Konten dari Pengguna

Adakah yang Merdeka dari Perempuan Indonesia?

farhat faqih
Mahasiswa sastra, Universitas Pamulang
13 Oktober 2022 12:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari farhat faqih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
IgInstagram: @frhtfqh
zoom-in-whitePerbesar
IgInstagram: @frhtfqh
ADVERTISEMENT
Adakah yang merdeka dari perempuan? Pemberdayaan perempuan di Indonesia masih sangat jauh dari kata sempurna, pasalnya hal itu sejalan dengan budaya patriarki yang masih langgeng di Indonesia. Di segala tempat masih sangat mudah dijumpai budaya patriarki ini berlangsung, contoh kecilnya pada urusan domestik dan dunia pekerjaan. Perempuan masih dianggap sebagai entitas yang lemah, hanya mampu mengurus rumah tangga, hal itu sangat kontras dengan laki-laki. Begitu pun di dalam ranah pendidikan, walaupun angka pendidikan perempuan dari tahun ke tahun naik jumlahnya, namun hal itu tidak bisa dijadikan parameter untuk menjadikan perempuan merdeka.
ADVERTISEMENT
Tendensi ini bisa kita lihat secara nyata di dalam dunia kerja, dikutip dari menteri ketenagakerjaan (menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan hal ini terjadi karena beberapa faktor yang salah satunya adalah kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja perempuan. Adapun peristiwa ini terjadi karena laki-laki masih menganggap bahwa kedudukan perempuan berada jauh di bawah laki-laki. Maskulinitas tersebut membawa laki-laki kepada persepsi bahwa mereka (perempuan) hanyalah sebagai pemuas nafsu laki-laki. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mulvey (1999) yang mengungkapkan bahwa tubuh perempuan adalah kebiadaban yang sering sekali ditampilkan sebagai objek seksual berdasarkan tatapan laki-laki atau istilahnya sebagai visual pleasure.
Praktik patriarki memang tidak mudah untuk dihilangkan, padahal perempuan hanya ingin bisa lepas dari tuntutan yang selama ini membelenggukan dirinya. Perempuan hanya ingin hak-hak mereka dipenuhi dan bisa berkarya dengan bebas di dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian, perempuan dan laki-laki menjadi satu keutuhan dalam pembentukan dunia yang sempurna. Karena bagaimanapun perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menentukan nasib hidupnya, tidak dikekang oleh hal-hal yang menjadikan perempuan tereduksi di dalam dunianya sendiri. Jika laki-laki bisa bekerja di luar rumah, maka perempuan pun bisa seperti itu, atau jika laki-laki bisa berpikir rasional maka perempuan pun sanggup melakukannya.
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah dikemukakan oleh Lilis Indrawati dari sekolah perempuan Gresik, dia mengatakan “Bagi saya sebagai perempuan akar rumput, merdeka adalah bagaimana perempuan bisa mengambil keputusan atas dirinya. Itu pun sudah saya anggap merdeka. Karena selama ini, kita sebagai perempuan merasa terlalu banyak tekanan dalam rumah tangga.” Hal itu diperkuat dengan kebijakan dari undang-undang pasal 4 nomor 1 tahun 1974 dengan bunyi bahwa laki-laki memiliki hak untuk memiliki istri lebih dari satu apabila seorang istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Kebijakan tersebut secara tegas memosisikan perempuan di dalam titik subordinasi.
Di Indonesia, dominasi patriarki sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek. Salah satunya adalah aspek budaya. Aspek budaya sangat berperan aktif dalam menjalankan sebuah persepsi. Persepsi-persepsi tentang patriarki berlangsung halus di dalam dimensi budaya yang sangat beragam dan kuat. Maka dari itu, kemerdekaan perempuan hanya bisa dicapai dengan cara mendekontruksi budaya dari spektrum yang terkecil.
ADVERTISEMENT
Asumisi di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Menteri Bintang bahwa perjuangan dalam menuju kesetaraan gender hanya bisa dapat dimulai dari hal yang paling kecil, yaitu memberikan kesempatan kepada perempuan dalam menyuarakan pendapat dan didengarkan pendapatnya. Hal tersebut serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Yulianti, yaitu bahwa perempuan seharusnya sejajar dengan laki-laki di dalam hal mengaktualisasikan rasa nasionalismenya atau kebangsaannya. Posisi sejajar itu seharusnya dibangun dari hal yang paling kecil, yaitu keluarga. Dia melanjutkan bahwa relasi kuasa seharusnya tidak dibangun di atas rumah tangga.
Jika dilihat berdasarkan fakta, perempuan memang belum bisa keluar dari belenggu patriarki. Di banyak ranah sosial, perempuan masih dianggap kaum yang lebih lemah dari laki-laki. Seolah-olah hanya laki-laki yang bisa menata dunia dengan sempurna. Perempuan hanya dijadikan objek, bukan subjek yang dapat berperan aktif dalam membentuk dunia. Kemerdekaan perempuan seakan-akan hanya menjadi diskursus yang muskil untuk direalisasikan. Padahal dikutip dari Bappenas bahwa keuntungan dari kesetaraan gender salah satunya adalah dapat memperkuat kemampuan negara untuk lebih berkembang, mengurangi kemiskinan, dan melakukan pemerintahan secara efektif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keuntungan dari kesetaraan gender adalah dapat membentuk strategi pembangunan dengan rangka memberdayakan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sejatinya kemerdekaan perempuan harus berjalan sesuai dengan tujuannya agar segala aspek bisa dilakukan dengan cara bersamaan, tidak ada yang harus disubordinasikan. Seperti yang telah ditegaskan oleh Sisca dalam wacana Merdeka di Mata Perempuan Akar Rumput, dia menjelaskan makna kemerdekaan, pertama-tama harus didahului oleh hati kita dengan cara membersihkan diri dari pikiran-pikiran yang membelenggu dan kemampuan memperjuangkan hak-hak perempuan yang telah didiskriminasi.
Dari hipotesis-hipotesis di atas maka dapat disimpulkan bahwa sangat penting untuk memerdekakan perempuan dari aspek-aspek yang telah membelenggu, perempuan sejatinya harus merdeka dalam berbagai ranah. Hak-hak perempuan harus direalisasikan, diskursus-diskursus tentang kesetaraan gender harus lebih disosialisasikan kepada masyarakat luas, khususnya di ranah akademis, budaya harus dikontruksi ulang, dan pada akhirnya kemerdekaan perempuan harus diakui sebagai kebaragaman dari budaya yang adil.
ADVERTISEMENT