Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peluang Revisi UU ITE
7 Maret 2021 19:39 WIB
Tulisan dari Fahmi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta – Pada sambutannya di Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI (8/2/2021), Presiden Jokowi menyatakan agar masyarakat terbuka untuk menyampaikan kritik dan saran kepada pemerintah. Menurut Presiden, kritik tersebut merupakan bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik ke depan, khususnya pemerintah.
ADVERTISEMENT
Namun banyak kalangan meragukan hal tersebut, mengingat pernyataan Presiden tersebut nyatanya tak seindah apa yang terjadi di lapangan. Tak jarang individu ataupun kelompok yang memberikan kritik kepada pemerintah malah tersandung kasus hukum karena dianggap melanggar Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Problematika UU ITE
Dapat kita pahami bersama bahwa kritik maupun masukan oleh masyarakat kepada pemerintah merupakan bentuk dari partisipasi yang menjadi sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi dan dijamin kebebasannya oleh Konstitusi sebagaimana bunyi Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Namun perlu kita ingat bahwa hak itu juga dibatasi sebagaimana ketentuan Pasal 28J UUD 1945 “Dalam menjalankan hak atas kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
ADVERTISEMENT
Sehingga kebebasan yang dimiliki oleh tiap orang tidak boleh diartikan sebagai “kebablasan”, berdasarkan latar belakang tersebut pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Tahun 2008 dibentuklah UU ITE yang bertujuan untuk menciptakan interaksi yang sehat dalam kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat termasuk memberikan kritik kepada pemerintah dan menjamin transaksi bisnis secara elektronik.
Tetapi melihat kondisi di lapangan, penerapan UU ITE dinilai masih rentan disalahgunakan. Secara politis UU ITE ditujukan untuk memukul lawan-lawan politik dan dampak secara sosial upaya saling lapor warga negara dengan menggunakan UU ITE akan menyebabkan perpecahan dan polarisasi di tengah masyarakat.
Ketentuan yang dianggap kontroversial karena termasuk pasal karet dan menyebabkan multitafsir adalah Pasal 27 ayat (3) terkait pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang menyiarkan kebencian pada orang atau kelompok orang berdasarkan SARA. Terhadap kedua ketentuan tersebut masyarakat menilai perlu direvisi, sebab lingkup pengaturannya yang terlalu luas dan belum didefinisikan secara baik menyebabkan rentan disalahgunakan. Hal ini akan menyulitkan para aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Ketakutan untuk mengkritik karena kekhawatiran akan dijerat UU ITE tentunya tak baik bagi kehidupan demokrasi Indonesia ke depan, mengingat kritik dapat menjadi salah satu upaya Checks and Balances terhadap jalannya pemerintahan agar on the track sesuai keinginan masyarakat.
Peringatan terhadap ancaman kehidupan demokrasi di Indonesia baru saja disampaikan melalui laporan tahunan The Economist Intelligence Unit. Laporan tersebut memposisikan indeks demokrasi Indonesia di Tahun 2020 pada peringkat ke-64 dunia, dengan skor 6.8, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Timor Leste, Filipina dan Malaysia, posisi Indonesia jauh tertinggal. Pencapaian tersebut adalah yang terendah selama 14 tahun terakhir, dapat dikategorikan demokrasi di Indonesia masuk ke dalam demokrasi cacat yang berada satu peringkat di bawah negara yang berstatus demokrasi penuh.
ADVERTISEMENT
Terhadap 5 (lima) instrumen penilaian indeks demokrasi menurut The Economist Intelligence Unit. Yaitu fungsi pemerintah, proses pemilu dan pluralisme, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Skor untuk kebebasan sipil memiliki nilai paling rendah yakni 5.59, tentunya hal ini bukan kabar yang menggembirakan bagi Indonesia, sehingga perlu menjadi evaluasi bersama, apa saja penyebab-penyebab kebebasan sipil menurun dan merumuskan bagaimana upaya untuk meningkatkan dan menjamin kebebasan sipil ke depan.
Bak gayung bersambut, Presiden Jokowi berkeinginan untuk melakukan revisi terhadap UU ITE apabila tidak memenuhi rasa keadilan di tengah masyarakat. Presiden mengatakan revisi dilakukan untuk menindaklanjuti pasal-pasal karet yang berpotensi multitafsir. Namun ia berharap agar UU ITE tetap pada semangatnya untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, penuh sopan santun, tata krama, dan juga produktif.
ADVERTISEMENT
Peluang Revisi UU ITE
Agar sebuah undang-undang dapat dilakukan perubahan, kita harus melihat proses bagaimana undang-undang itu dibentuk, sebagaimana Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa proses pembentukan undang-undang terdiri dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan perundangan.
Sejak tahap perencanaan, daftar undang-undang yang akan dibahas akan diwujudkan ke dalam Prolegnas yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Prolegnas dibagi menjadi Prolegnas Prioritas Tahunan dan Prolegnas Jangka Menengah, apabila dilihat dari 33 RUU yang sejauh ini dibahas DPR bersama Pemerintah dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2021 maupun Prolegnas Jangka Menengah, di dalamnya tidak tercantum Revisi UU ITE sebagai undang-undang yang diajukan untuk dibahas atau direvisi.
Katakanlah UU ITE tidak masuk Prolegnas Prioritas 2021 yang disetujui nanti. Sebab apabila kita lihat sejauh ini UU ITE belum termasuk ke dalam daftar pembahasan sementara, Tapi bukan berarti menutup peluang UU ITE untuk dibahas atau direvisi, berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa “Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas ..…”
ADVERTISEMENT
Apabila ditafsirkan, frasa “keadaan tertentu” kaitannya dengan urgensi Revisi UU ITE yaitu keberadaan pasal-pasal karet yang multitafsir dan mudah diinterpretasikan secara sepihak akan menyebabkan ketidakpastian hukum dan menjauhkan masyarakat dari keadilan. Multitafsir akan merugikan masyarakat, menyulitkan penegak hukum dalam penanganan kasus, dan tentunya kita tidak ingin adanya korban-korban lagi dari berlakunya pasal karet UU ITE.
Disisi lain, publik kecewa melihat respons dari bawahan Presiden yang malah berencana menyusun interpretasi atau panduan dari pelaksanaan UU ITE. Padahal jelas Presiden menginginkan Revisi UU ITE, interpretasi tak akan membuat problematika penerapan UU ITE berakhir, sebab hulu masalahnya ada pada UU ITE itu sendiri.
Yang kita harapkan apabila UU ITE benar-benar direvisi sebagaimana keinginan Presiden Jokowi. Revisi harus dilakukan secara substansial dan tidak boleh setengah-setengah seperti revisi tahun 2016 silam. Kita ingin UU ITE Kembali pada marwah dan tujuannya semula, mewujudkan demokrasi yang bermartabat serta konstruktif dan menciptakan iklim bisnis secara elektronik yang sehat.
ADVERTISEMENT
Fahmi Ramadhan Firdaus, S.H., M.H. - Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember