Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Trump van Holland: Geert Wilders yang Gagal Menjadi Perdana Menteri Baru Belanda
3 Juli 2024 6:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Farhan Rizqullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Partai Geert Wilders, Party for Freedom (PVV) menang telak pada pemilu Belanda November lalu, namun bukan dialah pengganti Mark Rutte, melainkan seorang mantan kepala badan intelijen bernama Dick Schoof.
ADVERTISEMENT
Geert Wilders, tokoh populis sayap kanan dan anti-Islam, secara mengejutkan meraih kemenangan telak dalam pemilu Belanda yang berlangsung pada bulan November lalu. Party for Freedom (PVV) yang dipimpinnya berhasil memenangkan 37 kursi di parlemen, lebih dari dua kali lipat perolehan kursi sebelumnya. Kemenangan ini disebut sebagai salah satu kekacauan politik terbesar di Belanda sejak Perang Dunia II dan mengguncang seluruh Eropa.
ADVERTISEMENT
Geert Wilders adalah politikus sayap kanan Belanda dan pendiri serta pemimpin Party for Freedom (PVV), partai politik terbesar keempat di Belanda. Ia telah menjadi anggota Parlemen Belanda sejak tahun 1998. Wilders dikenal karena pandangannya yang anti-Islam dan anti-imigran. Selain itu, ia juga pernah membuat film pendek berjudul "Fitna" yang menyulut kontroversi karena menggambarkan pandangannya tentang Islam dan Al Quran.
Wilders memiliki latar belakang yang menarik. Keluarganya memiliki darah campuran Indonesia dan Belanda. Kakeknya, Johan Ording, pernah bekerja di Jawa Timur. Di sana, dia bertemu dengan istrinya, Annie Meijer, keturunan Indo yang lahir dan besar di Hindia Belanda. Namun, keluarga ini dideportasi dari Hindia Belanda karena diduga melakukan penipuan dan korupsi.
ADVERTISEMENT
Wilders sendiri tumbuh dengan perlakuan diskriminasi dan pengusiran di Belanda. Gaya politiknya yang anti-imigran dan anti-Islam diduga dipengaruhi oleh pengalaman pahit keluarganya yang "diusir dari Indonesia, dan ditolak oleh masyarakat Belanda".
Menurut Antropolog politik dari Belanda, Prof. dr. Nico G. Schulte Nordholt, sebagian kelompok Indo yang memiliki campuran darah Indonesia dan Belanda, seperti Wilders, cenderung memiliki pandangan politik ekstrem kanan dengan ideologi fasisme dan ultranasionalisme.
Geert Wilders yang memenangkan pemilu
PVV yang telah berada di parlemen Belanda selama 25 tahun pada akhirnya ditetapkan sebagai pemenang pemilu Belanda setelah meraih 37 kursi yang jauh di depan pesaingnya PvDA/GL, sebuah aliansi sayap kiri gabungan partai hijau dan partai buruh yang hanya memperoleh 25 kursi. Kemenangan ini memberikan reaksi politik baik di Belanda maupun Eropa.
PM Hungaria yang juga seorang politisi sayap kanan mengucapkan dukungannya terhadap kemenangan Wilders.
ADVERTISEMENT
Marine Le Pen, yang namanya sempat populer saat berhadapan dengan Macron pada pemilu Prancis, beberapa waktu lalu juga turut ikut serta dalam memberikan dukungan pada Wilders.
Kemenangan ini dapat memuluskan manifesto Wilders yang telah ia surakan bertahun-tahun yakni terkait dengan kebijakan nasionalis sayap kanan seperti pembatasan kebebasan tenaga kerja di Uni Eropa, pembatasan imigran dari negara-negara muslim, pembatasan hak-hak minoritas seperti penutupan masjid dan pelarangan Al Quran, memperketat perbatasan, dan yang paling terkenal ialah program "Nexit", yakni keluarnya Belanda dari Uni Eropa.
Tanggapan publik Belanda setelah kemenangan Wilders
Trump van Holland, adalah julukan yang disematkan rakyat Belanda pada seorang Geert Wilders, ini tidak mengherankan, karena sama seperti Trump, setelah kemenangannya pada pemilu lalu, ia langsung membuat polarisasi ekstrem di publik Belanda.
ADVERTISEMENT
Sahil Achahboun, seorang sosiolog muslim di Schilderswijk, daerah yang heterogen di Belanda merasa khawatir dengan kemenangan Wilders akan berpotensi membuat kebebasan agama di negeri kincir angin tersebut terdegradasi.
Ini tidak mengherankan, sebab Wilders begitu vokal mempromosikan penolakan sekolah Islam, masjid dan Al Quran, ia juga mendukung pelarangan hijab dalam kantor-kantor pemerintahan.
