Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menguji Lord Acton di KPK
9 Desember 2021 14:31 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seruan John Emerich Edward Dalberg Acton atau lazim disapa Lord Acton (1834-1902), power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, sudah jamak terdengar di telinga insan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalimat itu seakan telah menjadi baris-baris kata sakral, layaknya deretan huruf kitab suci kaum agamawan.
ADVERTISEMENT
Bahkan, bisa dikatakan, itulah pandangan pokok dan satu-satunya dari para pejuang antikorupsi, terutama mereka yang bergiat dan bergulat melawan korupsi lewat lembaga bernama KPK atau Organisasi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi.
Secara umum, sejak era reformasi 1998, rakyat Indonesia sangat alergi dengan kembalinya kekuasaan otoriter (berkuasa seorang diri dan sewenang-wenang) dan potensi bangkitnya pemerintahan totaliter (pemerintahan yang menindas hak pribadi dan mengawasi segala aspek kehidupan warganya). Sejarah kelam kekuasaan dan pemerintahan Soeharto selama 32 tahun merupakan himpunan memori publik yang mencekam.
Kuasa absolut Soeharto, didukung kekuatan dominan birokrasi, tak dapat dipungkiri, secara nyata menumbuh-suburkan korupsi. Kita ketahui, segera setelah rubuhnya pohon besar tahta Soeharto dan kroni-kroninya, ada kesepakatan bersama dari bangsa Indonesia untuk membatasi periode kekuasaan atau durasi jabatan para eksekutif di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Masa jabatan Presiden, Gubernur, Bupati, dan Wali kota, dibatasi hanya lima tahun, yang dapat diperpanjang kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Syaratnya adalah apabila sang petahana berhasil memenangi Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (amandemen keempat) tertera uraian bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Kalimat tadi adalah bagian dari perubahan atas UUD 1945 amandemen kesatu pada 19 Oktober 1999, di mana sebelumnya berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, tanpa ada kalimat tambahan “hanya untuk satu kali masa jabatan”.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Pasal 162 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota menjadi Undang-Undang, secara berturut-turut, mengamanahkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Juga, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota, memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Bahkan, seorang Kepala Desa pun harus tunduk pada aturan pembatasan masa jabatan. Pasal 39 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa masa jabatan Kepala Desa adalah maksimal enam tahun, terhitung sejak tanggal pelantikan. Lalu, dalam pasal yang sama angka 2 Undang-Undang Desa tercantum ketentuan bahwa Kepala Desa hanya dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
ADVERTISEMENT
Begitu pula jabatan Komisioner dan Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Telah ada regulasi yang terang yang menata rentang waktu jabatan Pimpinan dan Anggota Dewas KPK, yakni empat tahun. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Lantas, Pasal 37A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menentukan bahwa Anggota Dewas memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Yang menarik adalah jabatan eksekutif atau kedudukan struktural di KPK. Sebelum UU KPK direvisi pada tahun 2019, jabatan stuktural di KPK tak mengenal aturan yang membatasi masa jabatannya. Maksudnya, seorang pemegang kursi struktural di internal KPK diperkenankan dan tak bisa dihentikan dari posisinya atas nama kekosongan regulasi. Mereka dapat menjabat sampai dirinya pensiun bila dia terus bekerja di KPK atau tidak mengundurkan diri. Menurut pengalaman dan informasi yang saya peroleh, ada beberapa posisi struktural di KPK yang telah diduduki oleh orang yang sama antara lima sampai lebih sepuluh tahun, dan situasi tersebut masih berjalan saat tulisan ini dibuat.
ADVERTISEMENT
Jabatan struktural di KPK memang bukan jabatan tinggi negara. Akan tetapi, yang penting untuk jadi perhatian adalah bahwa KPK sebagai anak kandung reformasi patut patuh pada komitmen teguh reformasi, yaitu melenyapkan kuasa otoriter lewat mekanisme pembatasan masa jabatan, karena, sekali lagi, kuasa yang absolut menumbuh-suburkan korupsi.
