Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ade Armando dan Puncak Kebencian
12 April 2022 14:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mhd Alfahjri Sukri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki dan janganlah kalian saling membelakangi dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam." (HR. Bukhari)
ADVERTISEMENT
Melalui hadist di atas Rasulullah sudah mewanti-wanti kita untuk tidak saling membenci. Namun, anjuran itu tampak tak dihiraukan pada senin 11 April 2022 lalu. Hari di mana mahasiswa seluruh Indonesia turun ke jalan menyalurkan aspirasinya. Aksi yang awalnya berjalan damai, kemudian ricuh di akhirnya dan memakan korban jiwa, salah satunya Ade Armando. Dalam sekejap, info tentang pengeroyokan ini tersebar di media mainstream dan jagat media sosial.
Awal kasus pengeroyokan ini muncul di media. Saya mencoba untuk mengecek kebenaran dari foto dan video yang menampilkan pengeroyokan atas dosen Universitas Indonesia (UI) tersebut. Benar adanya, korban ternyata memang Ade Armando dengan kondisi yang memprihatinkan. Kepalanya berdarah, muka lebam, tak berpakaian lengkap dan beberapa memar tampak dari kondisinya.
Kejadian ini trending di Twitter dengan tagar #adearmando. Video dan fotonya juga bertebaran di Instagram. Polisi sudah mengkonfirmasi pelakunya bukan dari kalangan mahasiswa. Kolom komentar di media sosial pun beragam menanggapi apa yang menimpa bapak dua anak tersebut. Secara umum, saya melihat ada tiga bentuk komentar yang muncul. Pertama, yang mendukung aksi pengeroyokan tersebut. Kedua, yang menghujat dan menuduh kadrun sebagai pelaku. Ketiga, yang menyesalkan aksi tersebut, walaupun ia tidak menyukai Ade Armando atau berbeda pandangan dengan dosen UI itu.
ADVERTISEMENT
Saya adalah kelompok ketiga, walaupun tak ikut berkomentar di media sosial. Dalam beberapa hal, saya tidak sependapat dengan argumen-argumen yang dilontarkan Ade Armando, terutama komentar-komentarnya atas Islam. Akan tetapi, dalam negara demokrasi perbedaan pandangan tersebut adalah hal yang biasa. Dan aksi kekerasan merupakan tindakan yang merusak nilai-nilai demokrasi bahkan Islam. Saya pribadi sangat menyayangkan tindakan anarkis tersebut. Bagi saya, pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ade Armando, haruslah dilawan dengan pemikiran, bukan kekerasan.
Peristiwa yang menimpa Ade Armando merupakan gambaran dari puncak kebencian dalam masyarakat kita. Kebencian berawal dari hati, pikiran dan ucapan. Puncaknya adalah kekerasan yang dapat menelan korban salah satu atau kedua belah pihak. Bahkan, dapat menyebabkan kematian. Apa yang menimpa Ade adalah lampu kuning bagi demokrasi kita.
ADVERTISEMENT
Kalau merunut kebelakang, bisa jadi tindakan pengeroyokan itu tak lepas dari rekam jejak Ade sendiri. Kita tahu, berbagai kontroversi keluar dari mulut dan tindakannya yang menyinggung soal agama Islam, seperti menyebut Allah bukan orang Arab, mengunggah foto Habib Rezieq dengan pakai topi Santa Claus, azan tidak suci, menyebut LGBT tidak haram dalam Islam, dan kontroversi lainnya. Masyarakat menganggap aparat tidak mengusut kasus tersebut. Kebencian yang terpendam, pada akhirnya memuncak menjadi aksi kekerasan.
Sudahi Kebencian
Tindakan kekerasan yang menimpa dosen UI tersebut adalah hasil dari polarisasi dalam masyarakat kita. Polarisasi yang sudah terbentuk sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dan memuncak pada Pemilihan Presiden 2019. Stempel “cebong” dan “kampret” masih menempel dalam masyarakat Indonesia hingga saat ini. Sejak 2019, muncul stemple “kadrun” yang menyebabkan polarisasi masyarakat semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Kita dapat melihat ciutan dari pegiat media sosial Denny Siregar, sahabat Ade Armando. Ia langsung menuduh kelompok “kadrun” sebagai pelaku pengeroyokan yang menimpa Ade. Hal yang sama juga disampaikan oleh politisi Ruhut Sitompul. Ruhut bahkan menyebut mahasiswa yang turun demo sebagai “kadrun”.
Stempel-stempel tersebut tentunya tak baik bagi iklim demokrasi kita. Cap yang dilekatkan oleh satu kelompok ke kelompok lainnya hanya akan memperkeruh suasana. Hanya akan memperparah polarisasi dalam masyarakat pasca pemilu 2019. Saya sepakat dengan pernyataan Ulil Abshar-Abdalla, bahwa aksi kekerasan dalam demo perlu dikutuk. Ia juga mengkritik penggunaan istilah “kadrun” sebagai pelaku aksi kekerasan. Istilah “kadrun” dan “cebong” hanya akan membelah masyarakat Indonesia.
Kalau stemple-stempel tersebut tak segera hilang, maka jangan terkejut dalam beberapa tahun ke depan Indonesia dapat dilanda oleh kekacauan. Puncak kebencian di mana sesama masyarakat saling serang. Negara tak stabil, Indonesia hancur.
ADVERTISEMENT
Pemerintah, politisi, ustad, influencer, dan semua kalangan masyarakat harus ikut andil dalam meredam kebencian ini. Pemerintah dapat menertibkan akun-akun media sosial dari pihak yang pro pemerintah maupun kontra pemerintah. Untuk ciptakan kondisi yang sehat di media sosial kita.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari kasus yang menimpa Ade Armando. Memang lidah tak bertulang, berhati-hatilah dalam menyampaikan pendapat. Kita tak tahu, siapa orang yang sakit hati dengan ucapan kita. Dan tidak semua orang punya reaksi yang sama atas kebencian yang ia rasakan. Ada yang bisa memakan, namun ada yang nekat untuk melakukan kekerasan. Bentuk aksi kekerasan apa pun dilarang oleh negara dan agama.
Mari bersama-sama kita bangun iklim demokrasi yang kondusif. Jadikan momen puasa ini sebagai momentum untuk menghilangkan semua kebencian. Dan semoga Ade Armando diberikan kesehatan oleh Allah dan dapat beraktivitas seperti sedia kala. Adapun pelaku, diberikan hukuman setimpal. Tulisan ini saya tutup dengan nasihat dari Buya Yahya.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada kebencian di dalam hati, maka jangan dihadirkan di lahir anda… Kita diajarkan oleh Nabi, kalau kita dijahatkan orang maka balas dengan kebaikan. Kalau tidak bisa seperti itu, maka kita hanya akan menuruti hawa nafsu kita..”
(Buya Yahya)