Pandangan berbeda diutarakan Janette, seorang wanita paruh baya di yang mengeluhkan sulitnya warga Belanda non-imigran untuk membeli rumah dan harga sewa yang begitu tinggi.
Belanda adalah salah satu dari sejumlah negara Eropa yang mengalami lonjakan dukungan kelompok nasionalis dan sayap kanan. Prancis yang sedang dalam masa pemilu legislatif, memiliki sosok Marine Le Pen dengan partai sayap kanannya, the National Rally yang dalam putaran pertama berhasil memperoleh sepertiga dari total suara. Selain itu, Italia, Kroasia, Hungaria, Ceko, Slovakia telah lebih dulu mendudukkan wakilnya di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Jalan ke kursi Perdana Menteri yang terhalang koalisi
Dengan memenangkan pemilu tidak berarti serta merta menjadikan Wilders sebagai perdana menteri, ia harus membujuk partai-partai lain untuk bergabung dalam koalisinya, karena walaupun PVV menang pemilu, Wilders membutuhkan 76 kursi atau 50%+1 dari 150 kursi yang tersedia di Den Haag. Maka dari itu, ia mengajak People’s Party for Freedom and Democracy (VVD), the New Social Contract party (NSC) dan the Farmer-Citizen Movement (BBB) sebagai koalisi mayoritas dalam periode pemerintahan Belanda yang baru.
Meskipun sebagai partai dengan kursi terbesar dalam koalisi ini, tidak serta merta menjadikan Wilders sebagai perdana menteri, itulah yang terjadi ketika mitra koalisinya menolak jalannya untuk duduk di kursi perdana menteri, setelah mereka setuju menolak jabatan menteri dan memilih kursi parlemen. Wilders pun tidak dapat menutupi kekecewaannya.
ADVERTISEMENT
Walaupun tidak menjadi perdana menteri, bayang-bayang Wilders masih begitu besar dalam politik Belanda, setidaknya dalam satu periode kedepan, ia masih menjadi pemimpin partai terbesar di parlemen dan pemerintahan, ia juga memiliki pengaruh untuk menentukan agenda pemerintahan termasuk menentukan siapa perdana menteri yang meneruskan jabatan Mark Rutte yang pensiun tahun ini.
Dick Schoof, mantan intel jadi Perdana Menteri
Setelah Wilders gagal menjadi perdana menteri, nampaknya VVD dan koalisinya telah menetapkan perdana menteri baru. Pada Selasa, 2 Juli lalu, koalisi pemerintahan pimpinan Geert Wilders dan Raja Belanda, Willem-Alexander menetapkan nama perdana menteri Belanda berikutnya, ialah Dick Schoof. Nama ini terdengar asing di perpolitikan Eropa, hal ini tidak lepas dari kurangnya pengalaman politik Schoof dibandingkan dengan PM sebelumnya, Mark Rutte, yang keaktifannya di Eropa tidak perlu dipertanyakan lagi.
ADVERTISEMENT
Sebelum ini, Schoof adalah seorang politisi independen yang pernah menjabat sebagai kepala Koordinator Keamanan dan Kontraterorisme (NCTV) dan sebagai pejabat senior di Kementerian Kehakiman dan Keamanan. Walaupun saat ini statusnya independen, ia bukanlah orang baru dalam politik. Schoof pernah menjadi anggota Partai Sosial Demokrat (PvdA) selama 30 tahun sebelum keluar dari partai tersebut 5 tahun yang lalu karena perbedaan pandangan.
Banyak pihak melihat Schoof dihadirkan untuk meredam kekhawatiran manifesto anti-Islam Wilders di antara koalisinya, yaitu Partai VVD dan Partai NSC.
Penetapan perdana menteri ini mengejutkan bagi publik, khususnya bagi partai oposisi. Menurut Denk Partij yang mewakili suara minoritas, Schoof juga dilihat sensitif terhadap masalah Muslim karena selama menjadi kepala intelijen, ia sering mengawasi masjid-masjid dan organisasi-organisasi Islam. Stephan van Baarle, pemimpin Denk di parlemen nasional Belanda mengatakan:
ADVERTISEMENT
Namun yang jelas, penetapan Schoof sebagai perdana menteri berarti pemerintahan berikutnya wajib berpegang teguh pada konsensus bersama yang telah disetujui keempat pihak, termasuk penindakan tegas terhadap imigrasi, pembatasan suaka Uni Eropa, dan pelonggaran peraturan lingkungan yang juga dipromosikan oleh Wilders dan partainya, PVV.
Schoof dan kabinetnya juga dipandang tidak dapat bergerak leluasa untuk mengatur APBN karena negara dengan ekonomi terbesar di Uni Eropa itu masih mengalami dampak pascapandemi yang berpengaruh pada resesi tahun lalu, bahkan defisit anggaran pemerintah dinilai akan menyentuh batas maksimum Uni Eropa sebesar 3%.