Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cermin Cak Nun
21 Desember 2021 13:55 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu waktu, pada 9 dan 10 Juni 2009 silam, Emha Ainun Nadjib mementaskan satu pertunjukan seni panggung. Tema utama pementasan, yang berlangsung di Surabaya, ini adalah tentang pentingnya para penguasa dan pemimpin berhati-hati pada banyak orang yang menempel di belakang mereka. Orang-orang ini pandai menjilat; berdalih untuk kepentingan rakyat, padahal semata demi interest pribadi mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Pementasan seni Cak Nun mendapatkan sambutan meriah. Selain sambutan meriah dari para seniman dan mahasiswa, apresiasi datang pula dari sejumlah pejabat. Salah satunya adalah dari Menteri Informasi dan Komunikasi, yang saat itu dijabat oleh Muhammad Nuh. Beliau pernah pula menjabat sebagai Menteri Pendidikan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pujian dari Menteri, bagi Emha, tentu bukan hal istimewa. Namun, ada yang menarik diceritakan di sini ketika dia menolak kehadiran Muhammad Nuh. Menurut Cak Nun, untuk apa seorang menteri datang ke pertunjukan seninya. Alasan Emha menolak kedatangan sang Menteri adalah bahwa sebagai seorang Menteri Republik Indonesia ada tugas lain yang lebih penting yang harus dikerjakan Muhammad Nuh (Jakarta Post, 10 Juni 2009).
ADVERTISEMENT
Argumen penolakan Cak Nun saat itu, menurut saya, dapat diterima. Tidak sedikit pejabat dan penyelenggara negara menghabiskan waktunya untuk kegiatan-kegiatan yang tak relevan dengan jabatannya, seperti rajin menghadiri acara-acara seremonial, mengurusi partai politik, atau malahan mengawasi bisnisnya. Akibatnya, tugas negara terabaikan: rencana kerja tak tercapai, permasalahan-permasalahan urgent yang harus cepat diselesaikan menjadi terbengkalai, pelayanan publik terkendala.
Di Indonesia, sebagian besar kursi menteri dan jabatan kepala institusi negara amat bersifat politis. Tidak melulu berbasiskan profesionalitas. Pada akhirnya, pejabat negara atau penyelenggara negara lebih sibuk mengurusi kepentingannya, baik itu kepentingan pribadinya maupun kepentingan golongan atau partai politiknya, sehingga kepentingan rakyat telantar. Terlalaikan. Rakyat kebanyakan malah harus berjuang sendirian demi menyelamatkan hidup dan nasibnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, selama lingkup masa pemerintahan Presiden SBY, ada sejumlah Menteri yang sibuk menghabiskan waktunya mengurusi partainya. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Syarifuddin Hasan dan Menteri Perhubungan EE Mangindaan, misalnya, ikut serta dalam peran-peran penyelamatan partainya. Keduanya masing-masing pernah menjabat Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Ketua Harian Dewan Pembina Partai Demokrat. Bahkan, kala itu Presiden SBY sendiri turun tangan langsung dengan menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, saat masa jabatannya sebagai Presiden tersisa sekitar 1,5 tahun lagi.
Menilik ke belakang, Presiden SBY pernah secara tegas meminta para Menterinya yang berasal dari Partai Politik tertentu untuk mendahulukan kewajiban-kewajiban pemerintahan. Presiden SBY terlebih mempersilakan Menteri-Menterinya mundur bila tak bisa membagi waktu. Dalam kabinet SBY saat itu, beberapa Menteri menjabat rangkap sebagai ketua umum atau pengurus elite Partai Politik. Tiga Menteri, waktu itu, merangkap Ketua Umum Partai Politik. Ketiganya adalah Menteri Agama Suryadharma Ali dari PPP, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Radjasa dari PAN, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dari PKB.
ADVERTISEMENT
Apakah gambaran di atas masih terjadi di era Presiden Joko Widodo sekarang? Kita ketahui bersama, sejumlah Menteri merupakan kader Partai Politik, bahkan menjabat Ketua Umumnya. Beberapa Menteri lainnya berasal dari pebisnis dan profesional.
