Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Relasi Filsafat Ilmu dan Agama
20 Desember 2021 14:42 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Fajar Hidayatulloh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Filsafat adalah salah satu bidang kajian yang mengkaji cara berpikir sampai mendalam tentang hakikat sesuatu. Filsafat merupakan induk dari berbagai ilmu pengetahuan. cabang filsafat salah satunya adalah epistimologi. Sains merupakan perkembangan dari pengetahuan. Proses perkembangan sains sudah dimulai sejak zaman pra-sejarah atau purba. Memasuki zaman sejarah, pengetahuan sudah tertata lebih sistematis dengan perkembangan metode ilmiah. Ini yang memungkinkan manusia menunjukkan jati dirinya sebagai homo sapiens. Pada awalnya pengetahuan manusia masih terbatas kepada menjawab pertanyaan what dan how, dengan berlandaskan prinsip trial dan error, sehingga kemampuan yang dimiliki manusia hanya dalam hal mengamati, membedakan, memilih dan mencoba terhadap masalah yang diajukan.
ADVERTISEMENT
Pendefinisian sains sebenarnya hanya akan lebih bersifat memusingkan daripada bersifat misterius. Sains jelas merupakan suatu hasil ciptaan sadar manusia dengan sumber-sumber historis yang didokumentasikan secara baik dengan lingkup dan kandungan yang dapat ditemukan secara pasti dan dengan orang-orang profesional tepercaya yang mempraktikkan serta menguraikannya. Oleh karena itu, sains lebih bersifat tepat, metodis, akademis, logis dan praktis jika dibandingkan dengan agama, hukum, filsafat, teknologi, seni, dan sebagainya.
Sains merupakan sebuah pengetahuan yang cara memperolehnya melalui metode ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa unsur epsitemologis dalam menghasilkan sains adalah penting. Sains lebih berorientasi kepada pemaknaan proses untuk menghasilkan sains itu sendiri, sehingga hal ini akan menjadi “pembeda” dari pengetahuan-pengetahuan yang lain. Meskipun demikian, urgensi dari unsur ontologis dan aksiologis tidak berarti lenyap. Sains juga harus meletakkan titik awalnya kepada pertanyaan apa yang ingin diketahui, karena esensi sains merupakan suatu bentuk lain dari pengetahuan yang sudah tertata rapi karena sudah melewati serangkaian ujian dalam metode ilmiah. Hal ini mengakibatkan sains tidak pernah menghentikan langkahnya untuk terus mencari kebenaran, karena berada di ranah profan dengan nilai kebenaran yang bersifat probalistik.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, agama merupakan sebuah jalan yang harus dilalui oleh manusia untuk mencapai tujuan hidup. Kecenderungan pemaknaan ini didasarkan kepada sebuah pernyataan bahwa Tuhan telah memberikan batasan-batasan untuk mencapai sesuatu yang tertinggi di dalam kehidupan dunia ini maupun di akhirat kelak, yaitu kebahagiaan. Namun dalam kenyataannya, rambu-rambu ini diinterpretasikan secara subyektif oleh manusia, sehingga yang muncul adalah sebuah fenomena yang hendak menjadikan agama sebagai sesuatu yang harus tunduk kepada kehendak manusia. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri mengingat dalam kehidupan modern agama dianggap sebagai suatu urusan pribadi.
Meskipun demikian, pemahaman terhadap agama yang telah mengalami pergeseran mendasar tersebut tidak akan mampu memberikan perubahan secara esensial terhadap nilai kebenaran agama itu sendiri yang telah turun diberikan oleh Tuhan. Interpretasi-interpretasi yang diberikan manusia terhadap agama, sebagaimana diuraikan di atas, belum tentu sesuai dengan yang menjadi pengetahuan Tuhan yang objektif maupun kehendak Tuhan itu sendiri, sehingga yang perlu menjadi pemahaman di sini adalah adanya pemilahan dari agama itu sendiri. Interpretasi manusia dalam agama akhirnya melahirkan dikotomi terhadap agama itu sendiri. Pertama adalah agama langit (revealed religion) yang merupakan agama turunan dari Tuhan. Agama jenis ini merupakan arahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dalam mencari kebenaran, sehingga lebih bersifat top down. Kedua adalah agama budaya (natural religion) yang tidak lebih dari upaya-upaya yang dilakukan manusia dalam memahami kebenaran itu sendiri. Agama jenis ini bisa lahir karena adanya sakralisasi terhadap hasil pikir dari manusia. Interpretasi terhadap agama-agama yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki otoritas dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah, sehingga seolah-olah menjadi agama. Dari kedua jenis agama tersebut, kedua-duanya tetap mengakui tiga sistem dasar suatu agama, yaitu kepercayaan (credo), peribadatan (ritual) dan tata nilai (moral).
ADVERTISEMENT
Secara metodologis, konflik antara temuan-temuan empiris sains dengan keyakinan agama sebenarnya bersumber dari kerancuan fundamental yang dialami sains. Kerancuan tersebut, yang bersumber kepada metafisikanya sendiri, menyebabkan hasil sains kerapkali tampak memojokkan agama. Oleh karena itu, kebenaran sains tidak dapat diklaim bersifat universal dan objektif, karena, meskipun jarang diakui, dilandaskan kepada metafisika tertentu yang seringkali bertentangan dengan kebenaran-kebenaran yang diakui agama, sehingga sains sebenarnya tidak metaphysically neutral. Hal ini dapat dijumpai seperti dalam pembahasan tentang penciptaan alam semesta dan hubungan Tuhan dengannya.
Faktor kedua adalah kekakuan yang tidak bisa dikompromikan dalam teologi ataupun keengganan melakukan revisi teologis. Sebagai contoh adalah pandangan yang menganggap bahwa tindakan Tuhan bersifat deterministik, sepenuhnya bisa bertentangan dengan salah satu interpretasi metafisika kuantum yang menganggap tidak ada deterministik dalam alam, atau setidaknya mampu mengurangi probabilitas kebenaran teologi itu. Meskipun sains dan agama sama-sama berusaha mencari kebenaran, dengan objek yang sama, tetapi berangkat dari pola berpikir yang berbeda. Sains lebih mendasarkan diri kepada kesangsian dan ketidakpercayaan yang bersumber dari rasio, sedangkan agama beroperasi atas dasar wahyu yang dimulai dengan sikap percaya dan iman. Sains mencari kebenaran dengan jalan riset, empirik, dan eksperimen. Di satu pihak agama, dalam mencari dan menemukan kebenaran asasi, lebih banyak merujuk kepada doktrin Kitab Suci, kodifikasi firman Tuhan untuk manusia di dunia ini. Namun demikian, justru faktor teknis-metodologis inilah yang memiliki kontribusi terbesar dalam menciptakan konflik antara sains dan agama.
ADVERTISEMENT
Konflik sains dan agama telah banyak menguras tenaga para pengkaji sains modern daripada pendekatan middle roats yang ditempuh oleh kalangan yang mencoba menetralisir konflik tersebut. Metodologi ilmiah yang diharapkan mampu menemukan essential truth dalam sains, ternyata masih meninggalkan metafisika yang belum mampu untuk dijelajahi. Sebagian saintis menyadari keterbatasan disiplin mereka dan tidak mengklaim telah mengantongi seluruh jawaban tentang semua sebab-akibat antar peristiwa. Di lain pihak, temuan-temuan baru dalam sains telah menantang gagasan keagamaan klasik. Inilah yang mendorong beberapa agamawan berusaha merumuskan kembali gagasan-gagasan tradisional tentang Tuhan dan manusia dengan mempertimbangkan temuan-temuan sains sambil tetap berpegangan kepada ajaran utama agama mereka. Oleh karena itu, mereka berprinsip bahwa sesama manusia dapat belajar satu sama lain.
ADVERTISEMENT