Konten dari Pengguna

Menimbang Kembali Opsi Lockdown dan Instrumen Hukumnya

Fahmi Ramadhan
Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember
14 Juli 2021 18:38 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahmi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Jakarta – Penyebaran virus COVID-19 beberapa pekan terakhir semakin ganas di berbagai daerah, berdasarkan data Satgas COVID-19 Per-Rabu, 14 Juli 2021, penambahan kasus baru COVID-19 tembus rekor tertinggi sejak Pandemi, yakni sebanyak 54.517 pasien, sehingga total kasus menyentuh angka 2.670.046.
ADVERTISEMENT
Kondisi demikian membuat pakar kesehatan dan pejabat negara mendorong Pemerintah mempertimbangkan kebijakan Lockdown Regional untuk mengendalikan Pandemi COVID-19 yang semakin hari makin mengkhawatirkan dan mengancam stabilitas nasional serta untuk menyelamatkan fasilitas kesehatan yang hampir overload.
Namun kebijakan Lockdown Regional membuat Pemimpin Yogyakarta dan Jawa Barat bersuara, karena anggaran daerah dalam penanganan COVID-19 sudah tidak mencukupi, kalaupun Lockdown Regional diterapkan maka daerah-daerah tersebut meminta Pemerintah Pusat bertanggung jawab untuk memenuhi anggarannya, di samping itu menipisnya anggaran penanganan COVID-19 juga dialami oleh berbagai daerah.
Meskipun pada akhirnya Pemerintah mengambil kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dari 3 Juli-21 Juli 2021. Namun hingga minggu kedua PPKM Darurat berjalan, dampaknya tak begitu signifikan dilihat dari naiknya kasus perhari dan kondisi fasilitas kesehatan yang mayoritas melebihi kapasitas. Sehingga dapat dikatakan opsi Karantina Wilayah menjadi jalan terakhir.
ADVERTISEMENT
Mengenal Lockdown
Secara harfiah Lockdown diambil dari bahasa Inggris, yang artinya adalah terkunci. Lockdown berarti situasi yang melarang orang untuk keluar-masuk ke suatu tempat karena suatu hal yang darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya.
Kata Lockdown sebelumnya belum dikenal oleh masyarakat, namun kemudian populer sejak Pandemi COVID-19. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan apabila menerapkan Lockdown agar tidak timbul masalah baru baik dari segi ekonomi dan sosial dan yang tak kalah penting ialah aspek hukumnya.
Istilah Lockdown memang belum umum di Indonesia, namun dalam peraturan perundang-undangan Lockdown memiliki makna hampir sama dengan Karantina Wilayah yang diatur pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menjelaskan:
ADVERTISEMENT
“Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.”
Pada Pasal 14 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018 disebutkan “Dalam keadaan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia, pemerintah pusat dapat menetapkan Karantina Wilayah di pintu Masuk.”
Untuk menetapkan Karantina Wilayah, harus ada konfirmasi laboratorium bahwa sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. Sebagaimana Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 dan pejabat yang berwenang menetapkan Karantina Wilayah adalah Menteri, bukan kepala daerah, hal ini tercantum pada Pasal 49 ayat 4 Undang-Undang No. 6 Tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Perlu ditegaskan bahwa Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah sebagaimana Pasal 55 Undang-Undang No. 6 Tahun 2018.
Instrumen Hukum Lockdown (Karantina Wilayah)
Meskipun telah diatur oleh Undang-Undang, Karantina Wilayah tidak serta merta dapat diterapkan. Sebab secara teknis Karantina Wilayah memerlukan peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Sebagaimana bunyi Pasal 60: “Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Peraturan Pemerintah terkait Karantina Wilayah merupakan peraturan delegasi dari undang-undang, sehingga perlu waktu yang tidak sebentar dalam pembentukannya. Belum lagi jika Peraturan Pemerintah tersebut memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri untuk pelaksanaan lebih teknisnya.
ADVERTISEMENT
Seperti kita ketahui sebelumnya, diawal Pandemi Karantina Wilayah menjadi salah satu opsi penanganan COVID-19. Namun pada akhirnya Pemerintah lebih memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Apabila ke depan Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah tentang Karantina Wilayah untuk penanggulangan COVID-19, Pemerintah perlu belajar dari Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang ternyata masih menimbulkan masalah dari yang dianggap Copy Paste dari Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan akibat pembentukan yang terburu-buru hingga beberapa aspek muatan yang tak sesuai dengan teori perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 hanya menegaskan bahwa kewenangan penyelenggaraan karantina kesehatan adalah kewenangan absolut Pemerintah Pusat dan memberikan warning pada Pemerintah Daerah bahwa sebelum melaksanakan PSBB di wilayahnya harus meminta persetujuan dahulu kepada Menteri Kesehatan. Hal ini bisa dikatakan tidak memiliki makna yang berarti, sebab tegas Undang-Undang No 6 Tahun 2018 mengatur jika kewenangan penetapan PSBB yakni oleh Menteri Kesehatan.
Permasalahan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 mengakibatkan pelaksanaan PSBB kurang begitu efektif menekan laju penyebaran COVID-19 secara konsisten, sehingga pada akhirnya pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat berbasis Mikro (PPKM Mikro) dengan lingkup wilayah yang lebih sempit.
Belajar dari Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020, Peraturan Pemerintah tentang Karantina Wilayah tidak boleh hanya sebatas “legalitas formal” semata, yang berarti dengan adanya Peraturan Pemerintah tentang Karantina Wilayah maka Karantina Wilayah dapat diterapkan. Lebih dari itu Peraturan Pemerintah tentang Karantina Wilayah harus mengatur lebih teknis sehingga dapat menjamin bahwa penyelenggaraan Karantina Wilayah nantinya dapat efektif mengatasi penyebaran wabah. Selain itu dalam pembentukannya perlu partisipasi publik yang substantif dengan melibatkan pakar atau ahli Kesehatan, Sosiolog hingga Keuangan.
ADVERTISEMENT
Adapun opsi lain yakni merevisi Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk lebih teknis dan implementatif. Hal ini berangkat dari latar belakang Presiden Jokowi yang lebih memilih kebijakan PSBB daripada Karantina Wilayah diawal pandemi lebih dari setahun lalu karena dianggap sesuai dengan faktor sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Ke depan, agar penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan lebih baik, Pemerintah perlu membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur perintah yang secara tegas diperintahkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 yaitu (1) tata cara Pemerintah pusat untuk menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; (2) penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; (3) tata cara pengenaan sanksi administratif; (4) kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Peraturan Pemerintah harus dibentuk dengan norma bersifat umum, abstrak, dan dapat berlaku terus menerus tidak hanya pada masa COVID-19 saja.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan telah memberikan batasan waktu tegas agar membentuk Peraturan Pemerintah sesuai dengan apa yang diperintahkan sebelum Tahun 2021, sehingga efektif masih ada sisa 5 bulan waktu bagi Pemerintah untuk menyelesaikan Pekerjaan Rumah tersebut.
Pelaksanaan Karantina Wilayah memang akan memberatkan keuangan negara, tapi langkah ini adalah yang paling logis untuk menyelamatkan kesehatan masyarakat, daripada kebijakan PPKM Darurat yang menjadi paradoks karena melarang orang beraktivitas untuk bekerja tapi tak ditanggung kebutuhannya oleh Pemerintah.
Fahmi Ramadhan Firdaus, S.H., M.H. - Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember