Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Legalisasi Ganja Medis dan Hakikat Kemanfaatan Hukum
25 Juli 2022 20:43 WIB
Tulisan dari Farida Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih lekat dalam ingatan kita kisah perjuangan Fidelis Arie Suderwoto 2017 silam yang berujung bui lantaran menanam ganja demi pengobatan istinya yang mengidap penyakit Syringomyelia. Pengobatan melalui ganja tersebut sempat membuahkan hasil yang baik bagi perkembangan kesehatan sang istri. Namun sayang, ikhtiar Fidelis harus berakhir saat
ADVERTISEMENT
Sumber ilustrasi: Kumparan.com
ia kemudian ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) lantaran menanam dan memanfaatkan ganja yang dikategorikan sebagai Narkotika Golongan I dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Majelis Hakim pun memvonis Fidelis dengan pidana 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar atau subsider 1 bulan kurungan.
Berkaca dari kasus tersebut, pada tahun 2020 lalu Ibu dari seorang anak pengidap penyakit Cerebral Palsy, Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti mengajukan gugatan uji materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK) guna mewujudkan legalisasi ganja bagi kepentingan medis. Dalam hal ini, Santi membutuhkan pengobatan Cannabis Oil yang bersumber dari ekstrak ganja. Untuk itu, dalam permohonannya, para pemohon berharap agar Mahkamah dapat membatalkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika yang dianggap bertentangan dengan hak kesehatan warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi. Namun setelah dua tahun memeriksa perkara tersebut, pada 21 Juli 2022 lalu MK memutuskan untuk menolak permohonan tersebut melalui putusan No. 106/PUU-XVIII/2020 karena permohonan pemohon dinilai tidak memiliki legal standing yang kuat. Selain itu, MK juga menilai bahwa pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis masih belum seimbang dengan dampak buruk yang akan dihasilkan karena belum adanya bukti kajian yang komprehensif.
ADVERTISEMENT
Letak Kemanfaatan Hukum
Dalam pengimplementasian hukum, seringkali terjadi benturan antar tiga tujuan utama hukum, yakni: kepastian, keadilan, serta kemanfaatan hukum (Gustav Radbruch, 1947). Ketiga unsur tersebut dikonstruksikan sebagai tujuan hukum dan menjadi unsur penting yang harus dipenuhi dalam upaya penegakan hukum. Namun, pada praktiknya, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum seringkali tidak dapat berjalan selaras, bahkan tak jarang ketiganya saling bertentangan karena memiliki tuntutan yang berbeda.
Perwujudan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum pada praktiknya menjadi problematika sendiri dalam upaya penegakkan hukum di Indonesia. Pada satu sisi, kepastian hukum diharapkan menjadi instrumen untuk menciptakan stabilitas produk hukum dan menjaga tatanan masyarakat. Namun di sisi lain, pengimplementasian kepastian hukum seringkali mengabaikan rasa keadilan dan juga kemanfaatan hukum itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Realitas saat ini menunjukan negara memosisikan dirinya untuk mengambil peran dalam menciptakan ketertiban dalam masyarakat, tetapi pembentukan peraturan belum sepenuhnya memperhatikan realita sosial di masyarakat, sehingga tak jarang pengaplikasian hukum tidak dapat berjalan dengan efektif karena tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Kasus pemidanaan Fidelis sebagaimana diutarakan di atas menjadi salah satu bukti bahwa kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagaikan suatu “perangkat yang dijual terpisah,” dan dalam hal ini Hakim lebih mengutamakan kepastian hukum dibanding mewujudkan rasa keadilan dan kemanfaatan hukum itu sendiri.
Berbicara mengenai kemanfaatan hukum penggunaan ganja untuk kepentingan medis, idealnya Indonesia dapat berkaca pada praktik legalisasi ganja medis di negara lain. Setidaknya saat ini terdapat 30 negara yang sudah melegalkan pemanfaatan ganja untuk kebutuhan medis, yang terbaru yakni negara Thailand yang telah melegalisasi penggunaan ganja medis pada Juni 2022 lalu. Padahal sebelumnya Thailand menjadi negara yang “ketat” dalam mengawasi penggunaan narkotika, bahkan Thailand juga menerapkan hukuman mati terhadap terpidana kasus narkotia. Aturan mengenai legalisasi ganja untuk kebutuhan medis ini pun juga sudah diakui oleh World Health Organization (WHO) pada Desember 2020 silam.
ADVERTISEMENT
Adapun negara-negara di Eropa menjadi yang paling progresif dalam memberikan legalisasi ganja untuk kepentingan medis, seperti Jerman, Italia, Belanda, dan lain-lain, sementara beberapa negara lainnya seperti Prancis dan Spanyol membatasi penggunaan ganja dalam bentuk obat turunan untuk penyakit tertentu. Dalam hal ini, terlihat bahwa pemerintah Eropa telah menyadari manfaat ganja demi kepentingan medis untuk menjamin hak kesehatan warga negaranya.
Berbeda dengan di Indonesia, adanya pengaturan dalam Pasal 8 UU Narkotika membuat ganja sebagai narkotika yang diklasifikasikan ke dalam jenis Narkotika Golongan I hanya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dilarang tegas untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan. Adanya pengaturan tersebut disebabkan ganja memiliki kandungan yang dianggap bersifat adiktif dan penyalahgunaanya dikhawatirkan akan menyebabkan intoksikasi secara fisik.