Menilik contoh di atas, dapatlah dikatakan bahwa istilah “pejabat negara” atau “penyelenggara negara” cuma jadi slogan semata. Kata “negara” dimaknai sebagai institusi yang memiliki kekuasaan yang otoritatif, sehingga seseorang yang memiliki label “pejabat negara” atau “penyelenggara negara” bisa seenaknya menggunakan kuasanya atas nama negara.
Menurut Arief Budiman (1996) ada dua pandangan dominan tentang negara yang dianut kalangan pejabat negara maupun kalangan masyarakat sipil di Indonesia. Pandangan pertama, negara merupakan lembaga yang mempunyai kekuasaan amat besar. Negara, dengan begitu, dapat memaksakan kehendaknya pada rakyatnya. Pandangan kedua, negara merupakan bentuk pelembagaan dari kepentingan umum. Oleh karena negara mewakili kepentingan umum, maka negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Jadi, dengan kedua cara pandang tersebut di atas, dapat kita pahami mengapa sebagian besar pejabat atau penyelenggara negara lebih mengutamakan kepentingannya ketimbang kepentingan umum. Uraian lebih panjang mengenai negara, dapat dibaca pada buku Arief Budiman berjudul Teori Negara: negara, kekuasaan, dan ideologi, 1996, oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Rakyat Indonesia, yang sekarang mencapai 77 persen masih dalam kondisi miskin dan rentan-miskin, perlu jadi perhatian utama negara. Badan Pusat Statistik (Juli, 2021) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 27,54 juta orang. Sementara, jumlah rakyat rentan-miskin berkisar 66,7 persen dari total penduduk negeri ini, yakni sekitar 181.576.991 orang. Penduduk rentan-miskin adalah mereka yang telah berada di atas garis kemiskinan, tapi cenderung akan menjadi miskin ketika tertimpa bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial.
ADVERTISEMENT
Dus, kita tidak butuh para pejabat negara atau penyelenggara negara hadir tiap hari di televisi, koran, atau media sosial. Rakyat butuh makan. Rakyat butuh menteri yang bekerja dengan fokus, disertai rencana kerja realistis dan tekad kuat mewujudkan rencana kerjanya.
Manakah yang paling penting: mengisi perut rakyat miskin yang keroncongan atau berdebat panjang tentang kemiskinan di seminar-seminar yang kerap diadakan di hotel-hotel mewah?
Memang kita tak bisa secara diametral membandingkan dua komparasi pertanyaan di atas. Tapi, rakyat, barangkali, dengan kondisi mereka sekarang ini, tak peduli dengan teori kemiskinan, konsep demokrasi, pemikiran sosialis, mazhab sosial-demokrat, atau paham komunis yang ingin menghilangkan kelas sosial. Selama mereka masih lapar dan sulit hidup sehari-hari, maka makna kesejahteraan bagi rakyat adalah ketika perut lapar menjadi kenyang.
ADVERTISEMENT
Jadi, penuhi dulu perut rakyat, setelah itu kita berdiskusi panjang soal demokrasi, ideologi, atau politik kebudayaan.
Kembali ke soal penolakan Cak Nun atas kehadiran Muhammad Nuh di pentasnya, sudah selayaknya para Menteri dan semua pejabat negara lebih banyak menghabiskan waktunya memikirkan rencana kerja yang sesuai kebutuhan rakyat, kemudian mencari jalan yang tepat untuk merealisasikan rencana kerjanya.
Tentu saja, sang Menteri atau para pejabat negara harus mengetahui persoalan-persoalan nyata yang ada dalam domain tanggung jawabnya, sehingga rencana kerjanya realistis. Untuk memahami persoalan riil, Menteri tentu wajib banyak berdiskusi dengan birokrat-birokrat di bawahnya, mulai dari para pejabat eselon satu sampai staf-staf fungsional-teknis, serta mengunjungi daerah-daerah yang menjadi beban tanggung jawabnya. Tentu saja, bukan semata kunjungan kerja seremonial.
ADVERTISEMENT
Alhasil, percikan cerita Cak Nun di atas merupakan cermin bagi kita semua di negeri tercinta ini, setidaknya renungan bagi saya pribadi. Apakah selama ini saya sudah bekerja dengan fokus? Apakah saya kemudian hanya menghabiskan waktu melakukan aktivitas kerja sebatas output, tanpa memedulikan outcome program kegiatan tersebut? Apakah saya hanya bekerja sebatas rutinitas saja dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari?