Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Awal Tahun: Sengkarut Korupsi Kepala Daerah dan Resolusi Indonesia Bebas Korupsi
28 Januari 2022 12:56 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Farhan Qudratulloh Ginanjar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2022 baru saja di mulai, dengan harapan baru yang tidak pernah luput menjadi resolusi dari masyarakat Indonesia setiap tahun yaitu Indonesia bebas korupsi. Namun, harapan itu harus kembali sirna setelah tertangkapnya wali kota Bekasi Rahmat Effendi rabu siang dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK. Penangkapan Rahmat Effendi diduga berkaitan dengan kasus suap menyuap proyek dan lelang jabatan di lingkungan Pemerintahan Kota Bekasi. Tidak berhenti sampai situ, KPK pada tanggal 13 Januari kembali menangkap bupati Penajam Paser dan 10 orang lainnya berkaitan dengan kasus suap dan gratifikasi. Kemudian KPK menangkap bupati Langkat dan bupati Buru Selatan.
ADVERTISEMENT
Tertangkapnya Rahmat Effendi, bupati Penajam Paser, bupati Langkat, dan bupati Buru Selatan, membuka lembaran baru kasus korupsi pada tahun 2022 dan melanjutkan rentetan hitam kasus korupsi kepala daerah yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2021 dalam catatan KPK terdapat 9 kepala daerah yang ditangkap karena kasus korupsi. Tidak hanya itu, kepala daerah menjadi lumbung kasus korupsi di Indonesia, tercatat selama KPK berdiri sampai tahun 2020 terdapat 300 Kepala Daerah yang ditangkap dan 124 di antaranya ditangani langsung oleh KPK.
Di balik maraknya korupsi yang bahkan dalam persepsi masyarakat sudah menjadi budaya dalam pemerintahan, terdapat beberapa modus yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Menurut ICW, modus yang paling sering dilakukan adalah penyalahgunaan kewenangan yang berujung kepada transaksi suap menyuap. Setelah itu, modus lainnya adalah korupsi pengadaan barang dan jasa, jual beli perizinan, penerimaan gratifikasi, dan penggelapan pendapatan daerah.
ADVERTISEMENT
Terjadinya korupsi secara umum ada dua faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan praktik tersebut yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal seseorang melakukan praktik korupsi karena lemahnya pengawasan dari lembaga-lembaga negara lain (check and balances) dan lemahnya pengawasan masyarakat terhadap para pejabat. Sedangkan secara faktor internal, timbulnya korupsi karena adanya motivasi seseorang itu sendiri yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan gaya hidup yang mewah.
Dalam konteks daerah, masalah korupsi muncul karena beberapa alasan. Pertama, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Oleh karena itu, program desentralisasi ini hanya memberikan akses kepada elite lokal terhadap sumber daya ekonomi dan politik di daerah yang rentan terhadap korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, program otonomi daerah telah mengurangi hierarki pemerintahan sehingga kontrol pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah tidak efektif lagi, karena tidak ada lagi hubungan struktural yang secara langsung membebankan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Dan ketiga, masyarakat tidak bisa memantau bila terjadi kolusi antara eksekutif dan legislatif.
ADVERTISEMENT
Perlu kita ketahui, secara umum korupsi sangat merugikan negara terutama masyarakat, dalam laporan ICW selama semester satu pada tahun 2021 korupsi telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 26. 83 Triliun rupiah. Laporan pada tahun 2021 tersebut meningkat sebanyak 47,63% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Oleh sebab itu, Permasalahan korupsi kepala daerah yang semakin mengkhawatirkan perlu kita cari solusinya secara saksama agar negara dan masyarakat tidak kembali dirugikan, maka terdapat dua solusi yang dapat dilakukan guna menekan angka terjadinya kasus korupsi pada kepala daerah, yaitu:
Penguatan Aspek Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Oleh karena itu, kebijakan optimalisasi pemberantasan korupsi harus ditindaklanjuti dengan strategi yang menyeluruh, integral, dan holistik agar benar-benar mencapai hasil yang diharapkan. Mencermati penyebab korupsi, dapat disimpulkan bahwa terkait dengan aspek manusia, birokrasi, regulasi, political will, komitmen, dan konsistensi penegakan hukum serta budaya masyarakat. Untuk itu, secara umum strategi yang dapat diterapkan meliputi berbagai hal yaitu, meningkatkan integritas dan etika penyelenggara negara, penguatan budaya anti korupsi masyarakat, dan penegakan hukum yang menyeluruh baik dari aspek preventif maupun kuratif.
ADVERTISEMENT
Meningkatkan Kontrol Masyarakat dalam Jalannya Pemerintahan
upaya untuk melakukan kontrol terhadap korupsi dapat dilakukan dengan pencegahan dan penindakan terhadap tindakan korupsi serta pembentukan lembaga kemasyarakatan untuk mengawasi dan melakukan tindakan terhadap upaya praktik korupsi. Setelah era reformasi, kontrol masyarakat terhadap kepala daerah dapat melalui beberapa jalur yaitu yaitu media massa atau pers, petisi yang dilakukan melalui sosial media, menunjuk lembaga independen untuk mengawal kinerja para pejabat, dan menegakkan secara yuridis melalui lembaga peradilan.
Kedua hal tersebut dapat dilaksanakan oleh seluruh pihak terkait guna mewujudkan resolusi yang setiap tahun hadir di tengah masyarakat yaitu menurunnya kasus korupsi. Terutama dalam hal ini, kasus korupsi yang menjerat para kepala daerah. Sudah saatnya seluruh pihak menjalankan perannya dalam mewujudkan harapan Indonesia bebas dari korupsi.
ADVERTISEMENT