Konten dari Pengguna

Bukan Sekadar Dissenting Opinion

Farhan Qudratulloh Ginanjar
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang dan Ketua Umum PW Hima Persis Jawa Tengah. Seorang Pembelajar sepajang hayat yang tertarik terhadap isu hukum, politik, ekonomi, peradaban dan pendidikan.
19 Oktober 2023 7:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhan Qudratulloh Ginanjar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Senin, 16 oktober 2023 Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pembacaan putusan terhadap pengujian undang-undang tentang batas usia capres dan cawapres.
ADVERTISEMENT
Terdapat lima permohonan yang diajukan kepada MK untuk dilakukan pengujian terhadap undang-undang dasar kemudian dibacakan putusannya pada hari itu yaitu perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, 55/PUU-XXI/2023, 90/PUU-XXI/2023, dan 91/PUU-XXI/2023.
Berdasarkan putusan yang dibacakan pada hari senin 16 oktober 2023, dari kelima perkara tersebut hanya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mendapatkan amar putusan dikabulkan untuk sebagian. Sedangkan dalam perkara yang lainnya, Mahkamah memutus menolak permohonan untuk seluruhnya dan tidak dapat menerima permohonan.
Pembacaan putusan terhadap sebuah perkara sebenarnya adalah hal biasa dalam lingkungan peradilan termasuk mahkamah konstitusi. Namun, dalam putusan yang dibacakan pada hari senin 16 oktober 2023, terutama dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, terdapat hal yang tidak biasa yaitu ketika Hakim Saldi Isra dan Hakim Arief Hidayat membacakan dissenting opinionnya dihadapan persidangan.
ADVERTISEMENT
Dissenting Opinion yang biasanya memuat substansi pendapat berbada hakim terhadap pokok perkara. Pada kesempatan tersebut, hakim Saldi Isra dan Hakim Arief Hidayat mengutarakan hal lain yang tidak biasanya terutama berkaitan dengan ‘urusan dapur’ dari Rapat Permusyawaratan Hakim dan menyorot nama Ketua Mahkamah Konstitusi yaitu Hakim Anwar Usman.

