Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Yudisialisasi Politik Putusan MK: Potret Rapuhnya Hukum di Negara Hukum
17 November 2023 20:46 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Farida Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belum genap tiga bulan pasca menginjak usia nya yang ke-20 pada 13 Agustus 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah diterjang citra negatif dari masyarakat, bahkan dinilai mengalami kemunduran lantaran mengeluarkan putusan No.90/PUU-XXI/2023 yang dinilai telah terintervensi dan ternodai konflik kepentingan. Adapun putusan No.90/PUU-XXI/2023 tersebut merupakan putusan yang mengabulkan sebagian permohonan atas uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait batas usia minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
ADVERTISEMENT
Pasal 169 huruf q UU Pemilu tersebut mensyaratkan batas usia minimum 40 tahun untuk seseorang dapat mencalonkan dirinya menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Namun, keberadaan pasal tersebut digugat oleh seorang mahasiswa lantaran dinilai penetapan batas usia tersebut bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945, seperti Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Untuk itu, pemohon dalam petitumnya memohon agar MK menyatakan pengaturan dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa calon telah berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Perlu diketahui, bahwa sebelum permohonan tersebut, terdapat permohonan serupa yang juga diajukan beberapa partai politik, yakni PSI dan Partai Garuda. Permohonan tersebut kemudian diputus salam putusan No.29/PUU-XXI/2023, No.51/PUU-XXI/2023, dan No.55/PUU-XXI/2023. Ketiga putusan tersebut secara tegas menolak adanya perubahan terkait batas usia minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dan tetap memposisikan kewenangan perubahan batasan usia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 169 q UU Pemilu tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy), sehingga MK sepakat untuk menolak permohonan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, kejanggalan kemudian terasa ketika MK hendak memutus perkara No. 90/PUU-XXI/2023, di mana MK secara tiba-tiba mengubah sikap serta pandangannya terhadap objek permohonan yang sama dan kemudian mengabulkan sebagian permohonan batas usia minum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dengan syarat pernah menjabat sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Usut punya usut, ternyata faktor perubahan pandangan MK tersebut disebabkan oleh komposisi kehadiran hakim MK pada Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH).
Pada perkara No. 29, 51, dan 55 diketahui bahwa RPH hanya dihadiri oleh delapan hakim konstitusi, tanpa kehadiran Anwar Usman selaku ketua MK. Namun, pada saat RPH pengambilan keputusan perkara No.90, Anwar Usman yang saat ini juga memiliki hubungan kekeluargaan dengan Presiden, tengah hadir dan menyebabkan pergeseran arah putusan MK sebelumnya. Sungguh hal yang janggal dan sarat akan kepentingan golongan tertentu dalam sebuah praktik ketatanegaraan.
ADVERTISEMENT
Rasanya tidak berlebihan jika kemudian masyarakat mengecam dan memberi cap buruk pada MK. Sebab, kejanggalan ini pun turut diamini oleh Saldi Isra yang juga menjabat sebagai hakim MK, dimana ia menilai hal tersebut merupakan sesuatu yang ‘aneh’ dan tidak lazim dalam sejarah MK, hingga akhirnya beliau pun mempertanyakan arah MK saat ini: Quo Vadis MK?
Konflik Kepentingan dan Politik Kekerabatan
Perubahan sikap MK dalam putusan No. 90/PUU-XXI/2023 tersebut telah mencerminkan adanya intervensi dan sarat akan konflik kepentingan, bahkan terindikasi sengaja untuk mengusung pihak tertentu dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 2024. Hal ini terbukti, dari adanya perubahan arah dan pandangan MK secara tiba-tiba dari putusan serupa serta inkonsistensi MK terhadap putusan-putusan sebelumnya, seperti dalam putusan No. 56/PUU-XVII/2019 yang menjadi landmark putusan terkait persyaratan pejabat negara yang dipilih melalui Pemilu.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan perlunya persyaratan yang ketat dalam Pemilu guna mencegah terjadinya mobokrasi. Namun, hal ini berbalik dalam putusan No. No. 90/PUU-XXI/2023, bahkan MK juga menyamaratakan pengalaman kepala daerah sebagai gubernur dengan bupati/walikota. Karena itu, kecaman dalam putusan tersebut juga ternilai sebagai sesuatu yang wajar, sebab secara tiba-tiba dan terburu-buru terdapat sejumlah golongan yang memohonkan adanya perubahan batas usia Presiden dan Wakil Presiden tersebut dengan alasan diskriminatif.
Tentu tidak akan menjadi kejanggalan apabila permohonan tersebut diajukan kepada DPR selaku pembuat undang-undang dan diajukan jauh sebelum pelaksanaan Pemilu. Permohonan dengan tujuan revisi UU Pemilu tersebut rasanya lebih ideal diajukan kepada DPR selaku positive legislator. Toh, ketika putusan MK tersebut pun lahir, perlu ada mekanisme revisi UU Pemilu saat ini melalui DPR. Pun, juga tidak akan menjadi kejanggalan apabila batas usia yang diajukan spesifik untuk diturunkan dalam angka tertentu. Sebab, perubahan batas usia dari suatu nominal ke nominal lainnya pun bukan menghapuskan tindakan diskriminatif, melainkan hanya menggeser objek perlakuan diskriminasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Sikap MK yang seakan menciderai komitmen dan putusan terdahulunya sendiri tentu bukan hal yang dapat dilazimkan. Sebab, MK dihadirkan untuk menjadi penjaga konstitusi dan pengawal demokrasi. Untuk itu, sudah sepatutnya pemutusan perkara terbebas dari intervensi pihak mana pun serta tetap memprioritaskan sikap netral dan imparsial. Jika dibiarkan, perubahan sikap MK secara mendadak tersebut akan menjadi preseden buruk dan merusak komitmen check and balance antar lembaga negara.
