Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bekerja yang Bukan Sekedar Bekerja
21 Oktober 2022 21:31 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Farhanah Fitria Mustari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Farhanah Fitria Mustari (Managing Director of Yayasan Teman Saling Berbagi)
Percakapan saya dengan salah seorang penggemar berat boyband fenomenal dari Korea Selatan (BTS) membuahkan kekaguman. Bukan sekedar kagum dengan kekompakan Army (sebutan fans BTS), melainkan etos kerja setiap member BTS yang patut diidolakan. Saya bukan Army yang melekat dengan seluruh karya BTS. Namun, saya merasa bahwa dampak atas kerja keras dan cerdas yang mereka lakukan adalah bukti konkret pribadi berintegritas dan penuh etik.
Saya baru saja mengetahui bahwa Jungkook, salah satu member termuda sudah merintis sejak usia remaja. Belum lagi, konsistensi Min Yoongi (rapper & produser andalan BTS) dengan karya musiknya. Bahkan, saya bisa melihat bagaimana ketujuh member bersama korporasi yang menaunginya bergerak sinergis. Tak sedikit yang merasakan emosi positif yang tersampaikan melalui medium musik yang BTS ciptakan. Pembuktian bahwa segala sesuatu yang dilakukan dari hati akan sampai pada hati (kembali).
ADVERTISEMENT
BTS hanyalah intro dari apa yang hendak saya tulis. Artikel reflektif kali ini tidak akan mengambil sudut pandang BTS, yang mana kelak bisa saja menjadi opini tersendiri. Sebagai Ketua Yayasan yang sering berurusan dengan berbagai macam individu yang terikat peran sebagai pengurus maupun relawan. Saya kerap merasakan dan mulai terbiasa ‘membaca’ konteks profesionalisme individu. Seratus persen saya meyakini bahwa kita mengenal istilah profesionalisme dalam bekerja. Ada yang mendefinisikan ini sebagai etika bekerja. Banyak pula yang menyepakati profesionalisme merupakan serangkaian karakter positif.
Kata kuncinya adalah totalitas, tulus, dan tuntas. Realitanya, tidak banyak yang bekerja dengan ketiga sikap tersebut. Sebegitu pemilihnya kita sehingga bekerja seringkali terpaut dengan perasaan nyaman & tidak nyaman. Termasuk, opini pribadi ‘saya suka’ dan ‘saya tidak suka’. Tidak heran dan lumrah bahwa manusia akan berkembang di tempat yang selaras dengan nilai hidupnya. Namun, di tempat ternyaman sekalipun selalu ada fase kejenuhan, terasing, bahkan tak berdaya. Saya pun pernah merasa demikian di Yayasan yang saya rintis dan jelas-jelas ini adalah zona nyaman & aman pribadi. Akan tetapi, saya percaya hidup perlu diperjuangkan. Bekerja juga demikian.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal-hal yang sudah diketahui, namun jarang direfleksikan. Entah kenapa diri seakan-akan melewati aspek esensial, hanya untuk mengejar kebutuhan duniawi yang sangat hedonistik. Yakni, insentif atau gaji.
1. Tidak ada yang mau bekerja dengan individu tak bersikap.
Membayangkan saja saya sudah jengah. Bagaimana kita bisa mencapai tujuan bersama, jika individu yang bersangkutan tak memiliki sikap positif. Setidaknya kita perlu memiliki tiga sikap positif sebagai dasar dalam bekerja. Pertama, kita harus menjadi orang yang percaya atas kemampuan, kebaikan hati, serta kesantunan berbicara. Kedua, kita perlu menjadi pribadi yang berintegritas. Integritas adalah melakukan sesuatu dengan baik meski tidak ada yang melihat. Terakhir, jadilah sosok yang antusias. Di tengah sulitnya hidup, kita masih membutuhkan seseorang yang mampu menerbitkan terang setelah gelap.
ADVERTISEMENT
2. Bekerja dengan maksimal.
Kalau bekerja sekedar bekerja, kera di hutan juga bekerja. Kira-kira, kutipan Buya Hamka cukup menampar diri yang seringkali bekerja sekedar memenuhi rutinitas pagi hingga sore. Work with passion. Tidak ada salahnya, memaksimalkan hidup. Sebab, hidup yang terjadi hanya satu kali membutuhkan kontribusi bukan durasi.
3. Tertariklah dengan dirimu sendiri dan orang lain.
Saya berani mempertaruhkan argumentasi bahwa hingga sampai saat ini, saya percaya bahwa self-awareness adalah kunci bertumbuh. Prinsipnya adalah kalau kita tidak ingin sekedar disebut ‘pegawai’ melainkan ‘karyawan’ (kata depan: karya) perlu kemampuan mengenal diri. Tak ada kisahnya kita tertarik bahkan jatuh cinta dengan seseorang, tanpa mengenal terlebih dahulu. Begitupun pada diri sendiri, perlu memahami konteks siapa kita dengan utuh. Saya percaya sosok besar dan sukses, sekelas BTS pernah melewati fase krisis identitas. Namun, keberanian untuk kembali tertarik pada diri sendiri membuat individu tangguh. Setelah itu, belajarlah tertarik pada orang lain. Dimulai dari ketertarikan, empati akan terbangun. Kalau begitu, pekerjaan tidak sekedar lahan kompetisi. Melainkan, taman bermain yang selalu menyenangkan di hati.
ADVERTISEMENT
Setelah melewati hari yang melelahkan, bekerja yang bukan sekedar bekerja perlu ditutup dengan sentuhan apresiasi. Mari mengucap ‘terima kasih’ pada diri sendiri, rekan kerja, pemimpin kita, maupun pihak yang berkontribusi pada titik pencapaian saat ini.