Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pembangkangan Terhadap Konstitusi di Balik Sahnya Perppu Cipta Kerja
28 Maret 2023 19:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Farhan Qudratulloh Ginanjar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selasa 21 Maret 2023, DPR melalui Rapat Paripurna ke-19 menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Sebelum disahkan menjadi undang-undang, Perppu Cipta Kerja telah lebih dulu mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Penolakan tersebut bukanlah tanpa alasan, Perppu Cipta Kerja memiliki materi muatan yang sama saja dengan UU Nomor 11 Tahun 2020. Padahal, UU Nomor 11 Tahun 2020 telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Inkonstitusional Bersyarat.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi melalui Amar Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahawa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tetang Cipta Kerja inskontitusional bersyarat dengan memberikan tenggang waktu sebanyak dua tahun bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap perturan tersebut. Namun, alih-alih memperbaiki UU Ciptaker yang dinyatakan bersalah, pemerintah malah menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh DPR.
Pembangkangan DPR dan Pemerintah Terhadap Konstitusi
Jutta Limbach dalam artikelnya berjudul The Concept of the Supremacy of the Constitution, menyebutkan ada tiga ciri yang menandakan adanya supremasi terhadap konstitusi yaitu (1) adanya pembeda antara norma hukum konstitusi dengan norma hukum yang lainnya; (2) Terikatnya law maker oleh konstitusi; dan (3) terdapat Lembaga yang berwenang untuk menguji konstitusionalitas terhadap tindakan pemerintah atau pembentuk undang-undang.
ADVERTISEMENT
Sebagai bentuk dari supremasi hukum di Indonesia, UUD 1945 haruslah menjadi landasan dalam tindakan setiap elemen masyarakat. Salah satu bentuk ketaatan terhadap konstitusi adalah taat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, sebab putusan MK merupakan cerminan dari konstitusi yang sedang berlangsung. Apabila tidak patuh terhadap putusan MK, tindakan tersebut merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
Dengan terbit dan disahkanya Perppu Cipta Kerja, DPR dan Pemerintah dinilai telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Gejala pembangkangan itu terlihat dengan ketidak patuhan terhadap putusan MK tentang UU Cipta Kerja. Gelagat atas ketidak patuhan terhadap putusan MK atau pembangkangan terhadap konstitusi sudah terlihat ketika pemerintah menerbitkan peraturan-peraturan turunan dari UU Cipta Kerja.
Padahal, MK melalui Amar Putusannya telah melarang pemerintah untuk menerbitkan peraturan turunan selama tenggang waktu dua tahun tersebut. Ditambah, bukannya memperbaiki undang-undang Cipta Kerja terutama dalam aspek partisipatori masyarakat, pemerintah malah menerbitkan Perppu yang syarat akan subjektivisme dari penguasa dan mengabaikan peran masyarakat dalam pembentukan hukum.
ADVERTISEMENT
Ronald Dworkin dalam bukunya yang berjudul Taking Rights Seriously menjelaskan, secara teoritik, pembangkangan terhadap konstitusi memiliki dua sisi yaitu satu sisi bertentangan dengan hati nurani atau term positif dan disisi lain adanya sikap tidak peduli terhadap konstitusi atau hukum term negatif. Dalam term negatif, ketidaktaatan tersebut mengandung motif untuk tidak menghormati institusi hukum karena sebuah alasan tertentu yang biasanya untuk kepentingan politik dan ekonomi dengan kata lain adanya egoisme dalam pembangkangan.
Pembangkangan dalam term negatif pada Perppu Cipta Kerja, dapat dilihat dengan adanya egoisme dari pemerintah dan DPR dalam mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan juga mengabaikan aspirasi banyak elemen masyarakat terhadap terbitnya Perppu Cipta Kerja.
Tidak Adanya Kegentingan yang Memaksa
Diterbitkan dan disahkannya Perppu selama ini dilandaskan pada Pasal 22 UUD 1945 perihal kegentingan yang memaksa. Perihal tafsir dari ‘kegentingan yang memaksa’, MK melalui Putusan No. 138/PUU-VII/2009 telah menetapkan tiga hal yang dianggap sebagai kegentingan yang memaksa yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Terjadinya kekosongan hukum;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memelukan kepastian untuk diselesaikan.
Alasan mendesak pemerintah mengeluarkan Perppu tersebut adalah alasan krisis ekonomi yang terjadi akibat konflik Rusia dan Ukraina serta adanya kekosongan hukum. Pemerintah beralasan, bahwa situasi geopolitik Rusia dan Ukraina minimbulkan krisis ekonomi.
Tentu alasan tersebut sangatlah sulit untuk dipahami, karena PDB Indonesia 50% lebih dari konsumsi domestik dan rasio perdagangan RI terhadap PDB sangat rendah hanya kurang lebih dari 40%. Dibandingkan dengan Thailand di atas 110%, Malaysia 130%, dan Singapura di atas 300%. Tentu, Indonesia masih relatif aman dari efek ekonomi global, karena produksi dapat diserap secara maksimal oleh dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, alasan kekosongan hukum yang dijelaskan oleh Pemerintah tidaklah tepat, Sebab masih ada peraturan perundang-undangan yang memadai untuk dijadikan payung hukum. Sehingga, argumentasi yang dibangun tersebut meyalahi putusan MK mengenai kegentingan yang memaksa.
Dengan terbit dan disahkannya Perppu tersebut menjadi undang-undang oleh DPR dan Pemerintah merupakan sebuah tindakan yang mengindikasikan pembangkangan terhadap konstitusi. Padahal sebagai negara hukum, konstitusi merupakan hal sakral yang wajib ditaati tidak hanya oleh pemerintah dan DPR namun oleh seluruh masyarakat Indonesia.