Sekalipun dalam pertimbangannya MK mengatakan bahwa syarat usia dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan secara rasional dan adil. Namun, jika hal tersebut didasarkan oleh adanya konflik kepentingan dan inkonsistensi terhadap putusan MK sendiri, maka hal tersebut dapat dipandang sebagai bentuk pencideraan demokrasi. Terlebih, pengabulan permohonan dalam putusan tersebut disinyalir erat kaitannya dengan politik kekerabatan atau politik dinasti.
ADVERTISEMENT
Persoalan politik dinasti sebagai bentuk hak asasi memang kerap kali bersinggungan dengan demokrasi. Pada satu sisi, politik dinasti merupakan praktik yang konstitusional di Indonesia sekaligus bentuk penghormatan terhadap kesempatan dan hak politik warga negara. Namun di sisi lain, politik dinasti juga akan menyuburkan budaya feodalisme dan menggerus nilai demokrasi akibat ketidaksetaraan distribusi kekuasaan yang mencerminkan buruknya representasi demokratis.
Komentar Terhadap Putusan MK
Jika dalih yang ditekankan MK dalam hal ini adalah untuk memberi rasa keadilan bagi setiap warga negara dan upaya untuk mengatasi budaya gerontokrasi, maka menurunkan batas usia ataupun menetapkan pengalaman jabatan seseorang dengan tidak tegas rasanya juga bukanlah pilihan yang tepat. Pengaturan batas usia sebagai syarat seseorang mengikuti kontestasi politik bahwasanya ditetapkan sebagai filter untuk mencari calon pemimpin atau pejabat yang mapan.
ADVERTISEMENT
Usia memang bukan tolak ukur pasti dalam menilai kapasitas seseorang untuk menduduki jabatan tertentu. Namun, seiring bertambahnya usia seseorang juga diharapkan sudah semakin memiliki pengalaman yang mapan, terutama untuk menduduki jabatan dengan cakupan kepemimpinan yang luas, seperti Presiden dan Wakil Presiden.
Sekalipun pada akhirnya ditetapkan pengecualian terhadap mereka yang telah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, hal tersebut rasanya juga tidak sebanding dengan ‘tantangan’ yang harus dihadapi ketika seseorang menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Jabatan Presiden dan Wakil Presiden idealnya diisi oleh mereka yang telah memiliki kecakapan pemikiran dan rekam jejak kepemimpinan yang terukur dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu, persyaratan menduduki jabatan kepala daerah rasanya akan lebih ideal jika ditujukan untuk jabatan gubernur dan telah menjabat minimal selama lima tahun. Mengingat, gubernur memiliki cakupan kepemimpinan yang lebih luas dibanding bupati/walikota.
ADVERTISEMENT
Memangkas Akar Masalah
Persoalan suburnya budaya feodal dan ketiadaan check and balances antar lembaga negara sesungguhnya bukanlah suatu akar masalah, melainkan hanya suatu potret atau gejala dari buruknya sistem ketatanegaraan saat ini. Upaya MK untuk mengatasi gerontokrasi dalam putusan No. 90/PUU-XXI/2023 justru akan semakin menyuburkan budaya feodal dan menciptakan mobokrasi. Untuk itu, diperlukan adanya upaya perbaikan sistem, salah satunya melalui reformasi sistem kepartaian.
Perlu disadari memang bahwa praktik politik dinasti atau politik kekerabatan memang sulit untuk dihentikan. Pun, dalam beberapa negara demokrasi lainnya pun, praktik ini masih terus berkembang. Namun, bukan berarti tidak dapat dilakukan upaya pengurangan yang masif.
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perbaikan atas Undang-Undang Pemilu dan juga Pilkada. Selain merevisi persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, revisi UU Pemilu dan Pilkada saat ini hendaknya juga memberi batasan pencalonan bagi kerabat petahana. Setidaknya, dibutuhkan jeda minimal satu periode agar pelaksanaan pemilihan benar-benar netral dan bebas intervensi.
ADVERTISEMENT
Adapun hal ini kemudian perlu didukung dengan perbaikan sistem kaderisasi dan rekrutmen partai. Permasalahan kaderisasi dan pencalonan anggota partai untuk menduduki jabatan tertentu ini sudah menjadi masalah sejak lama. Tak jarang kader yang belum memiliki pengalaman dan hanya bermodalkan popularitas semata, langsung diusung untuk mengisi jabatan pemerintahan yang strategis. Untuk itu, Undang-Undang Partai Politik hendaknya tegas mengatur mengenai sistem kaderisasi partai dan mengoptimalkan fungsi pendidikan politik.
Selain itu, terkait dengan mekanisme pengujian di MK. Sudah sepatutnya bahwa dalam RPH pengambilan keputusan, hakim yang bersinggungan dengan perkara tersebut tidak boleh terlibat dalam rapat tersebut. Mengingat komposisi hakim MK yang juga berasal dari Presiden, DPR, dan KY, maka seharusnya ketika memutus perkara terkait kelembagaan masing-masing maka hakim MK yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk turut mengambil keputusan. Pengaturan semacam ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan dan menjaga marwah lembaga peradilan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kita semua menginginkan adanya independensi lembaga peradilan serta check and balances antar lembaga negara. Rakyat juga berharap agar seluruh praktik ketatanegaraan tetap berada dalam koridor negara demokrasi. Hal ini hanya dapat terwujud apabila negara dipimpin oleh mereka yang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas serta komitmen dalam menjaga kedaulatan rakyat dan demokrasi.