Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menimbang Urgensi Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
16 September 2020 13:01 WIB
Tulisan dari Fahmi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta – Awal bulan September (1/9/2020) DPR bersama Pemerintah baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Pengesahan atas undang-undang tersebut banyak dikritik baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat sipil. Sebab secara garis besar poin-poin perubahan hampir tidak ada yang substansial dan menguatkan Mahkamah Konstitusi baik secara kelembagaan maupun kewenangan.
Selain itu proses pembahasan sampai pada pengesahan berlangsung begitu cepat melebihi pengesahan Revisi Undang-Undang KPK pada September 2019 silam, tercatat pembahasan berlangsung hanya 3 hari dari 25 Agustus – 28 Agustus 2020.
Undang-Undang ini juga dianggap cacat formil, karena proses pembahasannya terkesan tertutup dan tergesa-gesa sehingga mempersempit ruang partisipasi publik yang menyampaikan aspirasi untuk perbaikan Mahkamah Konstitusi kedepannya.
Perubahan Tidak Substansial
Secara garis besar terdapat 3 hal yang diubah dalam Revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yaitu syarat usia Hakim Konstitusi, Masa Jabatan Hakim, dan Kode Etik Hakim.
ADVERTISEMENT
Pertama, mengenai naiknya syarat usia minimum untuk menjadi Hakim Konstitusi yang tercantum dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pemerintah nomor 43, yang mana pemerintah dan DPR setuju bahwa batas usia hakim MK adalah 55 tahun saat diangkat.
Argumentasi perubahan tersebut didasari atas kematangan pengalaman maupun keilmuan. Namun hal itu dianggap tak logis mengingat ada Hakim Konstitusi yang pernah tertangkap KPK padahal usianya 59 tahun dan Hakim Konstitusi yang terbukti melanggar etik padahal usianya telah melewati 55 tahun.
Dikhawatirkan revisi syarat usia minimum Hakim Konstitusi yang dinaikan malah menghambat regenerasi terhadap calon-calon potensial yang lebih muda, berpengalaman, matang keilmuannya dan berintegritas.
Kedua, Menyoal masa jabatan hakim di dalam Pasal 87 huruf b draf RUU Mahkamah Konstitusi yang disahkan menyebutkan bahwa:
ADVERTISEMENT
Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun.
Perubahan pasal soal masa jabatan Hakim Konstitusi hampir tidak ada urgensinya, ditambah ketentuan tersebut bersifat retroaktif dan otomatis berlaku pada Hakim Konstitusi yang menjabat saat ini. Idealnya untuk menghindari conflict of interest harusnya ketentuan tersebut diterapkan pada Hakim Konstitusi periode berikutnya.
Ketiga, terkait Kode Etik terdapat perubahan yang tidak signifikan yakni hanya menambahkan anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari kalangan akademisi berlatar belakang hukum.
Padahal masa jabatan Hakim Konstitusi yang begitu panjang juga harus diikuti penguatan atas pengawasan etik, apabila hal ini tidak dilaksanakan justru dikhawatirkan akan menjadi bencana bagi marwah Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of The Constitution.
ADVERTISEMENT
Perbaikan Kedepan
Sesungguhnya tidak ada yang menolak perubahan sebuah undang-undang sebab hal itu adalah keniscayaan untuk menjawab permasalahan hukum. Namun tentunya perubahan undang-undang yang dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan hukum dan tidak merugikan masyarakat.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman perannya cukup vital dalam sebuah negara hukum demokratis, sebab Mahkamah Konstitusi menjadi jalan terakhir bagi warga negara untuk mendapat keadilan atas dilanggarnya hak konstitusional oleh berlakunya sebuah undang-undang.
Baru saja pada 13 Agustus 2020, Mahkamah Konstitusi memasuki usia ke 17 tahun. Usia 17 tahun dapat diartikan sebagai simbol kedewasaan bagi manusia, pun hal ini dapat disematkan pada Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga negara yang sudah berkiprah selama 17 tahun, tentu ada beberapa prestasi yang diraih Mahkamah Konstitusi dan catatan-catatan untuk perbaikan Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Perbaikan tersebut diantaranya menambahkan kewenangan Constitutional Complaint dan Constitutional Question kepada Mahkamah Konstitusi. Wacana ini memang sudah muncul sudah sejak lama untuk mengakomodir isu-isu konstitusionalitas yang dinamis. Bahkan di beberapa negara seperti Jerman dan Korea Selatan, kewenangan tersebut sudah melekat sejak lama.
Constitutional Complaint merupakan salah satu upaya hukum untuk menjamin tidak dilanggarnya hak konstitusional warga negara oleh seluruh kebijakan pemerintah maupun putusan peradilan.
Sedangkan Constitutional Question merupakan mekanisme pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh seorang hakim di pengadilan umum yang merasa ragu-ragu terhadap konstitusionalitas suatu undang-undang yang digunakan dalam perkara yang sedang ditanganinya. Hal ini sebagai upaya agar putusan hakim di pengadilan umum yang dianggap bertentangan dengan konstitusi dan dianggap melanggar hak konstitusional warga negara dapat diantisipasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu perbaikan yang perlu dipertimbangkan kedepannya yakni merumuskan batas waktu yang jelas dan tegas dalam Judicial Review di Mahkamah Konstitusi sebab dalam menyelesaikan perkara perlu waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, hal ini semata-mata untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi warga negara, sebab terlambat memberikan keadilan adalah bentuk ketidakadilan juga, sebagaimana adagium hukum ”Justice Delayed is Justice Denied”.
Catatan-catatan perbaikan salah satunya dapat dilakukan dengan cara mengubah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Namun perlu political will dan good will pemerintah dan DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang.
Sejatinya kehadiran Mahkamah Konstitusi sangat membantu pemerintah dan DPR dalam membentuk undang-undang, sebab Putusan Mahkamah Konstitusi mampu memberikan guideline bagi pemerintah dan DPR agar membentuk undang-undang yang tidak melanggar konstitusionalitas warga negara.
ADVERTISEMENT
Fahmi Ramadhan Firdaus - Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember | Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia