Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Revitalisasi MPR Sebagai Lembaga Tertinggi, Masih Relevankah?
26 September 2023 15:03 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Farida Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bukan yang pertama kalinya wacana pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara bergulir di kalangan elite politik. Sebelumnya, wacana pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara sempat beberapa kali digulirkan seiring dengan wacana-wacana pelemahan sistem presidensial lainnya, layaknya revitalisasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan perpanjangan masa jabatan presiden.
ADVERTISEMENT
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo , dalam sidang tahunan MPR 16 Agustus lalu yang mengamini pernyataan mantan Presiden ke-5 Indonesia, Megawati Soekarno Putri untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara layaknya pra reformasi.
Kondisi tersebut dipandang sebagai kondisi ideal dalam menghadapi ancaman terjadinya keadaan darurat yang menyebabkan tertundanya penyelenggaraan pemilu, sehingga presiden dan wakil presiden dapat langsung dipilih dan diangkat oleh MPR sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga tertinggi.
Ide pengembalian kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara tersebut kemudian menuai pro kontra di kalangan elite politik dan pejabat pemerintah, layaknya Ketua DPD yang menyambut baik usulan tersebut. Namun, tak sedikit pula yang menuai protes atas usulan tersebut lantaran dianggap tidak sesuai dengan agenda reformasi.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri pun mengamini penolakan terhadap usulan pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi tersebut. Selain tidak sesuai dengan semangat reformasi, setidaknya terdapat tiga alasan lainnya mengapa pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara bukanlah usulan yang tepat guna memperbaiki tata kelola pemerintahan saat ini.
Pertama, pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara bukan hanya berseberangan dengan semangat reformasi, tetapi merupakan degradasi demokrasi. Sebagaimana disepakati, demokrasi menjadi prioritas utama dalam agenda reformasi.
Itulah sebabnya dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap konstitusi guna menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi , di mana salah satunya diwujudkan dengan penyelenggaraan pemilu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Penyelenggaraan pemilu secara langsung ini dimaksudkan untuk memberi hak dan kedaulatan tertinggi kepada rakyat.
Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, maka rakyat berhak menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilihnya. Oleh karena itu, pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara jelas telah mencederai prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Kedua, pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara akan memperlemah sistem pengawasan (check and balances) antar lembaga negara. Sebelum amandemen, diketahui bahwa formulasi UUD 1945 masih bersifat executive heavy dan minim check and balances.
Oleh karenanya, dilakukan perubahan dengan menyetarakan semua lembaga negara, di mana tidak ada lagi supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan melahirkan supremasi konstitusi sesuai dengan prinsip negara hukum. Adapun pada relitanya—meski semua lembaga negara sudah setara—check and balances pun masih belum terlaksana dengan baik.
Hal ini salah satunya terlihat dari komposisi parlemen yang dalam 15 tahun terakhir selalu didominasi oleh partai pendukung pemerintah, yang mana hal ini mengakibatkan minimnya check and balances antar lembaga eksekutif dan legislatif. Adapun keadaan ini akan semakin berbahaya apabila MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki konsekuensi dipilihnya kembali presiden dan wakil presiden secara sepihak oleh MPR. Tidak adanya tolak ukur yang pasti terkait kriteria calon presiden dan wakil presiden ini akan membuat pemilihan sangat bersifat politis, layaknya pemilihan presiden pada 1999 lalu.
Adapun jika pengembalian fungsi MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden dianggap akan menekan cost politik penyelenggaraan pemilu, maka pengaturan terkait penyelenggaraan pemilu dan dana kampanye lah yang harus diubah, bukan justru mengembalikan fungsi pemilihan tersebut kepada MPR.
Ketiga, menjadi anomali dalam sistem presidensial. Layaknya revitalisasi GBHN dan perpanjangan masa jabatan presiden sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara juga merupakan anomali dalam sistem presidensial.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, usulan pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara ini justru mencederai kesepakatan Panitia Ad Hoc MPR 1999 lalu ketika menyepakati batasan perubahan UUD 1945, yakni memperkuat sistem presidensial.
Penguatan sistem presidensial dalam hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, salah satunya melalui pelaksanaan pemilu secara langsung dan pasti untuk membatasi masa jabatan presiden.
Argumen untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan dalih untuk mengatasi keadaan darurat saat penyelenggaraan pemilu nyatanya juga bertolak belakang dengan semangat penguatan sistem presidensial.
Hal ini dikarenakan dalam sistem presidensial, presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sehingga pernyataan keadaan darurat merupakan kewenangan Presiden, bukan MPR.
Lagipula, tanpa memegang kedudukan sebagai lembaga tertinggi, MPR sudah memiliki kewenangan untuk menetapkan wakil presiden secara langsung apabila terjadi kekosongan wakil presiden, sehingga alasan untuk mengembalikan status MPR sebagai lembaga tertinggi guna mengatasi keadaan darurat yang menyebabkan tertundanya pelaksanaan Pemilu bukanlah hal yang tepat.
ADVERTISEMENT
Langkah yang Ideal
Pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara bukanlah solusi yang ideal untuk mengatasi persoalan ketatanegaraan saat ini, justru hal ini akan menciptakan degradasi demokrasi. Terlebih, tidak ada urgensi atau kepentingan mendesak untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Terdapat urgensi lain yang lebih mendesak untuk diperjuangkan sebagai substansi amandemen ke-5 UUD 1945, salah satunya adalah memperkuat fungsi legislasi DPD dan mereduksi kewenangan legislasi Presiden. Sebab, DPD selama ini tidak memiliki fungsi determinatif untuk menolak suatu undang-undang.
Praktik pembentukan undang-undang saat ini justru lebih condong pada persetujuan Presiden sebagai lembaga eksekutif, dibanding DPD sebagai kamar legislatif kedua, yang mana hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan praktik negara-negara yang menganut sistem presidensial.
ADVERTISEMENT
Selain itu, hal ini juga berseberangan dengan prinsip check and balances. Hal tersebut rasanya lebih relevan diperjuangkan sebagai substansi amandemen ke-5 UUD 1945 dibanding pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang ironisnya justru diamini oleh Ketua DPD itu sendiri.
Selain itu, amandemen ke-5 UUD 1945 seharusnya dapat sesuai dengan prinsip dan semangat penguatan sistem presidensial sebagaimana yang menjadi kesepakatan dasar dan tujuan perubahan UUD 1945 di era reformasi, yakni memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan dengan lebih demokratis.
Untuk itu, dibanding mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, amandemen ke-5 UUD 1945 idealnya dapat mengatur mengenai mekanisme partisipasi rakyat dalam prosedur perubahan konstitusi. Hal ini menjadi penting dalam negara demokrasi, agar setiap perubahan dan langkah hukum yang akan dilakukan pemerintah benar-benar berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dibanding mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, amandemen ke-5 UUD 1945 idealnya dapat mengembalikan mekanisme referendum sebagai bentuk persetujuan rakyat terhadap perubahan UUD NRI 1945.
Sebagai informasi, mekanisme referendum ini pernah diadopsi oleh Indonesia pada tahun 1985 lalu sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1985 tentang Referendum. Berdasarkan undang-undang tersebut, pelaksanaan amandemen UUD 1945 harus didasarkan pada persetujuan rakyat melalui mekanisme pemungutan pendapat rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia layaknya pelaksanaan pemilu.
Adapun berdasarkan Pasal 17 UU Referendum tersebut, perubahan terhadap UUD 1945 baru dapat dilakukan apabila mendapat sekurang-kurangnya 90 persen persetujuan dari rakyat yang menggunakan haknya.
Pelaksanaan referendum ini rasanya akan lebih demokratis dan sesuai dengan koridor negara hukum dibanding harus mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang justru akan menimbulkan potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
ADVERTISEMENT
Selain itu, hal ini juga perlu didukung dengan menambahkan pengaturan mengenai batasan waktu perubahan UUD 1945, di mana perubahan UUD 1945 tidak boleh dilakukan dalam keadaan darurat guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Pada akhirnya, substansi perubahan UUD 1945 haruslah tetap berada pada koridor negara hukum, semangat reformasi dan demokrasi, relevan dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat, serta berpedoman pada Lima Kesepakatan Dasar Perubahan UUD NRI 1945 yang telah dirumuskan MPR pada 1999 lalu, seperti penguatan sistem presidensial.
Untuk itu, perlu juga ditetapkan sebagai substansi amandemen ke-5 UUD 1945 mengenai batasan perubahan UUD 1945. Wacana-wacana perubahan yang bersifat menyimpang layaknya pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara, revitalisasi GBHN, dan isu-isu lainnya sudah tidak relevan lagi dalam praktik demokrasi saat ini, sehingga idealnya ide-ide dapat diurungkan guna menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis dan berkepastian hukum.
ADVERTISEMENT