Namun, yang sangat disayangkan, KPK senyatanya sulit sekali menerapkan kredo Lord Acton itu. Kekuasaan, yang digenggam lewat jabatan struktural, cenderung penuh tanpa ada kejelasan batas periode menjabat.
Apakah para pejabat struktural di KPK sudah sangat serius bekerja memberantas korupsi, sehingga merasa atau berpikir pembatasan masa jabatan adalah sesuatu yang kecil atau receh? Atau, apakah mungkin ada pertimbangan lain yang meyakini bahwa para struktural di KPK adalah kumpulan orang berintegritas, sehingga mereka takkan mungkin bertindak korup dengan memanfaatkan jabatannya?
ADVERTISEMENT
Apabila orang-orang KPK memang berpegang teguh pada kredo Lord Acton, seyogianya mereka, diminta atau inisiatif pribadi, menyuarakan terbitnya aturan pembatasan masa jabatan struktural di KPK.
Atau, atas nama etika publik, yang juga kerap digaung-gaungkan insan KPK, para pejabat struktural KPK yang telah menjabat lebih empat tahun bersedia mengundurkan diri, meskipun belum ada regulasinya. Nanti, ketika rekrutmen jabatan itu terbuka lagi, yang bersangkutan bisa melamar kembali, berkompetisi dengan yang lain.
Meskipun begitu, pasti muncul pertanyaan: apakah dengan melepaskan jabatan strukturalnya, yang bersangkutan bisa tetap ditempatkan pada tingkatan (grading) kepegawaian setara jabatan struktural yang dilepaskannya? Tentu saja. Yang bersangkutan, bila masih bekerja di KPK, bergelar Pegawai Fungsional dengan grading setara posisi struktural yang ditinggalkannya.
ADVERTISEMENT
Aturan main di atas, kesetaraan grading kepegawaian, harus pula diakui, belumlah ditata dengan rapi oleh KPK. Sebab itu, KPK memang harus menyusun regulasi pembatasan masa jabatan yang di dalamnya mengatur pula kaidah perpindahan posisi pegawai dari jabatan struktural ke jabatan Fungsional.
Dalam teori dasar administrasi publik, setahu penulis, disebutkan bahwa bila sebuah jabatan telah dipegang selama lebih empat tahun akan timbul potensi kecurangan oleh si pemegang jabatan itu, karena dia sudah memahami dan mengenal baik pola kerja dan proses bisnis unit kerjanya, sehingga ada kecenderungan untuk memanipulasinya sesuai kepentingan yang bersangkutan.
Dalam konteks di atas, pembatasan masa jabatan di internal KPK sungguh-sungguh diperlukan. Lalu, ketika pembatasan masa jabatan diperlakukan dan yang menjabat sudah selesai rentang waktu tugasnya, KPK kembali bisa membuka pendaftaran untuk posisi yang lowong itu. Sang mantan pejabat struktural boleh ikut mendaftar, di mana bila tak terpilih kembali, otomatis dia menjadi pegawai Fungsional, dengan catatan, sekali lagi, grading yang bersangkutan tetap sama dengan grading saat menjabat posisi strukturalnya.
ADVERTISEMENT
Walhasil, pembatasan masa jabatan ini, selain membumikan kredo Lord Acton, juga menjalankan fungsi kaderisasi dengan baik dan berkesinambungan dalam kelembagaan KPK. Pergantian jabatan, di samping itu, akan memunculkan pula pikiran-pikiran segar dan inovatif bagi perjalanan KPK selanjutnya menghadapi denyut gelombang politik, hukum, dan sosial di negeri ini.
Bagaimanapun, perubahan di seputar KPK harus bisa ditanggapi dengan cepat dan tepat. Perubahan ke arah yang lebih baik takkan terjadi ketika orang-orang yang menduduki jabatan adalah mereka yang sudah nyaman dan merasa aman dengan posisinya.