Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Produktivitas yang Semu
22 Februari 2023 21:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Farhanah Fitria Mustari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Farhanah Fitria Mustari (Managing Director of YTSB & Professional Trainer)
Ijinkan saya memulai tulisan ini dengan bertanya pertanyaan mendasar tentang bagaimana kita melalui hari demi hari.
ADVERTISEMENT
1) Dalam dua puluh empat jam, berapa banyak hal yang sanggup Anda lakukan? Sepuluh, dua puluh, atau tak terhingga?
2) Hasil seperti apa yang Anda harapkan ada setiap harinya? Bertambahnya nominal rekening? Pengakuan sosial? Atau, apa?
3) Mengapa Anda begitu tidak sabar untuk mengejar "kesuksesan" yang Anda sendiri masih kebingungan dalam memahaminya?
Sadarkah kita bahwa ketiga pertanyaan tersebut tanpa sadar telah merenggut arti kesederhanaan hidup. Kita dituntut untuk menjadi seseorang yang tak pernah puas. Dalam kata lain, bukan definisi puas yang mengarah pada kepuasan batin tetapi sifat serakah yang menjadi benalu dalam setiap aktivitas. Di sudut persepsi lain, kita menjadi manusia yang tidak sadar akan momen. Hidup dengan intensi waktu di masa depan dan penyesalan akan masa lalu. Kita begitu khawatir apabila masa berikutnya tidak memberikan cukup banyak waktu. Bersamaan dengan hal tersebut, kitab penyesalan kita semakin tebal.
ADVERTISEMENT
Mungkin saja, kita memiliki rasionalisasi yang mengatasnamakan kepentingan bersama. Sebagai contoh, seorang Ibu yang bekerja begitu keras hingga larut malam dengan alasan gaji suami tidak cukup untuk masa depan pendidikan anak. Atau, seorang anak yang merantau sangat jauh demi pekerjaan mapan dan lupa untuk kembali pulang dengan alasan masih belum sukses. Keseluruhan alasan tersebut membuat saya perlu lebih banyak merenungkan kembali hakekat hidup yang berdaya.
Jika, sukses dihubungkan dengan jumlah hasil yang didapatkan. Manusia berperan bukan lagi "human being", melainkan "human doing". Kita diberi tekanan untuk selalu "surplus" bukan "balance". Tidak hanya itu, kita menekan emosi yang sejatinya membentuk jati diri manusia sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Tanpa perasaan. Tanpa kelembutan. Tanpa cinta.
Hidup berjalan dengan kecepatan waktu yang dikonotasikan selayaknya uang. Hingga, pada satu titik yang paling ekstrem kita bukan lagi mencapai titik tertinggi dari performa. Melainkan, terjun bebas ke dasar jurang dimana seluruh hidup tak bernilai lagi.
Dalam hidup yang terjadi hanya satu kali dan kita ada karena faktor relasi. Jika, dahulu kala hanya ada Adam dan Hawa. Lambat laun, populasi manusia bertambah besar. Ini membuktikan kebutuhan terhubung dan merasa aman dalam lingkup keluarga menguatkan peradaban. Seperti, sebuah cerita klasik yang terus diwariskan bahwa berelasi dalam koneksi yang intim dan penuh cinta akan melahirkan kehidupan berikutnya yang siap menjalani hidup. Namun, ini menjadi cerita berbeda ketika individu terlalu fokus dengan aspek material dan mengesampingkan kebutuhan psikologis ini.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kita kembali merasakan indahnya menjadi manusia yang tak tergesa-gesa akan sesuatu. Manusia yang hidup sesuai ritma yang kita sendiri tentukan.