ADVERTISEMENT
Jika menilisk lebih lanjut mengenai manfaat ganja untuk kepentingan kesehatan, diketahui bahwa ganja memiliki kandungan Tetrahydrocannabinol (THC) dan juga zat Cannabidiol (CBD). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nicoll dan Alger, dengan judul: “The Brain’s Own Marijuana” diketahui bahwa kandungan tersebut identik dengan zat yang diproduksi oleh otak manusia. Adapun beberapa penelitian juga telah meneliti bahwa kandungan CBD dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan rasa sakit atau analgesik. Selain itu, pada dasarnya CBD juga tidak tidak menyebabkan adiksi, hanya kandungan THC yang dapat menyebabkan ketergantungan. Namun, hal tersebut juga bergantung pada kadar penggunaanya, yakni apabila sudah melebih 5% dapat menyebabkan ketergantungan.
Kandungan CBD pada tanaman ganja inilah yang kemudian dibutuhkan oleh penderita Cerebral Palsy di Indonesia sebagaimana yang menjadi permohonan para pemohon legalisasi ganja untung kepentingan medis. Namun, MK tetap memfokuskan pada bahaya sosial yang akan ditimbulkan dari adanya legalisasi ganja medis. Padahal, fakta menunjukan bahwa jumlah penderita Cerebral Palsy di Indonesia meningkat setiap tahunnya dan setiap satu anak yang lahir berpotensi terkena Cerebral Palsy.
ADVERTISEMENT
Hal ini sebagaimana data yang diperoleh dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa pada tahun 2018 jumlah penderita Cerebral Palsy di Indonesia mencapai 866.770.000 orang, dengan rincian penderita Cerebral Palsy sedang sejumlah 717.312.000 orang dan Cerebral Palsy berat sejumlah 149.458.000 orang. Untuk itu, diperlukan adanya regulasi yang mampu mengakomodir kebutuhan dan memberi manfaat bagi penderita Cerebral Palsy di Indonesia.
Kehadiran Negara
Sebagai bentuk komitmen atas negara kesejahteraan (welfare state), tentu sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan sosial warga negaranya, termasuk dalam memberikan pelayanan kesehatan seperti pengobatan penyakit tertentu yang hanya dapat disembuhkan oleh kandungan yang terdapat dalam ganja. Meskipun MK telah menolak permohonan legalisasi ganja medis, namun MK memberi kesempatan kepada pemerintah melalui Kementerian Kesehatan untuk melakukan kajian ilmiah pemanfaatan ganja guna kepentingan medis. Hasil kajian tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi legislator untuk merumuskan kembali pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I dalam revisi UU Narkotika yang saat ini sedang disusun.
ADVERTISEMENT
Masyarakat tentu berharap bahwa revisi UU Narkotika dapat mengakomodir pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis. Hal ini menjadi tugas bersama antara DPR dan Pemerintah untuk menghasilkan hukum yang responsif yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat. Kajian ilmiah mengenai pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis sangat diperlukan dalam agenda percepatan revisi UU Narkotika.
Penulis beranggapan bahwa opsi menjadikan ganja sebagai jenis Narkotika Golongan II dapat dijadikan pertimbangan agar ganja dapat digunakan bagi kepentingan medis, dengan catatan bahwa yang dapat digunakan sebagai obat adalah senyawa turunan ganja, yakni CBD. Sebab, diketahui senyawa tersebut tidak bersifat psikoaktif dan menimbulkan ketergantungan, bahkan menurut U.S Food and Drug Administration, kandungan CBD dalam ganja telah diakui sebagai alternatif pengobatan baru. Selanjutnya, pemanfaatan ganja ini dapat diatur secara lebih teknis dalam Peraturan Pemerintah. Namun, pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis ini juga tidak dapat terlepas dari peran pengawasan BNN seperti halnya pengawasan pada penggunaan morfin yang sebenarnya lebih bersifat keras dibanding ganja.
ADVERTISEMENT
Jika legalisasi ganja medis dikhawatirkan akan disalahgunakan, maka pemerintah dapat membuat kebijakan izin penanaman ganja yang hanya dapat dimiliki dan dikelola oleh lembaga pemerintah dan lembaga riset. Penting untuk diperhatikan bahwa legalisasi ganja medis bukan berarti melegalkan penanaman dan pemanfaatan ganja secara bebas. Pemanfaatan ganja hanya diperuntukan sebagai obat untuk menangani penyakit tertentu, seperti hal nya Cerebral Palsy. Adapun opsi penanaman ganja secara bebas oleh masyarakat seperti di Thailand memang dapat dipertimbangkan, namun hal ini sangat rentan untuk disalahgunakan. Oleh sebab itu, ketersediaan ganja untuk kebutuhan medis menjadi tanggung jawab negara.
Tentu kita berharap kisah ironi Fidelis tidak kembali terulang, dan pada akhirnya kehadiran negara sangat dibutuhkan untuk memberi keadilan dan kemanfaatan bagi warga negaranya. Hal ini menjadi konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum yang utamanya harus mampu mensejahterakan warga negaranya dengan menciptakan produk hukum yang berkeadilan dan memberi manfaat. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya negara bersikap responsif terhadap permasalahan yang menyangkut hak-hak warga negara. Penelitian dan kajian ilmiah terhadap penggunaan ganja untuk kepentingan medis menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah yang harus diprioritaskan saat ini.
ADVERTISEMENT
Pemerintah diharapkan dapat segera menerbitkan regulasi terkait dengan izin penelitian ganja. Kajian tersebut juga diharapkan dapat mendukung percepatan pembahasan revisi UU Narkotika guna mewujudkan kemanfaatan dan rasa keadilan bagi masyarakat. Sebab, esensi hukum bahwasanya merupakan peraturan yang adil dan bermanfaat, pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan, dan keadilan yang tertunda adalah bentuk ketidakdilan (justice delayed, justice denied).