Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perempuan: Pilihan & Peran
10 Maret 2022 16:58 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Farhanah Fitria Mustari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Farhanah Fitria Mustari (Managing Director of Yayasan Teman Saling Berbagi)
Pada suatu hari, saya pernah bertanya kepada orang tua saya tentang kehadiran seorang anak dalam rumah tangga. Beberapa pertanyaan saya ajukan kepada mereka tentang apakah kelahiran saya merupakan sukacita keluarga besar hingga jenis kelamin seorang anak. Jawaban tentang euforia kelahiran sebagai cucu pertama dalam keluarga menjadi berkah tersendiri. Namun, disisi lain perasaan ragu karena yang terlahir adalah berjenis kelamin perempuan sempat menyelimuti salah satu sisi keluarga. Hingga, saya menyadari bahwa mungkin saja di luar sana banyak keluarga yang berharap sebaliknya. Menginginkan kehadiran anak laki-laki.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalan waktu, saya ternyata ditakdirkan untuk tidak memiliki saudara kandung. Sehingga, saya menjadi satu-satunya anak emas atau kebanggaan di rumah serta keluarga besar. Di samping kenikmatan menjadi anak tunggal, saya juga dikekang dengan berbagai aturan hidup yang membatasi ruang gerak. Seperti, sebagai anak perempuan satu-satunya saya tidak boleh pulang lebih dari jam enam sore. Tidak hanya itu, saya pernah mendapatkan nasihat untuk mengurangi pergaulan dengan teman sebaya karena dianggap tidak baik. Sebaliknya, saya lebih banyak menghabiskan waktu remaja dengan sepupu kecil yang jarak usia terpaut belasan tahun dengan saya. Alhasil, saya jadi seperti punya pola untuk tidak perlu berteman dengan banyak orang. Hal yang lebih penting adalah kualitas pertemanan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari limitasi seorang anak tunggal, saya juga seringkali mendapatkan keraguan dari orang sekitar. Seperti, saya sebagai perempuan tidak boleh merantau sebab di keluarga saya hijrah tempat adalah ciri khas laki-laki. Kemudian, saya juga pernah dipandang remeh ketika waktu kecil bercita-cita menjadi seorang pemimpin di sebuah organisasi. Lagi-lagi, pemimpin dan memimpin ciri khas pria bagi sebagian pandangan. Bahkan, saya pernah dikatakan untuk tidak perlu terlalu pintar dalam akademis karena hanya akan membuat laki-laki minder.
Akan tetapi, saya justru tidak menganggap pusing dengan pandangan, persepsi, maupun pendapat orang lain tentang peran perempuan yang terkesan konvensional. Entah kenapa, saya seperti mendapatkan vaksin booster yang menguatkan kepercayaan diri serta keyakinan bahwa menjadi perempuan adalah berkah tersendiri. Akhirnya, saya banyak membaca buku hingga berlatih wicara publik untuk menguatkan potensi diri. Beberapa orang pernah ada yang bertanya kepada saya, apakah dengan meningkatkan kapasitas diri membuat saya mampu mendominasi banyak hal, termasuk laki-laki. Jawaban saya, tentu saja tidak! Justru, saya melihat diri ini secara netral bahwa kita adalah sama. Kita adalah manusia yang punya hak untuk menerbitkan terang di hidup masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sepanjang saya menikmati kehidupan, saya justru menjadi terbiasa dengan beragam tanggung jawab serta peran yang membantu saya dalam menyesuaikan diri. Kadangkala, saya harus menjadi pemimpin dan mentor bagi laki-laki. Di satu sisi, saya juga pernah dipimpin dan dibimbing oleh laki-laki. Semuanya tidak pernah jadi hambatan dan masalah. Bias dan pandangan selalu ada dan senantiasa menjadi bagian dari hidup, bukan?
Singkat kata, sebagai penutup artikel ini adalah menjadi perempuan bukanlah kesalahan. Melainkan, sebuah peran di dunia ini yang mampu menumbuhkan keteladanan, welas asih, hingga kehangatan yang hadir bersama dengan peran kehidupan lainnya. Oleh karena itu, mari kita sudahi keraguan dan ubah hal tersebut dengan kekuatan. Dengan demikian, perempuan dimanapun berada mampu dan akan selalu menjadi versi terbaik dalam dirinya.
ADVERTISEMENT