adalah seseorang yang menyakini sesuatu yang membuat mereka sanggup meninggalkan pekerjaannya demi keyakinan itu.”
Pers atau media dibangun dalam unsur idealis dan komersial. Idealis adalah kepercayaan pers yang membentuk berita-berita yang akan mereka buat. Idealis adalah unsur yang membedakan pers dengan perusahaan-perushaaan lainnya. Selanjutnya unsur komersial. Unsur yang membuat perusahaan pers dapat bertahan lama. Unsur komersial membuat pers membuat hal-hal yang dapat menimbulkan uang supaya perusahaan mereka tetap berjalan. Contohnya seperti menjual majalah, koran, membangun hotel, dan bentuk-bentuk lainnya. Kedua unsur ini harus berimbang, supaya pers masih dapat kepercayaan dimata publik. Sayangnya, pers atau media sekarang lebih mementingkan unsur komersialnya. Memberitakan hal-hal viral, sensasional, dan mengesampingkan kebenaran, membuat unsur idealis pers diredupkan.
ADVERTISEMENT
Apakah memberitakan aib seorang publik figure adalah sesuatu yang etis? Apakah menuliskan nama seorang korban pelecehakan seksual adalah sesuatu yang etis? Apakah menyebutkan nama anak dari pelaku tindak kejahatan adalah sesuatu yang etis? Semua itu bisa dijawab apabila seorang wartawan menggunakan hati nuraninya dalam meliput berita.
Penting bagi jurnalis untuk tidak hanya memikirkan kepuasan publik saja dalam membuat berita. Mereka juga harus memikirkan efek dari berita yang akan mereka muat. Seperti unsur psikologi dan mental publik figure yang aibnya kita bongkar, korban pelecehan seksual yang harus menanggung malu seumur hidupnya kerena namanya sudah diketahui oleh masyarakat luas, masa depan dari anak pelaku kejahatan yang harus menanggung ejekan dan cibiran dari teman-temannya setiap pergi ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Kode Etik Jurnalistik adalah sebuah konsep yang lahir dari hati nurani para pekerja jurnalis. Bagi wartawan dan profesi jurnalis lainnya, bekerjalah dengan batasan-batasan kode etik yang sudah dibuat. Gunakanlah hati nurani dalam setiap liputan dan menulis berita. Dikutip dari buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” tadi, seorang wartawan bernama Bill Kurtis mengatakan, “tiap reporter secara pribadi harus membuat aturan bagi dirinya sendiri, standarnya sendiri, dan membentuk karier untuk dirinya sendiri.”
Salah seorang wartawan lainnya bernama Jon Katz, membuat kode etik miliknya sendiri dalam bekerja. Dia senang ketika duduk dan menulis kode etik apa saja yang akan berguna baginya untuk membatasi nafusnya ketika bekerja. Jon Katz mengatakan,
“Saya rasa anda harus punya sebuah konteks moral dalam pekerjaan yang anda jalani karena hal ini punya makna. Apapun yang anda lakukan, saya rasa anda harus melakukannya dalam sebuah cara yang secara moral memuaskan anda.”
ADVERTISEMENT