Bukan Sekadar Dissenting Opinion tapi Angriness Opinion

Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Pada putusan terhadap perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, empat hakim MK yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo mengajukan dissenting opinion terhadap putusan mahkamah konstitusi. Dissenting opinion sebagaimana yang penulis kemukakan di awal merupakan hal yang biasa terjadi ketika hakim memiliki pandangan berbeda dengan mayoritas hakim lainnya.
Namun, dalam sidang perkara tersebut, dissenting opinion menjadi sorotan karena tidak hanya membahas mengenai substansi terhadap pokok perkara namun membahas juga mengenai kejanggalan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.
ADVERTISEMENT
Hakim Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya mengawali pendapatnya dengan menyatakan sebuah kebingungan terhadap yang telah terjadi di mahkamah, Saldi berujar dalam “Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini”.
Kebingungan hakim Saldi Isra bukanlah tanpa alasan, menurutnya terjadi peristiwa aneh yang luar biasa dan jauh dari batas penalaran yang wajar yaitu Mahkamah mengubah pendirian dan sikapnya secara cepat.
Perubahan cepat tersebut terjadi ketika mahkamah berpendapat dalam Putusan Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, secara lugas bahwa ihwal usia dalam norma pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 merupakan open legal policy dan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
Pada pembahasan ketiga perkara tersebut, Hakim sekaligus ketua MK Anwar Usman tidak terlibat dalam rapat permusyawaratan hakim yang dilaksanakan tanggal 19 September 2023. Berdasarkan informasi yang diterima awal, bahwa Anwar Usman tidak hadir karena menghindari adanya potensi konflik kepentingan.
ADVERTISEMENT
Namun, khusus dalam perkara tertentu yaitu nomor 90 dan 91 yang diseleggarakan tiba-tiba Anwar Usman ikut serta dalam musyawarah hakim untuk memutus perkara. Padahal di perkara inilah potensi konflik kepentingan lebih besar karena dalam permohonanannya menyebut nama Gibran Rakabumingraka yang tidak lain memiliki keterikatan hubungan keluarga dengan Anwar Usman.
Menurut Saldi, kehadiran Anwar Usman yang mengubah komposisi hakim dari delapan menjadi Sembilan orang hakim, tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan sebagian.
Bagi Saldi, pergeseran para hakim terhadap pokok perkara tidak hanya menjadi “misteri” tetapi juga merusak hukum acara karena hakim berbelok secara cepat. Pendapat Saldi ini, menujukkan bahwa perubahan cepat tersebut yang menjadi putusan MK, diambil tidak berdasarkan penalaran yang memadai, tetapi berdasarkan pandangan dan kepentingan sempit yang dimiliki oleh hakim.
ADVERTISEMENT
Keganjilan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim tersebut Selain dirasakan oleh Saldi Isra, dirasakan pula oleh hakim Arief Hidayat. Arief menyampaikan dalam dissenting opinion-nya bahwa dalam permohonan perkara ini, membuat hati nuraninya terketuk karena merasakan keanehan dan tidak bisa diterima secara rasional, Sehingga dalam perkara ini, sangatlah menguji integritas dan kenegarawanan seorang hakim.
Dalam perjalanannya pada pengujian permohonan ini, law maker secara eksplisit menyampaikan bahwa memiliki keinginan yang serupa dengan para pemohon. Sehingga, menurut Saldi Isra seharusnya permohonan mengenai syarat bagi calon Presiden dan wakil presiden dilakukan melalui mekanisme legislative review bukan justru melemparkannya pada mahkamah konstitusi.
Saldi dalam pendapatnya mengutarakan kekhawatiran bahwa Mahkamah Konstitusi nantinya menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik untuk memutus berbagai political question yang pada akhirnya meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap MK.
ADVERTISEMENT
Pendapat yang diajukan dan disampaikan oleh Saldi Isra dan Arief Hidayat dalam perkara syarat batas usia capres dan cawapres, tidak hanya sekadar dissenting opinion semata. Di lain sisi, mengungkapkan angriness opinion atau kemarahannya terhadap segala keanehan yang terjadi, sehingga menjebak mahkamah konstitusi dalam pusaran politik, krisis integritas, dan kepercayaan.

Krisis Kepercayaan

Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
Dinamika yang terjadi dalam perkara permohonan batas usia capres dan cawapres yang menurut Saldi Isra dan Arief Hidayat menjebak MK dalam pusaran politik dan menguji integritas serta kenegarawanan hakim MK akan berdampak terhadap tingkat kepercayaan publik terhadap Lembaga peradilan ini yang dikhawatirkan akan menimbulkan kemarahan publik.
Bahkan sebelum publik marah terhadap peristiwa yang terjadi, hakim MK saja dalam dissenting opinionnya sudah lebih dahulu mengungkapkan kemarahannya.
ADVERTISEMENT
Menurut Susi Dwi Harijanti dalam orasi ilmiahnya di STHI Jentera yang berjudul “Pemilu, Demokrasi, dan Reformasi Hukum” salah satu penyebab dari menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap MK adalah politisasi.
Sehingga, menurutnya, untuk memperbaiki kepercayaan publik ini MK harus menjauhkan diri dari usaha politisasi atau dengan kata lain melakukan depolitisasi di tubuh hakim Mahkamah Konstitusi.
Peristiwa yang terjadi dalam permohonan perkara syarat usia capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi, sangatlah membahayakan posisi MK sehingga terjebak dalam pusaran politik dan menjadi alat kelanggengan kekuasaan. Jika hal ini terus dilanggengkan, menarik ungkapan Saldi Isra dalam penutup dissenting opinionnya, quo vadis Mahkamah Konstitusi?